Meski di kawasan pegunungan, situs cukup mudah dijangkau. JaÂlan 30 kilometer dari Kota CianÂjur menuju lokasi situs sudah muÂlus beraspal. Untuk mencapai punÂcak Gunung Padang, peÂngunÂjung bisa melewati dua jalur. Satu jalur memiliki kemiringan yang leÂbih curam, namun jaraknya reÂlatif pendek. Sebaliknya, jalur lainnya lebih landai, tapi jaraknya lebih panjang karena jalan selebar 1 meter itu mengitari bukit.
Berada di ketinggian 855 meter di atas permukaan laut (dpl) GuÂnung Padang, udara sangat sejuk. Hamparan kebun teh yang meÂngelilingi situs megalitikum yang diperkirakan dibangun pada 5.000 tahun sebelum Masehi itu menambah nyaman tempat terÂseÂbut untuk melepas penat. Apalagi, untuk masuk area itu, pengunjung ditarik tiket sangat murah. Hanya Rp 2.000 bagi orang Indonesia dan Rp 5.000 bagi turis asing.
Begitu sampai di lokasi, peÂngunjung akan disambut para juru pelihara yang bertugas menÂjaga peninggalan sejarah yang berÂnilai tinggi itu dari berbagai aktivitas yang tidak bertanggung jawab. Para juru pelihara tersebut setiap hari, siang malam, harus beÂrada di lokasi meninggalkan, kehidupan ramai di bawah (kota). Termasuk keluarga masing-maÂsing. Mereka para PNS (pegawai negeri sipil) terpilih dari Pemkab Cianjur, Pemprov Jawa Barat, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Menurut Koordinator Juru PeÂlihara Situs Gunung Padang NaÂnang, dalam empat tahun terakhir kesibukan mereka semakin padat. Sebab, semakin banyak orang yang mengunjungi situs tersebut. “Kunjungan orang ke sini naik tajam,’’ kata Nanang.
Bahkan, yang mengejutkan, kata Nanang, pada 2012 rata-rata ada 10 ribu orang per bulan. “BahÂkan, pernah dalam sehari 6.000 pengunjung. Itu rekor tertingÂgi kunjungan ke situs ini,’’ tuturnya.
Pada hari libur nasional biasaÂnya pengunjung melimpah. BaÂnyak warga dari kota yang meÂmanfaatkan tempat rekreasi baru tersebut untuk melepas lelah dan mencari udara segar. Nah, saat ituÂlah Nanang dkk harus kerja ekstrakeras. Sebab, tidak sedikit pengunjung yang penasaran, lalu memegang, menduduki, bahkan mencoret-coreti.
Karena itu, Nanang bersama delapan petugas lain harus rajin mengelilingi situs seluas 3 hekÂtare tersebut untuk memastikan para pengunjung tidak meÂlaÂkuÂkan hal-hal yang membuat waÂriÂsan budaya itu rusak. Fokus meÂreka adalah teras utama. Teras utaÂma terdiri dari lima tingkat deÂngan luas 900 meter persegi.
Area datar berada di teras perÂtama. Ketika pengunjung sangat ramai, pengawasan difokuskan di area yang terdiri atas lima undak berjajar itu. “Sebisa mungkin seÂtiap juru pelihara dapat meÂngaÂwasi gerak-gerik pengunjung satu per satu,†tegasnya.
Salah satu hal yang paling sulit dilakukan Nanang dkk adalah mencegah pengunjung naik ke batu-batu balok yang masih berÂdiri. Batu berukuran jumbo itu meÂmang benda favorit untuk peÂngambilan foto.
Dulu, ketika pengunjung masih sepi, banyak batu yang masih berÂdiri tegak. Batu-batu itu memÂbenÂtuk sekat-sekat mirip kotak-kotak ruang. Namun, setelah baÂnyak peÂngunjung yang sering meÂnÂduÂduki atau menaiki, kini banyak batu tersebut yang roboh. AkiÂbatÂnya, bentuk sekat-sekat ruangnya ikut rusak. Itulah yang sangat diÂsayangkan karena kecerobohan peÂngunjung itu membuat konsÂtrukÂsi situs berubah.
Konon setiap undak di situs terÂsebut digunakan sebagai tempat pemujaan warga pada masa praÂsejarah, sekitar tahun 2000 seÂbeÂlum Masehi. Semakin tinggi unÂdak yang digunakan meÂmanÂjatÂkan doa, semakin tinggi derajat keÂagamaan masyarakat setempat.
“Sangat disayangkan kalau batu-batu yang masih berdiri itu akhirnya roboh. Memang, paling sulit adalah mencegah pengunÂjung untuk tidak menaikinya,†papar Nanang.
Tidak hanya bisa merusak siÂtus, aksi nakal para pengunjung bisa membahayakan mereka sendiri. Sebab, batu-batu itu haÂnya tertancap di tanah. Tidak ada fondasinya. Dengan demikian, bila tidak kuat menahan beban di atasnya, batu-batu tersebut bisa-bisa roboh dan menimpa pengunÂjung. “Ini yang kami khawatirkan selama ini,’’ ungkapnya.
Menjadi juru pelihara situs GuÂnung Padang sejak 1994, Nanang merasakan banyak suka dan duÂkanya. Sebab, pekerjaan itu terÂmasuk profesi yang tidak biasa bagi orang di sekitar Gunung PaÂdang. Orang-orang di sana umumÂnya lebih tertarik menjadi peÂdagang atau petani. Banyak juga yang memilih merantau ke kota, termasuk Jakarta.
“Sejak muda saya diperÂkeÂnalÂkan ke situs ini oleh orang tua. ItuÂlah yang membuat saya tertaÂrik menjadi juru pelihara di sini,†kenangnya.
Awalnya Nanang bekerja seÂcara swadaya alias pegawai hoÂnorer untuk menjaga situs itu. MeÂreka mendapatkan gaji dari uang yang disisihkan dari pemaÂsuÂkan tiket masuk. Dia rata-rata menÂdapat honor Rp 500 ribu per bulan.
Tetapi, setelah diangkat sebaÂgai PNS pada 1997, keÂseÂjahÂteÂraÂan Nanang meningkat. Dia juga beÂkerja seperti halnya PNS pada umumnya, mulai pukul 08.00 hingga 15.00. Tapi, dia kadang haÂrus melembur karena ada peÂngunÂjung yang datang malam untuk meÂlakukan kegiatan ritual.
Gunung Padang Tempat RitualMenghadap Gunung Gede-Pangrango
Situs Gunung Padang mulai raÂmai dikunjungi empat tahun terakhir. Itu terjadi setelah Andi Arief, Staf Khusus Presiden BiÂdang Bencana, menyebut di daÂlam situs Gunung Padang terÂdaÂpat bangunan berbentuk piÂraÂmida. Sejak itu, berbagai penÂeÂliÂtian arkeologi kembali digiatÂkan. Orang berduyun-duyun ingin menyaksikan dari dekat baÂngunan piramida raksasa di gunung tersebut.
Asep, juru pelihara paling seÂnior mengatakan, menjaga situs Gunung Padang merupakan suatu kehormatan. Sebab, tidak setiap warga setempat bisa menÂjadi petugas situs purbakala itu. Hanya orang-orang terpilih yang boleh menjadi juru peliÂhaÂra. “Sejak lahir saya sudah puÂnya ikatan dengan situs Gunung Padang ini,’’ tuturnya.
Sebab, Asep dilahirkan di seÂbuah lembah tidak jauh dari siÂtus tersebut. Sayang, desa temÂpat Asep dilahirkan itu kini suÂdah hilang karena disapu banjir bandang. Dia pun harus pindah ke desa lain.
Sebagai juru pelihara paling seÂnior, Asep memang paling maÂhir menjelaskan situs GuÂnung Padang dengan lebih deÂtail. Dia menyebutkan bahwa siÂtus itu merupakan tempat peÂmuÂjaan bagi nenek moyang. Sebab, lokasi situs menghadap Gunung Gede dan Gunung Parangro di seÂberangnya. Menurut keperÂcaÂyaÂan orang tempo dulu, dua guÂnung tersebut merupakan poros unÂtuk memuja Sang Pencipta.
Gunung Padang juga berada di tengah beberapa gunung beÂsar. Di sisi barat ada Gunung KaÂruhun, sisi timur Gunung PaÂsir Malang, dan di selatan GuÂnung Malati, Gunung Pasir EmÂpet, serta Gunung Batu.
Menurut Asep, meskipun diÂpercaya sebagai peninggalan 5.000 tahun SM, situs Gunung PaÂdang pernah digunakan keÂrajaan-kerajaan di Jawa Barat. Di antaranya, Kerajaan PajaÂjaÂran dan Kerajaan Siliwangi. Itu dibuktikan dengan peneÂmuan koin-koin berlubang dari TionÂgÂkok di kolam bagian deÂpan area siÂtus. Koin-koin terÂsebut seÂÂzaÂman dengan KeÂraÂjaan SiÂliwangi. ***