Koruptor memanfaatkan kelemahan KPK dan Polri untuk mengadu domba, sehingga tugas utama memberantas korupsi bisa terbengkalai.
Penegasan itu disampaikan manÂtan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua kepada
Rakyat Merdeka yang saat dihubungi, Minggu (25/1), berada di Malaysia.
"Sebenarnya ini bukan pertarunÂgan antara KPK dengan Polri. Tapi antara koruptor dengan penegak hukum. Ada yang disebut dengan corruptor fightback. Serangan baÂlik dari koruptor," paparnya.
Berikut kutipan selengkapÂnya;
Bagaimana koruptor memanfaatkan kelemahan itu?Para koruptor itu memanfaatÂkan kelemahan di masing-masÂing penegak hukum. Entah itu KPK, Polri, atau Kejaksaan.
Apa penegak hukum tidak menyadari itu? Saya kira para penegak hukum tidak menyadari mereka diadu. Maka penegak hukum itu terÂbawa dalam pertarungan.
Apa alasan Anda mengataÂkan demikian?Kita bisa lihat banyak korupÂtor berada di lembaga-lembaga yang memiliki power. Teori korupsi itu kan
power to corÂrupt. Kalau di masa pemerinÂtahan Orde Baru itu eksekutif yang memiliki power. Nah pada masa reformasi ini, kekuatan itu berimbang antara eksekutif dan legislatif. Ini sesuai dengan teori tadi.
Masih ada pengaruh Orde Baru?Ya. Eksekutif pada masa Orde Baru kini berpindah ke legislatif, sehingga korupsi di legislatif cukup tinggi.
Legislatif itu adalah partai politik. Setelah adanya otonomi daerah, korupsi yang dulu terÂjadi di pusat, kini berpindah ke daerah. Terjadi desentralisasi korupsi.
Pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK kini diserang berbagai penjuru. Bagaimana Anda melihat ini?Yang jadi masalah adalah di dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, penyidik dan jaksa penuntut umum, itu berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan. Padahal kita tahu Kejaksaan dan Kepolisian justru bermasalah. Ketika rekruitmen Kepolisian dan Kejaksaan oleh KPK harus dilakukan secara ketat, polisi dan jaksa menghadapi persoalan yang dilematis.
Kenapa dilematis?Karena kedudukan mereka adalah PNS yang dipekerjakan di KPK.
Apa perlu Undang-Undang itu direvisi?Harus disempurnakan, diamandemen. Agar penyidik dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) itu bisa dari luar Kepolisian dan Kejaksaan.
Lalu penyidik dan jaksa KPK diambil dari mana?Lawyer yang sudah sekian lama kan bisa menjadi JPU. Sekarang juga kan sudah ada peÂnyidik internal KPK yang bukan berasal dari polisi dan jaksa.
Kalau Bambang Widjojanto mundur, apa penanganan kaÂsus korupsi terganggungu? Kalau pimpinan KPK itu cuma tinggal satu orang saja bisa jalan karena sudah ada sistemnya dan sudah berjalan.
Apa yang Anda lihat saat Polri menetapkan Bambang Widjojanto sebagai tersangka?Ini aneh. Kenapa sekarang ditetapkan sebagai tersangka. Berarti ini ada balas dendam. Kenapa tidak saat jadi pengacara saja masalah Bambang Widjojanto itu diproses.
Atau saat dilakukan
fit and proper test di DPR, kan bisa masalah ini diangkat. Kalau memang benar-benar terindikasi, tentu tidak dipilih jadi pimpinan KPK. ***
BERITA TERKAIT: