DPR menyepakati akan diÂadakan perubahan beberapa bagian materi dari Perppu itu, sehingga peroses perubahannya kelihatan seperti lucu. Sudah disetujui jadi undang-undang, tapi diadakan perubahan,†kaÂta Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaran Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (20/1).
Perppu yang diterbitkan Presiden, lanjut bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, memang hanya boleh ditolak atau disetujui oleh DPR. Tapi jika memang masih ada masalah, tidak serta merta harus diterima lalu bersepakat untuk bareng-bareng direvisi.
Sebenarnya kalau ditolak bisa diadakan perubahan. Politisnya tentu bagi Partai Demokrat dan para pengusung pemerintah lama (pemerintahan SBY, sehingga lebih baik kalau disetujui,†papar Jimly.
Berikut kutipan selengkapÂnya:Apa maksud sikap DPR itu?Dengan disahkannya Perppu Pilakda menjadi undang-undang, maka kontroversi mengenai Perppu yang diterbitkan SBY di akhir masa jabatannya seÂbagai Presiden sudah selesai. Sekarang tinggal Komisi II DPR menghimpun dan mendiskusiÂkan masukan-masukan tentang materi yang akan diadakan perÂbaikan.
Bukankan itu sudah melalui perbaikan?Saya tak menampik Perppu yang membatalkan Undang-Undang Pilkada melalui DPRD itu perlu perbaikan. Cukup banÂyak yang mengganggu pelaksaÂnaan-pelaksanaan pilkada, terÂmasuk soal jadwalnya, tahapan yang sangat tidak efisien, ini kontra produktif untuk efisien.
Contohnya?Uji publik yang sampai lima bulan, kan bisa satu bulan saja.
Itu hal-hal yang bisa diperbaiki menyangkut teknis. Tapi ada hal yang sangat serius dalam materi perppu itu yang ada kaitanÂnya dengan putusan MK yang mengembalikan kewenangan perselisihan hasil pilkada bukan lagi menjadi kewenangan MK.
Ini sangat serius berkaitan dengan hakikat pilkada itu sebagai pemilihan umum atau bukan. Kalau pemilihan umum, maka penyelenggaranya adalah KPU dan perselisihan hasilnya di MK.
Tapi kalau didefinisikan sebagai bukan pemilu, maka perselisihan hasilnya bukan lagi di MK. Yang jadi masalah penyeÂlenggaranya bukan lagi KPU, karena UUD 1945 sudah menÂdesain penyelenggara Pemilu itu KPU, inilah yang tidak konsisten di Perppu.
Barangkali tujuannya agar kaÂsus Akil Mochtar tak terulang?MK tidak boleh melepas beÂban hanya gara-gara kasusnya Akil Mochtar, tidak boleh beÂgitu. MK itu lembaga yang mahal kita dirikan dengan segala kewenangannya. Kalau perkaraÂnya cuma seratus, dua ratus per tahun itu terlalu mewah, maka tidak masalah menangani perselisihan hasil Pemilu.
Tidak membuat perkara di MK itu menumpuk, paling banÂyak seribu kasus per tahun. Bandingkan dengan sembilan Hakim Agung di Amerika Serikat yang harus menangani 20 ribu perkara per tahun. Bandingkan dengan MK Jerman, 18 orang sanggup menyelesaikan perkara 20 ribu per tahun.
Perkara di MK tidak bakal lebih seribu walau menangani perkara pemilu?Tidak sampai seribu perkara walaupun perselisihan pilkada jadi kewenangannya. Jangan karÂena satu kasus Akil Mochtar, kita lalu surut untuk menyelesaikan masalah.
Sebagai negara harus melihat pembagian tugas antar cabang kekuasaan dan antar institusi negÂara bukan secara subyektif masÂing-masing institusi. Tapi melihat pembagian kerja menyeluruh.
MA memiliki 20 ribu perkara per tahun, kompleksitas pekerÂjaannya demikian besar, sehingÂga untuk perkara-perkara yang sangat berkaitan dengan diÂnamika politik memang lebih tepat di MK.
Kenapa begitu?Saya menduga persoalan ini terjadi karena penangkapan pesan yang tidak utuh dari puÂtusan MK terakhir yang tidak dibaca sebagai satu kesatuan dengan putusan MK sebelumÂnya tahun 2005.
Terjadi kesalahpahaman seakan-akan mutlak putusan itu menentukan bahwa pilkada buÂkan lagi pemilihan umum. Kalau bukan pemilu, konsekuensinya, KPU tidak boleh menjadi penyeÂlenggara pilkada.
Apa dong saran Anda?Saya menyarankan putusan MK dibaca kembali secara utuh sebagai satu kesatuan, kemudian memutuskan apakah pilkada itu sebagai pemilu atau bukan. Inilah tugas DPR bersama peÂmerintah sebagai pembentuk undang-undang. ***
BERITA TERKAIT: