WAWANCARA

Jimly Asshiddiqie : DPR Bertindak Lucu Dalam Perppu Pilkada, Mengesahkan tapi Langsung Lakukan Revisi

Kamis, 22 Januari 2015, 10:08 WIB
Jimly Asshiddiqie : DPR Bertindak Lucu Dalam Perppu Pilkada, Mengesahkan tapi Langsung Lakukan Revisi
Jimly Asshiddiqie
rmol news logo DPR dinilai bertindak lucu. Mengesahkan Perppu Pilkada menjadi undang-undang (UU), tapi langsung melakukan revisi terhadap UU Pilkada tersebut.

DPR menyepakati akan di­adakan perubahan beberapa bagian materi dari Perppu itu, sehingga peroses perubahannya kelihatan seperti lucu. Sudah disetujui jadi undang-undang, tapi diadakan perubahan,” ka­ta Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaran Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (20/1).

Perppu yang diterbitkan Presiden, lanjut bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, memang hanya boleh ditolak atau disetujui oleh DPR. Tapi jika memang masih ada masalah, tidak serta merta harus diterima lalu bersepakat untuk bareng-bareng direvisi.

Sebenarnya kalau ditolak bisa diadakan perubahan. Politisnya tentu bagi Partai Demokrat dan para pengusung pemerintah lama (pemerintahan SBY, sehingga lebih baik kalau disetujui,” papar Jimly.

Berikut kutipan selengkap­nya:

Apa maksud sikap DPR itu?
Dengan disahkannya Perppu Pilakda menjadi undang-undang, maka kontroversi mengenai Perppu yang diterbitkan SBY di akhir masa jabatannya se­bagai Presiden sudah selesai. Sekarang tinggal Komisi II DPR menghimpun dan mendiskusi­kan masukan-masukan tentang materi yang akan diadakan per­baikan.

Bukankan itu sudah melalui perbaikan?
Saya tak menampik Perppu yang membatalkan Undang-Undang Pilkada melalui DPRD itu perlu perbaikan. Cukup ban­yak yang mengganggu pelaksa­naan-pelaksanaan pilkada, ter­masuk soal jadwalnya, tahapan yang sangat tidak efisien, ini kontra produktif untuk efisien.

Contohnya?
Uji publik yang sampai lima bulan, kan bisa satu bulan saja.

Itu hal-hal yang bisa diperbaiki menyangkut teknis. Tapi ada hal yang sangat serius dalam materi perppu itu yang ada kaitan­nya dengan putusan MK yang mengembalikan kewenangan perselisihan hasil pilkada bukan lagi menjadi kewenangan MK.

Ini sangat serius berkaitan dengan hakikat pilkada itu sebagai pemilihan umum atau bukan. Kalau pemilihan umum, maka penyelenggaranya adalah KPU dan perselisihan hasilnya di MK.

Tapi kalau didefinisikan sebagai bukan pemilu, maka perselisihan hasilnya bukan lagi di MK. Yang jadi masalah penye­lenggaranya bukan lagi KPU, karena UUD 1945 sudah men­desain penyelenggara Pemilu itu KPU, inilah yang tidak konsisten di Perppu.

Barangkali tujuannya agar ka­sus Akil Mochtar tak terulang?

MK tidak boleh melepas be­ban hanya gara-gara kasusnya Akil Mochtar, tidak boleh be­gitu. MK itu lembaga yang mahal kita dirikan dengan segala kewenangannya. Kalau perkara­nya cuma seratus, dua ratus per tahun itu terlalu mewah, maka tidak masalah menangani perselisihan hasil Pemilu.

Tidak membuat perkara di MK itu menumpuk, paling ban­yak seribu kasus per tahun. Bandingkan dengan sembilan Hakim Agung di Amerika Serikat yang harus menangani 20 ribu perkara per tahun. Bandingkan dengan MK Jerman, 18 orang sanggup menyelesaikan perkara 20 ribu per tahun.

Perkara di MK tidak bakal lebih seribu walau menangani perkara pemilu?
Tidak sampai seribu perkara walaupun perselisihan pilkada jadi kewenangannya. Jangan kar­ena satu kasus Akil Mochtar, kita lalu surut untuk menyelesaikan masalah.

Sebagai negara harus melihat pembagian tugas antar cabang kekuasaan dan antar institusi neg­ara bukan secara subyektif mas­ing-masing institusi. Tapi melihat pembagian kerja menyeluruh.

MA memiliki 20 ribu perkara per tahun, kompleksitas peker­jaannya demikian besar, sehing­ga untuk perkara-perkara yang sangat berkaitan dengan di­namika politik memang lebih tepat di MK.

Kenapa begitu?
Saya menduga persoalan ini terjadi karena penangkapan pesan yang tidak utuh dari pu­tusan MK terakhir yang tidak dibaca sebagai satu kesatuan dengan putusan MK sebelum­nya tahun 2005.

Terjadi kesalahpahaman seakan-akan mutlak putusan itu menentukan bahwa pilkada bu­kan lagi pemilihan umum. Kalau bukan pemilu, konsekuensinya, KPU tidak boleh menjadi penye­lenggara pilkada.

Apa dong saran Anda?
Saya menyarankan putusan MK dibaca kembali secara utuh sebagai satu kesatuan, kemudian memutuskan apakah pilkada itu sebagai pemilu atau bukan. Inilah tugas DPR bersama pe­merintah sebagai pembentuk undang-undang. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA