Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Polisi Waspadai Peningkatan Uang Palsu Jelang Pemilu

Temukan Upal Senilai Rp 1,2 Triliun

Minggu, 12 Mei 2013, 09:07 WIB
Polisi Waspadai Peningkatan Uang Palsu Jelang Pemilu
ilustrasi, uang palsu
rmol news logo Kepolisian bersama Bank Indonesia mengintensifkan penanganan perkara peredaran uang palsu. Pengawasan peredaran upal di wilayah perbatasan dan pedalaman pun ditingkatkan.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Pose Nuriyah alias Umriyah be­gitu meyakinkan. Berseragam Polri lengkap berpangkat bintang dua di pundak dan tongkat ko­man­do di genggaman tangan ka­nan­nya, dia tersenyum. 

Tapi, Nu­riyah adalah Polisi Wanita (Pol­wan) gadungan. Foto seukuran pos­ter lainnya memuat tampang Nuriyah berseragam Bupati. Leng­kap dengan topi kebesaran dan wing di dadanya, Nuriyah tam­pil layaknya bupati sungguhan.

Namun, dua foto yang semula terpampang di dinding ruang tamu dan kamar Nuriyah itu, kini hanya tertumpuk di ruang tempat penyimpanan barang bukti Sub Direktorat Uang Palsu Direktorat Ekonomi Khusus Bareskrim Ma­bes Polri.

Soalnya, kepolisian me­­nyangka, pemalsu dan penge­dar upal ini menggunakan foto untuk menjerat para korban aksi kriminilnya. “Dia mengaku per­nah jadi polisi dan bupati,” kata Di­rektur II Ekonomi Khusus Ba­reskrim Brigjen Arif Sulistyo.

Menurut Arif, modus operandi pemalsuan dan peredaran upal oleh Nuriyah alias Umriyah su­dah diidentifikasi sejak lima ta­hun silam. Tapi, setelah bebas dari penjara, Nuriyah kembali di­ringkus jajaran Sub Direktorat Uang Palsu dan Polresta Bogor.

Kali ini, polisi menyita uang ru­piah pecahan Rp 100 ribu, to­talnya Rp 2,7 juta. Selain itu, ter­dapat pula uang kertas mata uang Brasil, mata uang Cina, dan uang kertas Singapura pecahan 10 ribu dolar Singapura sebanyak 153 lembar. Uang kertas pecahan ru­piah dan pecahan mata uang asing yang diamankan kepo­li­sian, totalnya 59847 lembar.

Barang bukti yang disem­bu­nyi­kan di dalam bunker kamar ter­sangka, seluruhnya berno­minal Rp 1,2 triliun. Kini, gepo­kan upal tersebut disimpan di Polresta Bogor.

“Bukan hanya di­simpan se­ba­gai barang bukti, uang-uang itu juga diteliti,” tandasnya.

Penelitian mengenai upal di­la­kukan dengan memeriksa ma­te­rial kertas dan mutu cetakan. Ke­po­lisian juga berkoordinasi de­ngan Bank Indonesia (BI) Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu Badan Intelijen Negara (Bo­tasupal BIN) dan Peruri.

Menurutnya, upal itu nyaris sama dengan uang rupiah asli. Ka­rena hal itu, polisi melacak pab­rik tempat pembuatan upal ter­sebut. Arif belum mau mem­beberkan tempat yang diduga se­bagai lokasi pencetakan upal.

“Kami sedang dalami modus operandi pencetakan upal dan un­tuk kepentingan apa upal dicetak dan disebarluaskan ke mas­ya­ra­kat,” katanya. Kendati begitu, dia tak membantah bila pabrik pen­cetakan upal Nuriyah diduga be­ra­da di wilayah Jakarta.

Berkaitan dengan penanganan kasus ini, Arif mengingatkan, se­iring pelaksanaan pemilu, umum­nya kasus peredaran upal me­ningkat. Sebab, kebutuhan uang  partai peserta pemilu, capres dan caleg biasanya sangat besar.

Kecenderungan ini me­mung­kinan tim kampanye parpol, pen­dukung capres, dan caleg tertentu menggunakan upal untuk kepen­tingan kampanyenya. Oleh ka­renanya, dia meminta masyarakat waspada.

Kepala Biro Humas BI Difi Jo­hansyah menyebutkan, kecen­de­ru­ngan peredaran upal menjelang pemilu sudah diantisipasi. Me­ka­nisme antisipasi dilakukan BI dengan cara mengedepankan dua langkah pengawasan. “Pertama, upaya preventif. Kedua, upaya rep­resif,” katanya.

Upaya preventif dilakukan de­ngan cara mengoptimalkan pe­nga­wasan peredaran uang oleh tim internal BI. Optimalisasi pe­ngawasan itu, kini difokuskan di wilayah-wilayah terpencil dan perbatasan.

Pilihan meningkatkan eskalasi pe­ngawasan di wilayah terpencil dan perbatasan, dipicu tingkat pe­mahaman masyarakat tentang uang palsu yang masih rendah. Lalu,  pertimbangan bahwa wila­yah perbatasan kerap dijadikan sarana transit atau lalulintas ma­nusia dari wilayah lain, serta ting­ginya angka kerusakan uang.

Selanjutnya, berkaitan upaya represif dalam penanganan per­kara peredaran upal, BI be­r­koor­dinasi dengan penegak hukum. “Soal represif, ini berkaitan de­ngan langkah penegakan hukum. Kita serahkan sepenuhnya ke ta­ngan yang berwajib,” ucapnya.

Senada Arif, dia sependapat bila pengawasan peredaran upal le­bih diefektifkan untuk me­ngan­tisipasi kemungkinan me­lon­jak­nya peredaran upal menjelang pe­milu. Ditambahkan, pengetatan pengawasan peredaran upal ditempuh agar stabilitas rupiah menjelang dan sesudah pemilu terjaga.

Kilas Balik

Pelaku Lainnya Masih Diburu

Tersangka Nuriyah alias Um­riah yang menyembunyikan uang palsu di bunker rumahnya, berkicau lewat akun twitternya.

Isi kicauannya secara terang-terangan menyebut nama bekas Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf. Dede dikatakan terlibat peredaran upal di wilayah Bogor, Jawa Barat.

Menjawab tudingan tersebut, politisi yang pindah dari PAN ke Partai Demokrat ini menepis ke­ras. Dia mengatakan, sama sekali tidak kenal Nuriyah. Ia meminta Nuriyah mencabut per­nya­ta­an­nya dan meminta maaf. Bila ti­dak, Dede mengancam me­la­por­kan Nuriyah ke kepolisian.

“Saya benar-benar merasa di­fitnah dan bisa merugikan nama baik. Jangankan berkomunikasi, mengenal saja tidak! Saya tahu masalah ini dari pemberitaan dan twitter dia,” jelas Dede dalam sia­r­an persnya.

Selebihnya, jajaran Polresta Bogor, hingga akhir pekan lalu ma­sih menyelidiki dugaan keter­libatan pihak lain. Kapolresta Bo­gor AKBP Bahtiar Ujang Pur­nama, menyatakan,  Umriyah yang berusia 46 tahun adalah war­ga Kampung Legok Mun­cang, Kelurahan Cipaku, Bogor Selatan, Kota Bogor sudah dita­han di Polresta Bogor.

“Kami masih selidiki tempat pembuatan atau percetakan uang palsu yang diduga ada di Jakarta. Kami juga masih memburu tiga pelaku lainnya,” katanya.

Lebih lanjut Bahtiar menje­las­kan, dalam penggeledahan di ke­diaman pelaku, polisi me­nga­man­kan barang bukti uang palsu Rp 1,2 triliun dengan pecahan, 27 lembar uang palsu pecahan Rp 100 ribu, 50.549 lembar uang Brazil pecahan 5.000 real dan 400 lembar uang Brazil 1 real, 1718 lembar uang pecahan Rp 100 ru­piah, dan 153 lembar uang dolar Singapura pecahan 1.000 dolar Singapura.

“Selain barang bukti berupa uang palsu senilai Rp 1,2 triliun, juga ditemukan barang bukti lain­nya berupa plat sertifikat palsu dari bank Swiss yang terbuat dari tembaga,” katanya. Plat itu, diduga digunakan tersangka dan kelompoknya untuk mencetak uang palsu.

Menurut AKB Bahtiar, pelaku menjalankan peredaran uang pal­su di Kota Bogor dan kota-kota besar lainnya selama kurun waktu lima tahun.

“Uang ini untuk di­gandakan dan sebagai alat tran­saksi me­reka,” ujarnya.
Di hadapan petugas, pelaku me­ngelak tuduhan sebagai pe­nge­dar uang palsu.

Nuriyah juga mengaku bahwa foto dirinya yang menggunakan seragam po­lisi
berpangkat Inspektur Jenderal dan bupati hanya untuk kenang-kenangan. “Saya cuma iseng saja, biar masyarakat percaya saya pu­nya uang banyak,” katanya.
Lebih lanjut, ibu empat anak ini mengaku sempat dipenjara di Sukabumi pada 2010 dalam ka­sus uang palsu. “Saya ditahan 1 tahun, karena kedapatan m­e­nyimpan uang palsu. Setelah bebas, saya tergiur lagi pada bis­nis ini karena untungnya besar,” ucapnya.

Dia menampik bahwa aksinya mengedarkan uang palsu terkait persoalan politik atau pemilu.

Uang Palsu Masuk Sistem Sangat Berbahaya
Yanuar Rizki, Pengamat Ekonomi

Peneliti Aspirasi Indonesia Research Institute Yanuar Rizki mengingatkan, peredaran uang palsu perlu diwaspadai secara ekstra. Identifikasi mengenai ini bisa dilakukan lewat dua me­kanisme. “Apakah keja­ha­tan peredaran upal masuk ke da­lam sistem atau tidak,” katanya.

Dia mengidentifikasi, pere­da­ran upal di dalam sistem bisa sangat membahayakan. Ma­sa­lah­nya, uang palsu tersebut masuk ke jaringan perbankan. Oleh sebab itu, tidak salah bila pengetatan sistem di perbankan dilakukan secara komprehensif.

Lebih jauh, kejahatan pere­da­ran upal terkait pelaksanaan pemilu, menurutnya masih ter­jadi di luar sistem. Biasanya, bi­lang dia, kepentingan upal hanya sebatas untuk kampanye atau money politics.

“Sifat pen­distribusiannya lang­sung. Tidak melalui me­ka­nis­me perbankan,” katanya.

Dia menyatakan, pemilik upal biasanya alergi bila ber­singgungan dengan bank.
Sebab, kepemilikan upal ter­se­but bisa mudah diketahui. Le­bih jauh, dikemukakan, pe­man­faa­tan upal untuk kepentingan po­litik uang juga tidak dila­ku­kan secara keseluruhan. Biasa­nya, dari 10 lembar uang, pa­ling banter ada satu atau dua yang palsu.

Yang jelas, kata dia lagi, pe­man­faatan upal untuk ke­­­pen­tingan pemilu belum ma­suk ka­tegori kejahatan luar biasa. Se­bab, sifat dan pemanfataannya masih memakai pola tra­di­sio­nal. Alias, tak memanfaatkan tek­nologi. Sekalipun begitu, dia meminta, pengawasan baik oleh BI maupun penegak hu­kum seputar peredaran upal pada masa jelang pemilu dan pra pemilu ditingkatkan.

Uang Palsu Tidak Selalu Jelang Pemilu
Desmond J Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Desmond J Mahesa menilai, kejahatan uang palsu dapat membawa dampak sistemik terhadap perekonomian.

Dia menolak anggapan bah­wa persoalan peredaran upal ini senantiasa muncul tatkala mu­sim pemilu.

“Sebenarnya tidak selalu be­gitu. Mungkin saja, waktunya kebetulan berdekatan dengan masa pemilu,” tegasnya. Se­bab, kata dia, penggunaan upal untuk kepentingan kampanye sangat berisiko terhadap ke­langsungan partai politik dan karir politisi.

Oleh sebab itu, upaya pe­lang­garan hukum model de­mi­kian pasti akan dihindari. Dia mendesak, sosialisasi menge­nai bentuk dan rupa uang mesti di­lakukan secara ber­ke­sin­am­bungan. Dia pun mengapresiasi langkah kepolisian dan Bank Indonesia yang mengupayakan penanggulangan terhadap peredaran upal.

Lebih lanjut, dia berpesan, persoalan pemalsuan dan peredaran upal di Bogor, Jabar menjadi pelajaran berarti bagi aparat. Mencuatnya persoalan ini, hendaknya, diselesaikan se­cara  tuntas.  Sinyalemen yang menyebutkan adanya pabrik pem­buatan upal di wilayah Ja­karta, seyogyanya dibuktikan. “Bukan hanya statemen kosong tanpa bukti,” tandasnya.

Terlebih, urainya, pelaku be­la­kangan menyebut nama po­litisi terlibat dalam skandal ini. Kalau pernyataan tersangka itu tak bisa dibuktikan, tentunya pe­nyidik bisa menjerat tersang­ka dengan pasal tambahan. Apalagi, pernyataan itu disam­paikan melalui media sosial yang nota bene bisa diakses siapa pun dan di belahan dunia manapun. “Jadi jangan ber­pa­tokan pada KUHP saja. Bisa juga gunakan Undang Undang ITE,” kata anggota DPR dari Partai Gerindra ini. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA