Sebenarnya saya tidak pingin lagi. Makanya saya dua kali menolak mengikuti seleksi. Yakni 2008 dan 2013,†ujar hakim konÂstitusi pengganti Hamdan Zoelva, I Gede Dewa Palguna, kepada
Rakyat Merdeka, di ruang kerÂjanya, Gedung Mahkamah KonÂstitusi, Jakarta, Kamis (8/1).
Lalu, kenapa kemarin dia ikut seleksi? Berikut kutipan selengÂkapnya; Kenapa Anda sekarang tidak menolak lagi? Wah, sudah dua kali menolak, kok rasanya saya angkuh kalau menolak lagi. Ya sudah, saya ikut seleksi saja. Toh saya pikir belum tentu terpilih.
Bisa dijelaskan kenapa Anda menolak dan siapa yang memÂintanya? Tahun 2008 saya diminta kemÂbali mengikuti tes. Saya menolak karena ingin fokus menyelesaikan studi di Universitas Indonesia. Kemudian 2013 diminta lagi. Saya juga nggak mau. Bahkan beberapa teman di DPR menghubungi kamÂpus saya, tapi tetap tak berhasil.
Kenapa seleksi tahun ini berhasil?Nah, seleksi tahun ini beberapa kelompok mendaftarkan saya. MisÂalnya dari Indonesia Rountable, kelompok mahasiswa, beberapa pusat studi, dari Undip juga. Saya tidak tahu persis apa saja lembaga yang mendaftarkan saya.
Anda kan pernah jadi kader PDIP, apa ada komunikasi denÂgan orang PDIP sejak proses seleksi hingga terpilih menjadi hakim konstitusi?Kalau komunikasi dengan PDI-P sudah nggak ada, dalam arti sebagai partai ya. Tapi kalau kawan-kawan, ya gimana itu kawan-kawan saya. Di Bali itu kan memang banyak teman-teman
dari PDIP. Tapi tidak intensif, sesekali saja. Paling kalau saya diminta ceramah. Kalau mereka buat acara, terus saya diminta orasi, ya begitu-begitu saja.
Kalau dengan petinggi PDIP di Jakarta?Malah tidak ada (komunikasi) sama sekali.
Nggak ada komunikasi denÂgan Megawati Soekarnoputri?Apalagi dengan Ibu Mega. Coba tanya sama beliau, kenal nggak sama saya.
Sebagai kader PDIP, masak sih nggak pernah ketemu Mega?Saya cuma ketemu beliau taÂhun 2000 kalau tidak salah saat pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar. Saya diutus untuk menjelaskan bagaimana konÂsep perubahan Undang-Undang Dasar itu.
Kalau dengan Presiden Jokowi?Nah itu apalagi. Pak Jokowi itu sama sekali tidak saya kenal. BahÂkan pas beliau ke Bali, saya tidak di Bali, saya di Jakarta mengajar.
Bagaimana ceritanya Anda bergabung dengan PDI-P wakÂtu itu?Kisahnya 1999, saya menjadi utusan daerah oleh DPRD Bali. Waktu itu belum ada DPD. Utusan Daerah MPR diutus oleh dewan di daerah. Eh tahu-tahu Sidang Umum MPR 1999, Fraksi Utusan Daerah dibubarkan. Waktu itu ada tata tertib yang tidak membolehkan anggota MPR yang tidak berfraksi. Jadi pilihan kami cuma dua, puÂlang ke Bali atau bergabung ke dalam salah satu fraksi. Kemudian kami kembali ke daerah menjelasÂkan. Sidang pleno DPRD di Bali memutuskan saya bergabung dengan PDIP.
Tapi secara Ideologis pasti puÂnya kedekatan dengan PDI-P?Kalau secara ideologis ya. KelÂompok nasionalis di Bali itu cuma dua. Kalau nggak Golkar, ya PDIP. Nggak ada cerita yang lain itu. Tapi saya bukan anggota partai, wong saya pegawai negeri kok.
Ketika Anda menjadi hakim konstitusi (2003-2008) apa ada putusan menguntungkan PDIP?Boleh dicek saja. Lagipula apa pula kepentingan mereka, kecuali waktu pemilu. Justru banyak yang ditolak, karena memang sudah seharusnya kalah. Mereka juga tidak pernah protes. MeÂmang tidak punya bukti.
Banyak keputusan Anda yang mengalahkan PDI-P?Banyak. Apalagi keputusan Mahkamah Konstitusi waktu itu memang hanya dengan memeriksa suara kan. Tinggal menghitung suara sahnya saja. Jadi pembukÂtiannya mudah, gampang sekali. Makanya putusan MK tahun 2004 itu rasanya tidak ada yang komplain.
Setelah tidak lagi menjadi hakim konstitusi, apa Anda masih diminta pendapat dalam putusan-putusan MK?Saya sibuk menjadi dosen, satu kalipun saya tidak pernah menjadi ahli di sidang MahkaÂmah Konstitusi. Satu kali pernah memberikan keterangan tertulis untuk menghilangkan sengketa Pilkada yang diminta oleh teman-teman Al-Azhar. Tapi saya tidak hadir di MK. ***
BERITA TERKAIT: