Pengibaran bendera Aceh yang terjadi baru-baru ini banyak menuai kontroversi, ada yang pro dan kontra terhadap bendera yang di nilai mirip dengan bendera separatis GAM itu.
DPR Aceh telah mengesahkan Qanun No 3/2013 pada 22 Maret 2013, tentang Bendera dan lamÂbang Aceh. Dalam Qanun diseÂbutÂkan bahwa bendera dan lamÂbang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai atribut resmi PeÂmerintah Aceh.
Sementara KeÂmenÂterian Dalam Negeri (KeÂmenÂdagri) menyebutkan penetaÂpan bendera dan lambing GAM sebagai bendera Aceh berbenÂturan dengan Peraturan PemerinÂtah No 77/2007, yang melarang daeÂrah mengadopsi atribut keÂlompok.
Pengamat politik, Aidul FitriÂciada Azhari berpedapat, polemik bendera dan lambang Aceh bukan semata soal hukum, dalam artian adanya pertentangan antara QaÂnun dan peraturan perundang-unÂdangan nasional. Menurut dia, poÂlemic ini juga ini soal di luar asÂpek yuridis terkait kegagalan Pemerintah dalam berkomunikasi dengan Pemerintah Daerah Aceh.
“Jadi, selama ini ada proses komunikasi hukum dan politik yang macet antara Pusat dan Aceh, sehingga Qanun Aceh tiba-tiba mengadopsi lambang GAM. Ini bukti kontrol Pusat tidak berhasil terhadap Aceh,†katanya kepada
Rakyat Merdeka, keÂmarin.
Azhari menilai, solusi penyeÂlesaian polemik adalah kembali kepada kesepahaman Helsinki dan ketentuan yang ada dalam UnÂdang-undang Pemerintahan Aceh. Persoalan mengenai benÂdera, kata dia, tinggal mengeÂjaÂwantahkan Nota Kesepahaman antara PemeÂrinÂtah RI dan GAM itu.
“Aceh memang provinsi yang memiliki status daerah istimewa dan mempunyai otonomi khusus. Namun Aceh harus tahu bahawa mereka sudah sepakat masih menjadi bagian NKRI,†tegasnya.
Azhari membeberkan, pengaÂtuÂran tentang bendera dan lamÂbang Aceh telah dituangkan daÂlam Pasal 246 UU No 11 Th 2005 tenÂtang Pemerintahan Aceh. EsenÂÂsinya, lambang dan bendera itu mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh, serta bukanlah simbol kedaulatan.
Lantas apa saja keistimewaan dan kekhususan Aceh yang telah dirumuskan undang-undang itu ? “Ini memang masih multitafsir, tapi saya yakin permasalahan ini daÂpat diselesaikan dengan baik tanpa melukai rakyat Aceh dan pemerintah,†jawab dia.
Sosiolog Universitas Gadjah MaÂda (UGM), Arie Sudjito meÂngaÂtakan penyelesaian polemik Qanun Aceh sebaiknya diseleÂsaiÂkan secara hukum dengan meniÂlik kembali posisi Undang-unÂdang Nomor 11 tahun 2006 tenÂtang Pemerintahan Aceh.
“Kalau terjadi sengketa (QaÂnun) antara Aceh dan pusat, maka Pemerintah Aceh bisa mengajuÂkan ‘judicial review‘ ke MahkaÂmah Konstitusi,†katanya kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin mengataÂkan, pemakaian lambang GAM di bendera Aceh merupakan benÂtuk perlawanan rakyat Aceh. Ia pun menyarankan agar pengÂguÂnaan lambang yang diatur dalam Qanun nomor 3 tahun 2013 tenÂtang bendera dan lambang Aceh diÂkaji kembali.
Juru Bicara Kementerian DaÂlam Negeri (Kemendagri), ReyÂdonnyzar Moenek menyaÂtakan, pemerintah pusat dan peÂmeÂrintah Aceh sudah membentuk tim kecil untuk membahas poleÂmic soal bendera Aceh.
Reydonnyzar menyatakan, tim kecil tersebut beranggotakan 14 orang, masing-masing 7 orang dari Pemerintah Aceh dan 7 orang dari Pusat. Tim tersebut membaÂhas butir-butir klarifikasi Qanun Lambang dan Bendera yang beÂlum disepakati. “Tim tersebut keÂmudian akan mencari kesaÂmaan-kesamaan pemikiran yang dapat membawa pada penyeleÂsaian,†kata dia.
Dia mengungkapkan, pembaÂhasan oleh tim kecil tersebut akan dilakukan secara rutin selama satÂu bulan ini. “Mulai dari tangÂgal 7 Mei di Batam kemudian tangÂÂgal 14 di Jakarta, tanggal 24, serta tanggal 30-31 kemungkinan diÂlangÂsungkan di Aceh,†kata DonÂny sapaan akrab ReyÂdonnyÂzar kepada
Rakyat Merdeka, keÂmarin.
Donny berharap, polemik benÂdera Aceh ini tidak berlangsung alot. Dirinya yakin pertemuan tim kecil akan melahirkan titik temu, terutama menyangkut masalah format dan desain bendera agar qanun itu bisa sesuai.
“Kita (pusat dan Aceh) sedang mencari titik temu dan tidak bisa seÂpakat mufakat sekali jadi, tetap harus ada proses yang perlu kita diaÂlogkan dan komunikasikan. Kita harap polemik Qanun ini bisa seÂgera diselesaikan,†harap dia.
Zaini Abdullah, Kami Tidak Akan Pisah Dari Republik IndonesiaGubernur Aceh ini menggaÂransi bahwa bendera Aceh buÂkanlah bendera kedaulatan. BenÂdera kedaulatan hanyalah satu, bendera merah putih.
“Itu bukan sesuatu yang menÂjadi bendera kedaulatan, itu tidak benar. Aceh sekarang kan sudah damai. Bendera kedaulatan adaÂlah merah putih, sedangkan benÂdera ini adalah bendera kekhuÂsusan di Aceh,†ujar dia kepada
RakÂyat Merdeka, kemarin.
Zaini memastikan, Aceh tidak akan lepas dari NKRI dengan adaÂnya bendera Aceh tersebut. Qanun soal bendera Aceh, kata dia, sudah sesuai dengan proseÂdur UUD 1945. “Tidak ada makÂsud untuk Aceh itu keluar dari InÂdonesia,†tegasnya
.
Mengenai bendera Aceh yang menyerupai bendera Gerakan Aceh Merdeka, Zaini mengaÂtaÂkan kewenangan merevisi lamÂbang bendera Aceh ada di tangan DPRA.
“DPR itu sebagai wakil rakyat yang menetapkan Undang-Undang atau Qanun di Aceh,†katanya.
Zaini mengklaim, pembentuÂkan Qanun bendera dan lambang Aceh sudah sesuai UUD 1945. “Jadi itu tidak ada persoalan apa-apa. Ini sah-sah saja, karena tidak di luar rel. Ini on the track, jadi tiÂdak ada masalah,†tegasnya.
“Saya yakin sekali tidak ada perÂsoalan. Ini sah-sah saja, kareÂna tidak di luar rel, ini
on the track. Apa yang telah kami dapat seÂkarang setelah pertemuan deÂngan presiden, kami setuju semua ini di-cooling down dan kita cari solusi sebaik-baiknya,†papar dia.
Mengenai pembentukan tim kecil untuk pengesahan Qanun, gubernur menyatakan sudah diÂcapai kesepakatan, dan tim terÂsebut mulai bertemu pekan depan di Batam. Ia pun optimistis, meÂlalui serangkaian pertemuan, tim kecil ini akan diperoleh solusi yang terbaik untuk menentukan bendera dan lambang.
“Sudah ada kemauan yang baik dari Pusat dan Aceh untuk segera menyelesaikan masalah bendera dan lambang. Itu dulu yang terÂpenting,†tuturnya.
Sebelumnya, Gubernur Aceh juga telah bertemu dengan PresiÂden Susilo Bambang Yudhoyono, Menko Polhukam Djoko SuyanÂto, dan Menteri Dalam Negeri GaÂmawan Fauzi untuk menyaÂmaÂkan persepsi mengenai benÂdera Aceh ini.
Abdul Malik Haramain, Bendera Aceh Tidak Boleh Berbau SeparatisAnggota Komisi II DPR ini meminta, pemerintah Aceh mau kompromi terhadap bendera mereka. Dikatakan, meskipun Aceh memiliki keistimewaan, namun Aceh tetaplah menjadi baÂgian dari Negara Kesatuan ReÂpublik Indonesia (NKRI).
“Pemerintah Aceh tidak boÂleh egois, jangan mau menang sendiri. Bagaimanapun UUD 45 melarang penggunaan lamÂbing sparatis. Jadi seharusnya mereka memahami,†ujar Malik ketika berbincang dengan
RakÂyat Merdeka, kemarin.
Ketua DPP Partai KebangÂkitan Bangsa (PBB) Bidang KeÂpemuÂdaan ini memahami, kaÂÂlau Aceh berhak memiliki benÂÂdera karena adanya
MoÂraÂtoÂrium of AgreeÂment (MoU) HelÂsinski. Kendati demikian, lambang pada bendera tersebut tidak boleh menyerupai lamÂbang gerakan sparatis. PeraÂturan Pemerintah 77 tahun 2007 pun menegaskan hal itu.
“Pemerintah Aceh dan maÂsyaÂrakatnya jangan mengarÂtiÂkan MoU Helsinski secara parÂsial. Meskipun ada MoU HelÂsinsÂki, tapi Aceh itu kan sama saja dengan Papua dan YogyaÂkarta, sama-sama daerah istiÂmeÂwa yang berada di bawah NKRi,†tegas Malik.
Anggota DPR dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur II ini mendesak pemerintah puÂsat dalam hal ini Kementerian DaÂlam Negeri segera memberiÂkan pemahaman kepada pemeÂrintah Aceh dan warganya, suÂpaÂya tidak salah menafsirkan tentang keistimewaan daerahÂnya.
“Mereka harus paham, kalau simbol yang mereka gunakan tidak boleh bertentangan, kareÂna bisa menyakitkan rakyat InÂdoÂnesia lainnya,†tegas dia.
Anggota Badan Legislatif DPR ini menyarankan agar peÂmerintah segera melakukan reÂvisi terhadap undang-undang tenÂtang symbol atau lambang kedaerahan. Menurut dia, perlu dicantumkan secara tegas tenÂtang larangan penggunaan simÂbol lambang separatis. TuÂjuanÂnya agar ke depan tidak ada lagi daerah yang seperti ini.
“Qanun Aceh Nomor 3 TaÂhun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh itu kan setingÂkat perda, dan berdasarkan keÂtentuan yang ada, perda harus tunÂduk dan tidak boleh bertenÂtangan dengan undang-undang. Sehingga apabila ada daerah lain yang mengalami kasus seÂperti Aceh akan jelas ketentuanÂnya. Selama mereka memutusÂkan berada di bawah NKRI, maka menjadi daerah istimewa atau tidak, tetap saja harus tunÂduk kepada undang-undang InÂdonesia,†pungkasnya.
Gamawan Fauzi, Pusat Dan Aceh Sedang Rumuskan Pemilihan QanunMendagri ini mulai berÂsikap lentur terkait polemik mengenai bendera Aceh. Jika sebelumnya, dia bersikap tegas bahwa bendera Aceh yang sama persis dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) harus diubah, kali ini Mendagri memÂbuka ruang kompromi.
Gamawan mengatakan, agar bendera Aceh itu tidak sama perÂsis dengan bendera GAM, maÂÂka bisa saja ditambah deÂngan gambar lain. “Kita cari soÂlusi. Kalau tidak persis seperti GAM, bisa ada tambahan binÂtang atau rencong misalnya. Ini yang akan kita cari titik-titik teÂmu itu,†ujar dia.
Dia membeberkan, saat ini pemerintah Pusat dan PemeÂrintah Aceh sepakat membenÂtuk tim kecil (timcil) berangÂgoÂtakan 14 orang, masing-maÂsing 7 orang dari Pemerintah Aceh dan 7 orang dari Pusat. Tim terÂsebut membahas butir-butir klaÂrifikasi Qanun Lambang dan BenÂdera yang belum disepakati.
“Kita telah sepakati ada tim kecil yang bekerja membahas substansi. Kita harapkan segera selesai,†pungkasnya.
Akil Mochtar, Lambang Tak Boleh Ancam KedaulatanKetua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menilai keberadaan bendera Aceh yang dilandasi qanun Nomor 3 Tahun 2013 tenÂtang Bendera dan Lambang Aceh tidak mengandung maÂsalah. Menurut dia, keberadaan qanun itu secara prosedural tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Jika ada bendera di Aceh, itu tidak masalah. Karena di UnÂdang-undang (UU) Aceh juga ada kewenangan itu. Secara proÂsedural itu tidak ada maÂsalah,†ujar dia, kemarin.
Akil mengatakan, seharusnya pemerintah tidak perlu khawatir dengan keberadaan bendera yang mirip dengan lambang GeÂrakan Aceh Merdeka (GAM). Sebab, antara pemerintah pusat dengan GAM telah terikat perÂjanjian Helsinki yang meÂnyeÂpakati Aceh merupakan bagian dari Indonesia dan akan taat pada hukum yang berlaku.
“Dengan perjanjian Helsinki kan sudah selesai. Mengenai substansinya, itu harus dikonÂsulÂtasikan antara pemerintah puÂsat dan pemerintah daerah, seÂhingga tidak mengancam keÂdaulatan,†katanya.
Lebih lanjut, Akil menamÂbahÂkan, jika masyarakat Aceh ada yang keberatan dengan qaÂnun itu, maka dapat mengajuÂkan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). “Kalau ada warÂga Aceh yang tidak setuju, dia bisa mengajukan gugatan ke MA,†ujar dia
Akil menjelaskan, satuan daeÂrah yang bersifat khusus diakui daÂlam Undang-Undang Dasar 1945. Daerah tersebut bisa memÂbuat peraturan yang mengacu pada UUD. Atas dasar ini, UnÂdang-Undang Daerah Aceh memÂberi kewenangan keÂpada peÂmerintah daerahnya unÂtuk memÂbuat lambang daerah. “TiÂdak hanya Aceh. Di Undang-UnÂÂdang otonomi khusus pemeÂrinÂtahan Papua juga ada,†kata dia.
Akil mengakui, saat ini ada perdebatan mengenai konsep bendera Aceh yang menyerupai bendera Gerakan Aceh MerdeÂka (GAM). Namun menurut Akil, hal ini tidak perlu dirisauÂkan oleh semua pihak karena tiÂdak akan mengancam kedaulaÂtan. Dalam UUD 1945, kata Akil, telah ditetapkan bahwa benÂÂdera negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.
Kendati tidak memperÂmaÂsaÂlahÂkan, namun Akil menyaÂranÂkan, penentuan Qanun dibicaraÂkan kembali antara pemerintah pusat dan daerah. “Silahkan Pemerintah Daerah Aceh dan pemerintah pusat musyawarahÂkan,†tutup dia. [Harian Rakyat Merdeka]
BERITA TERKAIT: