WAWANCARA

I Gede Dewa Palguna: Cuma Sekali Ketemu Ibu Megawati, Tahun 2000 Bahas Perubahan UUD

Senin, 12 Januari 2015, 09:58 WIB
I Gede Dewa Palguna: Cuma Sekali Ketemu Ibu Megawati, Tahun 2000 Bahas Perubahan UUD
I Gede Dewa Palguna
rmol news logo I Gede Dewa Palguna mengaku tidak pernah berkeingi­nan kembali menjadi hakim konstitusi. Bagi pria kelahi­ran Bangli (Bali) itu sudah cukup menjadi hakim konsti­tusi satu periode, 2003-2008.

Sebenarnya saya tidak pingin lagi. Makanya saya dua kali menolak mengikuti seleksi. Yakni 2008 dan 2013,” ujar hakim kon­stitusi pengganti Hamdan Zoelva, I Gede Dewa Palguna, kepada Rakyat Merdeka, di ruang ker­janya, Gedung Mahkamah Kon­stitusi, Jakarta, Kamis (8/1).

Lalu, kenapa kemarin dia ikut seleksi? Berikut kutipan seleng­kapnya;

Kenapa Anda sekarang tidak menolak lagi?
Wah, sudah dua kali menolak, kok rasanya saya angkuh kalau menolak lagi. Ya sudah, saya ikut seleksi saja. Toh saya pikir belum tentu terpilih.

Bisa dijelaskan kenapa Anda menolak dan siapa yang mem­intanya?
Tahun 2008 saya diminta kem­bali mengikuti tes. Saya menolak karena ingin fokus menyelesaikan studi di Universitas Indonesia. Kemudian 2013 diminta lagi. Saya juga nggak mau. Bahkan beberapa teman di DPR menghubungi kam­pus saya, tapi tetap tak berhasil.

Kenapa seleksi tahun ini berhasil?
Nah, seleksi tahun ini beberapa kelompok mendaftarkan saya. Mis­alnya dari Indonesia Rountable, kelompok mahasiswa, beberapa pusat studi, dari Undip juga. Saya tidak tahu persis apa saja lembaga yang mendaftarkan saya.

Anda kan pernah jadi kader PDIP, apa ada komunikasi den­gan orang PDIP sejak proses seleksi hingga terpilih menjadi hakim konstitusi?
Kalau komunikasi dengan PDI-P sudah nggak ada, dalam arti sebagai partai ya. Tapi kalau kawan-kawan, ya gimana itu kawan-kawan saya. Di Bali itu kan memang banyak teman-teman

dari PDIP. Tapi tidak intensif, sesekali saja. Paling kalau saya diminta ceramah. Kalau mereka buat acara, terus saya diminta orasi, ya begitu-begitu saja.

Kalau dengan petinggi PDIP di Jakarta?
Malah tidak ada (komunikasi) sama sekali.

Nggak ada komunikasi den­gan Megawati Soekarnoputri?
Apalagi dengan Ibu Mega. Coba tanya sama beliau, kenal nggak sama saya.

Sebagai kader PDIP, masak sih nggak pernah ketemu Mega?
Saya cuma ketemu beliau ta­hun 2000 kalau tidak salah saat pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar. Saya diutus untuk menjelaskan bagaimana kon­sep perubahan Undang-Undang Dasar itu.

Kalau dengan Presiden Jokowi?
Nah itu apalagi. Pak Jokowi itu sama sekali tidak saya kenal. Bah­kan pas beliau ke Bali, saya tidak di Bali, saya di Jakarta mengajar.

Bagaimana ceritanya Anda bergabung dengan PDI-P wak­tu itu?
Kisahnya 1999, saya menjadi utusan daerah oleh DPRD Bali. Waktu itu belum ada DPD. Utusan Daerah MPR diutus oleh dewan di daerah. Eh tahu-tahu Sidang Umum MPR 1999, Fraksi Utusan Daerah dibubarkan. Waktu itu ada tata tertib yang tidak membolehkan anggota MPR yang tidak berfraksi. Jadi pilihan kami cuma dua, pu­lang ke Bali atau bergabung ke dalam salah satu fraksi. Kemudian kami kembali ke daerah menjelas­kan. Sidang pleno DPRD di Bali memutuskan saya bergabung dengan PDIP.

Tapi secara Ideologis pasti pu­nya kedekatan dengan PDI-P?
Kalau secara ideologis ya. Kel­ompok nasionalis di Bali itu cuma dua. Kalau nggak Golkar, ya PDIP. Nggak ada cerita yang lain itu. Tapi saya bukan anggota partai, wong saya pegawai negeri kok.

Ketika Anda menjadi hakim konstitusi (2003-2008) apa ada putusan menguntungkan PDIP?
Boleh dicek saja. Lagipula apa pula kepentingan mereka, kecuali waktu pemilu. Justru banyak yang ditolak, karena memang sudah seharusnya kalah. Mereka juga tidak pernah protes. Me­mang tidak punya bukti.

Banyak keputusan Anda yang mengalahkan PDI-P?
Banyak. Apalagi keputusan Mahkamah Konstitusi waktu itu memang hanya dengan memeriksa suara kan. Tinggal menghitung suara sahnya saja. Jadi pembuk­tiannya mudah, gampang sekali. Makanya putusan MK tahun 2004 itu rasanya tidak ada yang komplain.

Setelah tidak lagi menjadi hakim konstitusi, apa Anda masih diminta pendapat dalam putusan-putusan MK?

Saya sibuk menjadi dosen, satu kalipun saya tidak pernah menjadi ahli di sidang Mahka­mah Konstitusi. Satu kali pernah memberikan keterangan tertulis untuk menghilangkan sengketa Pilkada yang diminta oleh teman-teman Al-Azhar. Tapi saya tidak hadir di MK. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA