Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Penyandang Disabilitas: Kami Dibutuhkan hanya Saat Pemilu

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Kamis, 25 Juni 2015, 01:32 WIB
Penyandang Disabilitas: Kami Dibutuhkan hanya Saat Pemilu
rmol news logo Populasi penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 10% atau sekitar 25 juta, jumlah yang tidak sedikit secara demografis. Dari sudut apapun, angka tersebut mestinya cukup menggiurkan jika bisa menjadi kelompok kepentingan yang strategis.

Pegiat disabilitas yang aktif menerbitkan media online majalahdiffa.com, Jonna Damanik, menyampaikan itu dalam acara Kafe Solidaritas buka puasa bersama komunitas yang digelar Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Pondok Indah Mall, Jakarta, Rabu (24/6).

"Jumlah kami besar, tetapi suara kami hanya dibutuhkan tiap lima tahun sekali. Partai-partai datang kami menawarkan aksi-aksi karitatif. Padahal bukan itu yang dibutuhkan oleh disabilitas. Kami ingin didengarkan, kami butuh orang-orang yang open minded, mau menerima kami," ungkapnya.

Dia menjelaskan, masyarakat "yang normal” secara umum mempunyai mindset tertentu dalam memandang kehidupan kalangan disabilitas.  "Hegemoni normalitas adalah mindset yang harus diubah, sebagai sebuah bentuk relasi kuasa yang menindas kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat," tegas Jonna  yang juga penyandang tuna netra ini.

Buktinya, sistem yang ada saat ini cenderung mendiskriminasikan disabilitas. Dalam praktik demokrasi melalui pemilu, disabilitas dieksklusikan dari sistem politik. Kesempatan hak untuk dipilih dalam jabatan-jabatan politik mempersyaratkan sehat jasmani dan rohani, dan disabilitas dianggap tidak memenuhi syarat tersebut.

"Kita masih ingat, bapak bangsa sekaliber Gus Dur pun pernah ditolak maju kembali dalam kancah Pilpres dengan alasan yang sama. Tidak usah dulu bicara hak dipilih, bahkan dalam hak memilih pun penyelenggara pemilu tidak berpihak pada disabilitas. Tidak ada template khusus, bilik suara yang terlalu kecil bagi pengguna kursi roda," kata Jonna mengeluhkan.

"Ini adalah persoalan right atau hak-hak dasar yang tidak dipenuhi Negara bagi kalangan disabilitas," tekan Jonna.

Bersama kalangan pegiat disabilitas lainnya, saat ini Jonna sedang memperjuangkan RUU Disabilitas agar masuk dalam Prolegnas 2015.

"Sebetulnya sudah banyak peraturan baik di tingkat undang-undang atau di bawahnya yang mengatur hak-hak disabilitas, tetapi implementasinya hanya berhenti 'sekadar ada fasilitasnya'.

Contoh sederhana, guiding block di trotoar pedestrian Jalan Sudirman memang disediakan oleh pemerintah, tetapi tidak jarang jalur tersebut terhalang oleh tiang listrik, yang tentu saja menyulitkan bagi aksesibilitas penyandang tuna netra.

Perjuangan advokasi yang dilakukan Jonna merupakan pilihan strategi untuk mengarusutamakan (mainstreaming) isu disabilitas. "Media apapun, dalam format apapun, adalah sarana untuk perjuangan, termasuk kehadirannya di ruang publik untuk mengedukasi publik" tandas Jonna. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA