Ramadhan dan Kejujuran

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ms-kaban-5'>MS KABAN</a>
OLEH: MS KABAN
  • Rabu, 31 Juli 2013, 14:51 WIB
Ramadhan dan Kejujuran
net
HANYA diri kita sendiri yang tahu. Itulah kondisi kita berpuasa. Batal dan tidaknya, hanya diri yang bersangkutan yang tahu, di samping Allah yang memang Maha Tahu. Juga, malaikat Raqib dan `Atied, sang pencatat perbuatan setiap diri umat manusia. Maka, kejujuran menjadi kata kunci kita berpuasa. Seorang beriman akan mempertahankan kejujurannya dengan menahan diri dari mengkonsumsi sesuatu yang membatalkan puasanya, meski tak diketahui oleh siapapun.

Yang perlu kita catat lebih jauh, bagaimana kesadaran sikap kejujuran itu menjadi kepribadian seluruh umat manusia, sebagai diri pribadi dalam kapasitas atau posisi apapun, tidak hanya selama bulan Ramadhan tapi selanjutnya. Inilah spirit edukatif yang sebenarnya bisa dipetik dari ibadah berpuasa yang diwajibkan setahun sekali (Q.S. al-Baqarah : 182-185). Edukasi ini cukup menggambarkan dimensi yang cukup luas dimana kejujuran menjadi hal penting untuk kehidupan umat manusia.

Allah sebagai Maha Pelindung untuk sekalian alam memandang penting masalah kejujuran karena pengaruh berpuasa sangat positif bagi umat manusia, di samping makhluk lainnya. Kejujuran yang menempa diri manusia berpotensi besar untuk mencegah kehancuran umat manusia. Hubungan manusia akan terjaga dengan baik bahkan harmonis jika kejujuran mewarnai setiap intraksinya, dalam kaitan sosial, ekonomi-bisnis, politik, hukum, pendidikan bahkan wilayah keagamaan. Lebih dari itu, kejujuran juga akan mampu membangun pola pikir yang pasti akan menyelematkan kepentingan semua pihak. Implikasi dari kejujuran itu ekosistem (lingkungan dengan seluruh populasi dan yang ada di dalamnya) akan terjaga tanpa eksploitasi dan atau eksplorasi secara berlebihan.

Makna penting kejujuran itu kian diabaikan bahkan semakin canggih bagaimana mengebirinya. Kejujuran kian langka dalam diri manusia modern ini.  Maka, wajar jika kita saksikan ketidaktenangan dan ketidaknyamanan bagi orang-orang yang mengebiri kejujuran itu, kerusakan tata-nilai, bahkan kehancuran untuk sektor-sektor lainnya. Itulah implikasi para pihak yang tergerus kejujurannya yang kian terasa dalam panggung kehidupan ini dan terus mengancam.

Kini, melalui spirit kejujuran yang dibangun melalui praktik ibadah puasa selama Ramadhan diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran setiap diri sampai pada tahab praksis di sektor apapun. Kita perlu merenungkan, sampai sejauh mana kemungkinan pengaruh konstruktif-positif kejujuran itu menjadi kepribadian bahkan prinsip hidup?

Jawabannya sangat tergantung dari kualitas penghayatan dan memaknai ibadah puasanya. Jika dilakukan hanya sebatas menjalankan kewajiban (menahan makan dan minum), maka spirit kejujuran berpuasa akan terlepas begitu saja, tanpa bekas meski dirinya telah tertempa selama Ramadhan. Kualitas beribadah seperti ini menjadikan keberadaan orang-orang yang berpuasa tak ubahnya buih, sama sekali tak punya kekuatan: mudah terhempas oleh angin atau ombak.

Kini, untuk seluruh masyarakat muslim di Tanah Air khususnya, sudah saatnya merenungkan kualitas keberibadahan kita, dalam hal puasa Ramadhan, atau nilai-nilai syariah lainnya. Jika kita wujudkan substansi nilai yang dikandungnya, bukan hanya bermakna menjalankan perintah Allah dan Rasul, tapi kemanfatannya jelas: kita semua sebagai pribadi akan terbangun rasa aman dan nyaman, terhindar dari gejolak sosial-ekonomi-politik yang destruktif.

Puasa akan mampu memancarkan sinar kepercayaan publik. Sistem tata-nilai kehidupan pun akan terbangun dengan penuh keharmonisan. Dunia hukum pun akan mudah ditegakkan. Juga, tidaklah sulit untuk mewujudkan keadilan, di bidang hukum itu sendiri, ataupun bidang sosial-ekonomi. Inilah manfaat besar dari nilai-nilai universalitas Islam yang sering dipandang secara reduktif, sehingga kita semua harus menghadapi sejumlah konsekuensi logisnya.

Semoga, kehadiran Ramadhan menjadi pembuka kasadaran lalu mengambil spirit dan makna konstruktifnya. Insya Allah, karunia besar akan segera tergapai, tidak hanya nilai-nilai ibadah vertikalnya yang dapat kita jumpai dalam padang mahsyar nanti, tapi implikasi horisontalnya selagi di dunia ini.

Sebagai muslim beriman haruslah meyakininya, karena Allah memang tak pernah ingkari janjinya (Q.S. Ar-Ra`d: 31). Semoga, kita belajar dari komitmen-Nya yang begitu istiqomah karena memang mengandung nilai-nilai kebaikan untuk semua makhluk di muka bumi ini, berdimensi sangat humanis dan sangat peaceful dengan jagad raya. Inilah salah satu bukti ketentuan Islam yang sejatinya memberikan rahmatan lil`alaimin, tanpa pandang perbedaan agama, apalagi ras.

 Jakarta, 31 Juli 2013

Penulis adalah Ketua Umum Partai Bulan Bintang

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA