Yorrys Raweyai: Maraknya Gerakan Buruh Bukan Untuk Menumbangkan Pemilik Modal

Jumat, 03 Mei 2013, 08:14 WIB
Yorrys Raweyai: Maraknya Gerakan Buruh Bukan Untuk Menumbangkan Pemilik Modal
Yorrys Raweyai
rmol news logo Buruh dan pekerja di tanah air kembali turun ke jalan untuk memperingati 127 tahun hari buruh internasional atau May Day, 1 Mei 2013.  

Demo kali ini mengusung bera­gam tuntutan, mulai dari peno­lakan rencana kenaikan harga BBM, implementasi jaminan so­sial, upah layak, sistem kerja alih daya (outsourcing), buruh kon­trak hingga politik upah murah.

Jika ditelusuri, problem yang di­hadapi serikat buruh dan pe­kerja di Indonesia masih berku­tat di se­putar isu kebebasan ber­­­se­­rikat, pe­langgaran hak-hak nor­­matif, kom­pleksitas penang­an­an relasi hubu­ngan industrial, dan ke­bi­jakan pe­merintah yang cen­derung terjebak pada rezim pasar kerja fleksibel. Semua pro­blem terse­but sangat tidak meng­untungkan para pekerja.

Hal disampaikan Ketua Umum Konfederasi Serikat Pe­kerja Se­luruh Indonesia (KSPSI) Yorrys Raweyai kepada Rakyat Mer­deka, kemarin.

“Problem-problem itu yang te­rus memicu maraknya gerakan bu­­­ruh di tanah air. Di sisi lain, ge­rakan pengorganisasian se­rikat buruh dan pekerja di In­donesia juga belum me­nun­juk­kan kema­juan signifikan,’’ papar Yorrys.

Berikut kutipan selengkapnya;

Sebenarnya apa sih masalah utama para buruh?
Problem umum yang dihadapi kebanyakan serikat pekerja dan buruh menyangkut rendahnya pendidikan politik buruh, kon­flik internal serikat pekerja, po­la per­juangan yang cende­rung nor­matif, dan kentalnya feno­mena personifikasi di tubuh serikat pekerja dan buruh.

Gerakan buruh ini dikha­watirkan bisa menumbangkan pemodal, ini bagaimana?
Gerakan buruh dan pekerja di Indonesia tentu tidak bertu­juan menumbangkan kaum pe­milik modal (kapitalis-borjuis) se­perti ditawarkan Karl Marx.

KSPSI justru menganut paham hu­bungan industrial yang har­mo­nis, dinamis dan berkeadilan se­perti tertuang dalam Undang-un­dang Nomor 13 Tahun 2003.

Hubungan yang harmonis ter­se­but tidak bisa muncul dari satu pihak, tapi dari semua pihak. Baik itu pekerja, pengusaha dan pe­merintah yang berfungsi bukan sa­ja hanya sebatas regulator, tapi juga sebagai eksekutor.

Artinya buruh dan pengusa­ha bergandeng tangan?

Betul. Di Indonesia, buruh dan pengusaha sama-sama merupa­kan faktor penting dalam pemba­ngunan nasional. Makanya tidak boleh satu pihak mendominasi pi­hak yang lain.

Buruh dan pengusaha harus sa­ma-sama bergandengan tangan, men­jadi mitra strategis untuk me­ningkatkan produktivitas. Apa­bi­la ada persoalan, maka kedua be­lah pihak harus melakukan  dia­­log yang setara dan berimbang atas dasar kepentingan bersama demi kelangsungan industri.

Bagaimana metode dialognya?
Mekanisme dialog sosial se­ba­gai kunci penyelesaian konflik industrial. Karena itu, mogok dan demo, meskipun tetap diperlu­kan, namun hal tersebut meru­pakan pilihan terakhir. Mekanis­me perundingan jelas le­bih pro­duktif dan solutif ketim­bang jalan aksi massa yang reak­tif-kon­fron­tatif dan berpotensi anarkis.
   
Apa mungkin pengusaha mau melakukan dialog?
Perubahan politik dan demok­ratisasi di Indonesia sangat me­mungkinkan untuk menjadikan dialog sebagai sebuah mekanis­me yang paling tepat digunakan un­tuk menyelesaikan konflik hubungan industrial antara bu­ruh, pekerja dan pengusaha.

Serikat pekerja, pengusaha dan pemerintah seharusnya mempu­nyai kepentingan untuk mening­katkan kesejahteraan pekerja dan kelangsungan perusahaan.

Peningkatan produktivitas ti­dak  bisa hanya menjadi kewaji­ban para buruh dan pekerja saja. Pengusaha juga memiliki tang­gung jawab yang sama dengan ca­ra meningkatkan upah yang layak bagi para pekerja.

Buruh ingin upah yang la­yak, sedangkan pengusaha ingin murah, bagaimana mem­per­temukannya?

Pengusaha perlu mengetahui bah­­wa dengan upah yang layak, pasti berimplikasi pa­da mening­katnya produktivitas kerja.

Kedua belah pihak seharusnya ber­usaha untuk transparan. Sa­ling memberi informasi secara ju­jur dan ter­buka. Dalam mem­perjuangkan kepen­tingan­nya, kedua pihak harus memper­tim­ba­ngan ke­seimbangan ke­penti­ng­an pihak lain.

Bagaimana dengan peran pemerintah?
Pemerintah juga harus pro­aktif demi terciptanya kesetara­an hu­bu­ngan industrial yang harmonis. Serikat pekerja dan buruh harus memperkuat diri, dan ini tugas kami.

Kami sadar, tanpa kuatnya se­ri­kat buruh dan pekerja, maka gera­kan buruh tidak akan mak­si­mal. Penguatan organisasi se­ri­­kat pe­kerja dan buruh me­ru­pa­kan ke­butu­han mendasar. Bukan hanya sebatas untuk memper­juangkan kepentingan buruh se­mata, tapi juga kepen­tingan bang­sa seperti dicita-citakan para pendiri bangsa ini.

Artinya organisasi buruh se­ba­gai kekuatan perubahan?
Ya. Organisasi buruh dan pe­ker­ja harus dapat mem­po­si­si­kan dirinya sebagai kekua­tan peru­ba­­han bangsa. Makanya se­rikat bu­ruh dan pekerja harus sa­dar po­litik, sehingga tidak rentan untuk dipolitisasi. [Harian Rakyat Merdeka]

 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA