Melihatsudah dua kali berkas perkara itu dikembalikan ke Bareskrim Polri, apakah kasus Bambang Widjojanto (BW) akan di-SP3-kan (Surat Perintah Penghentian Penyidikan)?
Atau Polri tetap meneruskan ke Kejaksaan Agung (Kejagung), tapi lembaga yang dikomando M Prasetyo itu mengeluarkan
deponering?
Menanggapi hal itu, bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengaÂtakan, opsi SP3 bisa saja diambil Polri. Namun langkah ini juga bisa berimplikasi negatif, karena dianggap seolah-olah benar ada kriminalisasi terhadap KPK.
"Sementara deponering juga tidak mudah. Kebijakan yang hanya bisa diambil Jaksa Agung itu harus memperhitungkan perÂtimbangan kepentingan umum," papar Jimly Asshiddiqie kepada
Rakyat Merdeka yang dihubungi via telepon, kemarin.
Berikut kutipan selengkapÂnya: Bagaimana kalau berkasnya belum lengkap meski sudah diperbaiki lagi? Kita hormati saja proses yang sedang berjalan. Polisi sudah bekerja, kalau masih kurang, itu biasa. Lengkapi lagi.
Apa ada yang janggal? Ah, biasa itu. Dari dulu juga begitu, ada saja kekuranganÂnya.
Apa ini tidak menurunkan kredibilitas Polri di mata publik? Memang bisa dianggap tidak becus, gitu kan. Nanti dianggap bahwa benar ini ada kriminalisasi. Padahal belum tentu seperti itu.
Bagaimana solusinya? Solusinya gugatan BW dimeÂnangkan di praperadilan. Kalau memang benar kurang lengkap buktinya dan lain sebagainya itu, bisa saja BW dimenangkan dalam gugatannya itu, sehingga selesai masalahnya.
Apa tidak bisa lewat SP3? Tadinya kan kita berharap adanya SP3 dari Polri. Tapi kan Polri tidak mau. Kalau itu dilakukan, Polri dianggap memberi pembenaran seolah-olah ada kriminalisasi. Maka diteruskan ke Kejaksaan. Tapi kalau di Kejaksaan memang belum lengkap datanya, kan bisa saja dihentikan di tingkat Kejaksaan.
Apa bisa dihentikan di Kejaksaan? Bisa saja. Tapi proses hukum ini kan ada alur sendiri. Kita ikuti saja. Polri dan Kejaksaan kan sudah tahu apa yang harus dilakukan.
Bagaimana dengan deponÂering? Pertanyaannya, apakah kasus BW ini bisa dikatakan menyangÂkut kepentingan umum.
Sebab, kepentingan umum itu agak abstrak. Tergantung kepada kemauan politik menafÂsirkannya. Selalu ada definisinya sendiri.
Maksudnya? Kalau ada kemauan politik dari pemerintah, Jaksa Agung bisa berkonsultasi kepada Presiden untuk menafsirkan adanya unsur kepentingan umum atau tidak. Yang paling obyektif itu ya Kepala Negara karena melihat dari segala aspek. Jika sudah sampai pada kesimpulan demikian, Jaksa Agung tinggal mengeluarkan deponering.
Apa ini sudah waktunya? Kalau menurut saya, sudah cukup kasus KPK-Polri, sudah terlalu lama. Yang kita perluÂkan ke depan, hubungan Polri, Kejaksaan, dan KPK ini kita perbaiki.
Polisi jangan menjadikan KPK sebagai subyek, begituÂpun sebaliknya. Nanti bisa jadi perang.
Jaksa Agung, KPK dan Polri sepakat membentuk Satgas Bersama, apa ini bisa memÂbantu mengurangi konflik? Saya kira itu bagus. Kita dukung. Ini kemauan baik. Mudah-mudahan mereka bekerja sama memperbaiki pola hubungan. ***
BERITA TERKAIT: