WAWANCARA

Prof Romli Atmasasmita: Kalau Memang Tidak Ada Bukti, Keluarkan SP3 Kasus Budi Gunawan

Rabu, 06 Mei 2015, 08:40 WIB
Prof Romli Atmasasmita: Kalau Memang Tidak Ada Bukti, Keluarkan SP3 Kasus Budi Gunawan
Prof Romli Atmasasmita
rmol news logo Kapolri Badrodin Haiti diminta tegas mengenai gelar perkara kasus dugaan gratifikasi Komjen Budi Gunawan (BG) agar status hukum Wakapolri itu menjadi jelas. Tidak menimbulkan spekulasi negatif dari publik.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Romli Atmasasmita yang sempat diundang sebagai saksi ahli dalam gelar perkara tersebut juga mengaku heran, kenapa agenda tersebut belum kunjung ada.

Jika alasannya belum punya cu­kup bukti, maka sebaiknya segera keluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).

"Saya sudah tunggu-tunggu, karena saya diundang. Nggak tahu kasusnya mau digan­tung terus atau bagaimana, saya nggak ngerti," ujar Romli Atmasasmita kepada Rakyat Merdeka, yang dihubungi via telepon, kemarin.

Bekas Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) itu juga berharap gelar perkara dilakukan secara terbuka, seperti dijanjikan sebelumnya.

Berikut kutipan selengkap­nya:

Sebaiknya kasus BG ba­gaimana?
Ini kan urusannya Polri, tepat­nya Bareskrim Polri. Ternyata laporan dari KPK itu hanya lima halaman. Memang dinyatakan sama sekali kurang bukti.

Polri harus mengambil lang­kah apa dalam kondisi seperti itu?

Polri harus meluruskan, ke­marin mau gelar perkara, tapi nggak jadi. Nggak tahu kenapa, atas permintaan siapa kok ng­gak jadi. Sekarang ini, saya nggak tahu bagaimana kelan­jutannya itu.

Saran Anda?
Kalau menurut saya ya, KPK sudah dinyatakan tidak ber­wenang. Kemudian buktinya ng­gak cukup, ya harus dihentikan penyidikannya. Nah cuman kok nggak ada pengumuman SP3 dari Polri. Karena Polri mau gelar perkara dulu tadinya, tapi kok nggak fokus kayaknya.

Harusnya?
Seharusnya dilakukan gelar perkara secara terbuka pada publik, para ahli dihadirkan, baru nanti diputuskan. Kalau ada bukti, dilanjutkan. Tapi kalau nggak ada bukti, ya SP3.

Saya diminta sebagai ahli, saya sudah senang tuh. Wah bagus nih, digelar terbuka pada publik. Malah Kabareskrim minta dibuka pada publik, ada ahli, ada KPK. Nanti diputus­kan, apa terus, apa nggak. Tapi rupanya kok nggak jadi.

Apa karena ada upaya Polri untuk melindungi Komjen BG?

Oh, nggak lah.

Lalu kenapa?
Mungkin ada keberatan dari pihak KPK, kayaknya ya.

Kenapa keberatan?
Mungkin mereka tahu buk­tinya lemah. Yang saya tahu dari Kejaksaan Agung ternyata, hanya lima lembar, lima hala­man. Hanya catatan-catatan soal LHA (laporan Hasil Analisis) saja, saksi nggak ada, cuma tiga orang, itu nggak cukup.

Memangnya gelar perkara harus dihadiri KPK?

Harus. Yang menetapkan ter­sangka itu kan mereka, harus tahu pekerjaan dia sampai sejauh mana.

Jika menunggu KPK akan memakan waktu lama?

Kalau menurut saya sih, langsung umumkan saja ke­pada publik, konferensi pers, Kapolri konferensi pers dong. Kalau nggak mau Kapolri, ya Kabareskrim sampaikan bahwa akan gelar perkara, tanggal sekian, yang diundang A, B, C, D, termasuk KPK.

Kalau KPK nggak hadir?
Kalau KPK nggak hadir, ya jangan salahkan Polri kan, yang penting sudah diundang. Nanti ingin tahu saya di situ justru pertanggungjawaban KPK, jan­gan ngomong aja. Kalau bicara hukum, kan harus bukti yang bicara, bukan omongan.

Apa perlu ada batas wak­tu?
Ya harusnya sih Kapolri yang perintah gelar. Jangan ada keta­kutan dari siapa pun.

Anda melihat ada kejang­galan dari kasus ini?

Saya kan jadi saksi ahli saat sidang praperadilan, saya lihat kok nggak ada bukti-buktinya. Katanya KPK punya bukti, tapi yang dia punya bukti itu cuma LHA PPATK. Itu pun pada 2004-2006 yang saat itu KPK belum berwenang untuk menyidik cuci uang. Itu persoalan besar buat KPK. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA