Hampir seluruh partai tertatih-tatih bahkan dihantui kegalauan demi kegalauan. Apa yang mesti dilakukan oleh institusi perkaderan partai politik? Berikut petikan wawancara dengan Instruktur Perkaderan DPP PAN, Tutur Sutikno yang giat menyelenggarakan pelatihan sepanjang tahun:
Bagaimana cara partai memenuhi kuota 30 persen untuk perempuan, bukankah kuota itu membuat Parpol kesulitan memenuhinya?Persoalan ini menjadi masalah pelik di semua partai. Pasalnya, untuk mencari calon legislatif (caleg) perempuan aktivis itu sangat langka. Menurut saya, kuota perempuan dalam Pemilu sebaiknya tidak didasarkan pada ukuran kuantitatif. Tapi, harus didasarkan pada perspektif kualitatif. Realitas politik di Indonesia sudah sangat maju dalam memposisikan perempuan. Oleh karena itu, persyaratan undang-undang yang menetapkan kuota 30 persen perempuan tidak memiliki pijakan logika yang kuat. Alhasil, hampir semua partai politik kerepotan memenuhinya dan cenderung “asal comot†agar dapat memenuhi kuota.
Implikasi politik apa yang akan terjadi bila 30 persen perempuan masuk politik?
Negara yang akan dirugikan dalam jangka panjang, hanya saja banyak orang tidak melihat bahaya ini. Anda bisa bayangkan, bagaimana kalau 30 persen perempuan di negeri ini terseret dalam pusat kepentingan politik praktis yang sangat keras. Siapa yang akan mengurus keluarga mereka? Keluarga mereka bisa saja akan berantakan.
Mengapa Anda begitu khawatir, bukankah banyak keluarga tidak keberatan?Coba saja lakukan riset, di negara yang maju saja, seperti Amerika, Australia, Inggris, Perancis, kiprah perempuannya dalam politik praktis tidaklah memenuhi 30 persen.
Kalau alasan partisipasi perempuan dalam politik itu agar kebijakan politik pro perempuan atau sadar gender, maka bukan itu caranya.
Cukup saja mencontoh istri mantan Presiden Amerika Serikat, John Adam. Ketika ada kebijakan negara atau konstitusi negara yang tidak pro perempuan, mereka menggelar demonstrasi besar-besaran untuk menggalang aksi mogok perempuan dengan cara tidak melayani laki-laki. Ini sangat efektif. Saat ini, partai politik sedang sibuk menyiapkan para calegnya.
Bagaimana seharusnya agar penentuan calon legislatif bisa terpilih yang terbaik? Caleg yang dipersiapkan partai idealnya aktivis partai yang sudah berjuang menggerakkan mesin partai. Mengapa, karena mereka tentu sudah memahami visi dan misi yang harus diperjuangkan ketika duduk menjadi anggota parlemen. Realitanya, partai harus berkompromi dengan merekrut para selebriti yang populer di masyarakat. Ini konsekuensi logis dari sistem Pemilu dengan suara terbanyak.
Bagaimana Anda melihat pengaruh politik transaksional itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?Budaya politik pada saat ini bersifat “transaksionalâ€, segala sesuatu didasarkan pada imbalan “materiâ€. Beberapa kali pemilu terakhir ini misalnya, para calon legislatif harus menyiapkan materi yang sangat besar untuk meraih dukungan dari konstituennya.
Tren politik transaksional ini membawa implikasi yang buruk bagi pertumbuhan demokrasi dan politik kita. Ada logika terbalik yang terbangun dari budaya transaksional ini, sang legislator merasa tidak berutang kepada konstituennya, atau tidak ada tanggung jawab moral mereka untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.
Kalau dilihat dari aspek pendidikan politik bagi masyarakat, apa yang bisa Anda lihat dari praktik politik transaksional itu?Praktik politik transaksional ini memiliki implikasi politik yang sangat serius, baik bagi pelakunya maupun masyarakat dalam skala yang luas. Dari sudut pendidikan politik, praktik itu sangat tidak baik bagi pertumbuhan demokrasi yang dikehendaki.
Kalau perilaku politik transaksional dilakukan pembiaran maka akan mengkristal menjadi perilaku dan tradisi yang hedonistis dan individualistis. Bahkan, dalam kondisi tertentu sangat membahayakan negara, karena menyuburkan praktik korupsi dan manipulasi. [Harian Rakyat Merdeka]
BERITA TERKAIT: