Ramadhan: Perspektif Ekonomi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ms-kaban-5'>MS KABAN</a>
OLEH: MS KABAN
  • Jumat, 02 Agustus 2013, 10:45 WIB
Ramadhan: Perspektif Ekonomi
MESKI irasional, tapi sebagian masyarakat berharap seluruh bulan menjadi seperti bulan suci Ramadhan. Mengapa? Karena selama Ramadhan, terkucur nikmat yang relatif tak terbatas. Bagi kalangan agamis, mereka melihat kelipatan hitungan yang sangat fantastik jika beramal saleh, terdapat peluang besar untuk meraih ampunan Allah dan keberkahan yang tak terhingga. Di sanalah peluang sangat terbuka untuk mendapatkan surga-Nya jika dirinya menunaikan puasa (shaum) dengan penuh imanan dan ihtisaban.

Yang cukup memukau, karunia yang tergelar di tengah Ramadhan tidak hanya hal-hal yang berdimensi ukhrawi. Tapi, aspek keduniaan pun cukup terbuka lebar. Dan fakta menunjukkan, para pelaku ekonomi meraih pendapatan besar atas kehadiran bulan suci Ramadhan.

Tak sedikit di antara umat manusia -yang berpuasa ataupun tidak, dari barisan Muslim ataupun umat lainnya- merasakan manfaat besar dari kehadiran Ramadhan yang tersirkulasi atau terdistribusi secara menyeluruh: di wilayah perkotaan hingga pedesaan. Tak dapat disangkal, roda ekonomi benar-benar tampak hidup selama bulan suci ini. Karena itu, tidaklah berlebihan jika sebagian umat manusia -terutama yang jeli menangkap peluang ekonomi ini- mengharapkan seluruh bulan (sepanjang tahun) menjadi Ramadhan, meski hal ini tidaklah mungkin. Keinginan ini dapat kita catat sebagai implikasi positif atas tingkat pendapatan yang menaik tajam dan hal ini berbeda bila diperbandingkan bulan-bulan lainnya.

Sesungguhnya, peningkatan pendapatan atau keuntungan merupakan konsekuensi logis dari tingkat permintaan barang yang menaik tajam. Yang perlu kita kritisi, bagaimana perkembangan ekonomi itu tidak menjadi beban, terutama bagi kaum konsumen? Dalam hal ini mentalitas pedagang, termasuk mereka yang muslim diuji, apakah akan menerapkan sistem ekonomi syariah yang mengedepankan nilai keadilan, saling rela (‘an taradlin) antara pembeli dan penjual, atau justru kapitalistik, yakni mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengindahkan posisi keterpojokan konsumen?

Tak dapat disangkal, nilai-nilai atau prinsip kesyariahan pada para pelaku ekonomi sering diabaikan. Dengan dalih perkembangan harga yang terus bergerak naik dari sumbernya (produsen dan atau mata rantainya) dan agar bisa berbelanja lagi, maka barang dagangannya pun dilepas dengan harga yang kadang tidak wajar. Sering terjadi, kenaikannya mencapai dua atau tiga kali lipat dari harga sebelumhya. Dalam hal ini terjadi eksploitase sebesar-besarnya atas kebutuhan obyektif para konsumen. Implikasinya, masyarakat konsumen terutama yang terbatas daya belinya benar-benar digabung kepentingannya tanpa perlindungan yang berarti dari pihak lain seperti Pemerintah.

Sebagai Pemerintah haruslah bertanggung jawab untuk menciptakan keadilan, bukan membiarkan. Di satu sisi, ia harus memberikan stimulus atau memfasilitasi perkembangan ekonomi yang tumbuh di berbagai sentra dan hal ini merupakan harapan untuk perbaikan pendapatan masyarakat. Tapi di sisi lain konsumen pun harus diperhatikan hak-hak ekonominya. Di sinilah sejatinya peran Pemerintah harusnya mampu mendamaikan dua “kutub” (pelaku ekonomi versus konsumen). Jika tidak, maka bukan hanya kalangan konsumen yang tergebuk kepentingannya, tapi Pemerintah itu sendiri ikut merasakan dampak destruktifnya. Bagaimanapun, peningkatan jumlah uang edar (M2) dan turun nilainya dibanding harga barang menjadi persoalan serius bagi makhluk inflasi, yang menurut Pemerintah akan berhasil ditekan sampai pada 7,2% pada akhir tahun ini. Persoalan makro ini akan memperlemah posisi ekonomi nasional. Dan inilah kecenderungan yang terus terjadi hampir di setiap Ramadhan.

Haruskah menyalahkan bulan suci Ramadhan? Persoalannya sangat tergantung pada perilaku umat manusia itu sendiri yang memang menerapkan karakter budaya aji mumpung (carpedium). Nafsu keserakahan memburu rente sebesar-besarnya yang menjadi ideologi kapitalisme demikian merasuk, sehingga ia tidak mampu membedakan antara perilaku ekonomi yang islami (menghargai hak-hak pihak lain) dengan prinsip ekonomi thaghut yang eksploitatif itu.

Kini atas nama mengayomi seluruh kepentingan rakyat Pemerintah dituntut untuk menormalkan perkembangan harga. Dan masa Ramadhan menjadi pekerjaan mendesak untuk stabilisasi itu. Jika kita mengedepankan pendekatan perimbangan supply-demand, maka harus mampu memantau posisi kedua pihak itu. Operasi pasar dalam bentuk bazar murah atau bersifat langsung memasok ke sentra-sentra pasar menjadi langkah yang wajib dilakukan jika terindikasi adanya keterbatasan pasok. Namun, jika posisi permintaan dan penawaran seimbang tapi harga tetap melambung, maka sudah seharusnya Pemerintah bersikap tegas untuk memberikan sanksi tertentu terhadap para spekulan. Persoalannya, apakah “tim” inspeksi mendadak (sidak) konsisten dalam menjalankan fungsinya, atau justru memainkan perannya lalu mudah dikooptasi? Inilah persoalan mentalitas yang sering kita saksikan pada tim inspektor.

Pendek kata, Pemerintah tidak boleh menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Inilah bentuk tanggung jawabnya selaku pengendali kekuasaan, termasuk sektor ekonomi. Jika kita cermati perkembangan harga yang hiperbolik setiap Ramadhan, maka kita dapat menggaris-bawahi bahwa Pemerintah seperti tak berdaya menghadapi kecenderungan yang terus terjadi di setiap tahun. Sebuah renungan, apakah ketidakberdayaannya murni ketidakmampuanya, atau by design (tunduk pada kepentingan pihak lain)?

Apapun faktornya katakanlah ketidakberdayaan menunjukkan ironisme. Hal ini secara langsung atau tidakmenggambarkan ketidakcakapannya dalam mengelola aspek-aspek strategis sistem perekonomian. Bahkan secara miris bisa dinilai lebih jauh: tidak mampu memimpin. Yang jauh lebih memprihatinkan adalah jika terdapat nuansa konspirasi dengan pihak tertentu (asing ataupun lokal). Di sinilah urgensinya potret pemimpin yang responsif terhadap seluruh dinamika yang terjadi, terutama yang mengancam kepentingan publik.

Lebih dari itu, sudah saatnya dibangun sistem perekonomian yang berkarakter manusiawi, bukan liberalistik yang menghalalkan segala cara. Dalam hal ini sistem ekonomi syariah menjadi alternatif yang harus diinternalisasikan kepada seluruh pihak, terutama yang berkiprah di aktivitas ekonomi, apapun kelasnya. Prinsip atau karakter eksploitatif secara terencana  harus dibangun menjadi pengetahuan, sekaligus menjadi kesadaran untuk dihindari oleh setiap pelaku ekonomi.

Yang menarik untuk kita analisis secara mikro adalah tingkat keuntungan kecil yang diterapkan bukan hanya menjadi alat marketing tersendiri yang bersifat “promotif” (menarik pelanggan), tapi hal ini menjadi faktor penting terjadinya akumulasi keuntungan. “Sedikit demi sedikit, tapi akhirnya besar hasilnya”. Inilah pendekatan bisnis yang sering diberlakukan kalangan pebisnis Cina. Sebagian mereka bukan muslim atau muslimat, tapi menjalankan prinsip ekonomi Islami.
 
Kiranya, model dagang yang sudah mengempiris itu juga jauh sebelumnya pernah dipraktikkan Muhammad sebelum menjadi Rasul perlu ditransformasikan lebih mendalam kepada seluruh elemen pedagang, dalam kategori apapun. Perlu diyakini, penerapan sistem dagang (ekonomi) yang dipercontohkan Rasulullah bukan hanya memberikan harapan besar untuk memposisikan pelaku ekonomi yang sukses, tapi juga memberikan perlindungan (tidak menggencet) kepentingan konsumen. Terjadi perlakuan yang adil. Inilah model yang harusnya dibangun secara regulatif oleh Pemerintah. Dan Pemerintah sejatinya sangat memerlukan model ekonomi yang justru mengurangi beban ekonomi nasional sebagai buah nyata keberhasilannya mengurangi inflasi nasional.

Akhirnya, Ramadhan bisa dijadikan momentum untuk menerapkan rancangan kebijakan sekaligus agenda aksi ekonomi yang nyata-nyata memberikan arti dan kontribusi konstruktif bagi kepentingan pelaku ekonomi, sekaligus menunjukkan keberpihakan kepada kalangan konsumen. Inilah sosok penguasa ideal yang bisa memberikan kenyamanan bagi semua pihak. Harapan kita, momentum Ramadhan jangan sampai terlewatkan. Marhaban yaa Ramadhan... Kehadiranmu memberikan makna konstruktif bagi kepentingan kemanusiaan, dalam dimensi keagamaan yang bersifat ukhrawi, medik, ataupun keduniaan, termasuk kegiatan ekonomi. Inilah sebuah perspektif yang perlu kita renungkan bersama agar kita tidak terjebak pada pemahaman sempit dalam beragama.

Penulis Ketua Umum Partai Bulan Bintang


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA