Auditor BPKP Tegaskan Kerugian Kasus UNJ 5 M

Diduga Terjadi Penggelembungan Harga

Jumat, 05 April 2013, 09:52 WIB
Auditor BPKP Tegaskan Kerugian Kasus UNJ 5 M
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nasrul Wathon
rmol news logo Saksi ahli kasus korupsi pengadaan laboratorium komputer Universitas Negeri Jakarta (labkom UNJ) menyebut, terdakwa tak mensurvei harga pasaran. Alhasil, terjadi mark up (penggelembungan) yang memicu kerugian negara Rp 5,175 miliar.

Dua saksi ahli itu adalah auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nasrul Wathon dan Kepala Bagian Hukum Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa (LKP) Raden Ari Widianto.

Keduanya diminta bersaksi untuk  terdakwa Pembantu Rektor III (Purek III) UNJ sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen Fakhruddin Arbah dan terdakwa Tri Mulyono, bekas Ketua Pengadaan dan dosen Fakultas Teknik UNJ.

Secara umum, kesaksian kedua saksi memberatkan terdakwa. Sebab, menurut Nasrul, BPKP menemukan dugaan penggelembungan anggaran proyek labkom UNJ 2010. Penggelembungan harga didasari pembayaran barang tanpa pengitungan diskon. “Pembayaran dilaksanakan berdasarkan penghitungan harga perkiraan sendiri atau HPS,” katanya.

Panitia pengadaan proyek labkom, sebut dia, mendasari pembayaran barang tanpa menghitung diskon. Dia meyakini, hal itu dilakukan akibat panitia pengadaan lalai. Mereka juga dianggap tak  mengecek harga pasaran.

Menurut Nasrul, panitia proyek sengaja tak meminta diskon lantaran adanya perjanjian atau perikatan dengan perusahaan pemenang proyek.  Lebih tepatnya, panitia proyek bersama-sama perusahaan pemenang tender telah menentukan HPS saat proses lelang.

Dengan begitu, pengadaan barang sepenuhnya diserahkan kepada perusahaan pengendali proyek. “Penyerahan proses pengadaan kepada perusahaan tersebut dilakukan untuk memenuhi target HPS,” tandas Nasrul.

Akibat hal itu, pengeluaraan dana membengkak. Dia merinci, total pembayaran yang dilakukan panitia proyek adalah Rp 16,782 miliar dikurangi PPn Rp 1,525 miliar. Hasil penghitungan BPKP menunjukkan, netto yang harus dibayar jadi Rp 15,258 miliar.

Padahal jika dikalkulasi dengan potongan diskon, UNJ hanya perlu membayar Rp 10,081 miliar.  “Di sini jelas ada ketidakberesan. Ada selisih harga yang bisa dikategorikan sebagai mark-up,” tandasnya.

Senada dengan Nasrul, saksi Raden menjelaskan, pembayaran oleh UNJ tak merujuk prinsip kehati-hatian dalam penggunaan  anggaran. “Panitia pengadaan tak melakukan survei yang benar. Harga-harga itu jauh dari harga pabrikan atau distributor,” tegasnya.

Menurut Nasrul, dari survei yang dilakukan, BPKP menemukan barang dengan spesifikasi sama dengan harga pasar berbeda-beda. Dari asumsinya tersebut, dia yakin bahwa panitia proyek tak berupaya maksimal dalam melaksanakan proyek.

Ketitakmaksimalan ini memicu anggapan bahwa panitia proyek kemungkinan disetir oleh perusahaan tertentu. “Yang menentukan harga, diduga adalah rekanan perusahaan yang memenangkan tender,” ujarnya. 

Terlebih, delapan perusahaan yang ikut tender proyek labkom UNJ diduga merupakan kelompok perusahaan di bawah Permai Group. Dengan kondisi tersebut, dokumen dan nama perusahaan pemenang tender seperti PT Marel Mandiri bisa jadi hanya dipinjam Permai Group.

Sinyalemen itu diketahui karena proses penawaran dan pengadaan barang tak melibatkan terdakwa selaku panitia proyek maupun PT Marel Mandiri.  “PT Marel hanya alat, tapi tidak bertransaksi. Keterkaitannya dalam proyek, bisa jadi hanya dipinjam dokumennya saja,” ungkapnya.

Pada akhir persidangan, kedua terdakwa yang dikonfirmasi mengenai hal tersebut tak bersedia memberi keterangan. Terdakwa Fakhruddin dan Tri kompak memasrahkan nasib mereka ke tangan majelis hakim.

Keterangan dua saksi ahli kali ini, tampaknya berkaitan dengan kesaksian bekas Wakil Direktur Marketing Permai Group Gerhana Sianipar. Pada sidang sebelumnya, Gerhana menyatakan, Permai Group pernah mengucurkan dana Rp 400 juta kepada panitia lelang.  “Ditujukan untuk panitia lelang. Itu di-acc Pak Nazar untuk memuluskan anggaran,” ujarnya.

Yang dimaksud Nazar adalah Muhammad Nazaruddin, bos Permai Group yang kini menjadi terpidana kasus suap pembangunan Wisma Atlet, Palembang, Sumatera Selatan.

REKA ULANG
Belum Ada Tersangka Dari Permai Group

Perkara korupsi pengadaan alat laboratorium komputer Universitas Negeri Jakarta (UNJ) 2010 telah bergulir ke Pengadilan Tipikor Jakarta. Tapi, terdakwanya baru sekelas pejabat pembuat komitmen dan ketua panitia pengadaan.

Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Ari Muladi, Kejaksaan tidak tinggal diam melihat perkembangan sidang kasus ini. Bukan tak mungkin, pengembangan fakta persidangan menghasilkan penetapan tersangka baru.

“Kami masih menggali fakta-fakta tentang keterlibatan pihak lain,” ucapnya.
Tapi, sambungnya, Kejaksaan mesti berhati-hati menentukan langkah hukum.
Terlebih menyangkut penetapan status tersangka. Untung mencontohkan,

Kejagung tak bisa memaksakan penetapan tersangka kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), yakni Rektor UNJ Bejo Suyanto dan Pembantu Rektor (Purek) II UNJ Supriyadi. “Harus didasari alat bukti yang cukup,” katanya.

Menurutnya, pengakuan saksi pernah menerima sesuatu dari Grup Permai (milik bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin), belum cukup untuk dijadikan bukti. Saat diperiksa penyidik, Bejo mengaku tidak tahu perusahaan dan siapa orang yang ikut tender proyek di UNJ.

Dalam kesaksiannya di hadapan majelis hakim pada Kamis (21/3), Bejo menyatakan, dia mengajukan laptop ke pihak kampus lantaran yang biasa dipakainya rusak. Dia mengaku sama sekali tidak tahu bahwa laptop penggantinya berasal dari perusahaan peserta lelang.

Bejo menyatakan, laptop itu diterimanya dari kedua terdakwa kasus ini, yaitu Purek III UNJ Fahrudin Arbah dan Ketua Panitia Pengadaan yang juga dosen Fakultas Teknik, Tri Mulyono. Bejo mengaku sama sekali tak kenal Gerhana Sianipar maupun utusan peserta lelang dari Grup Permai lainnya.

Padahal dalam sidang sebelumnya, Wakil Direktur Marketing Grup Permai Gerhana Sianipar menggambarkan, bagaimana perusahaan ini menggiring proyek di UNJ. Dia mengaku pernah secara khusus mengirim laptop untuk Rektor UNJ.

Kepada hakim, Gerhana mengaku tahu ada pengiriman laptop ke Rektor UNJ ketika stafnya, Melia Rike, memasukkan anggaran untuk pembelian laptop.

“Harga laptopnya Rp 20 juta. Tertulisnya untuk rektor UNJ,” katanya. Kepada majelis hakim, Bejo mengaku tidak tahu berapa harga laptop merk Vaio yang diberikan kepadanya.

Kesaksian Gerhana didukung kesaksian Mindo Rosalina Manulang alias Rosa dalam sidang tersebut. Sekadar mengingatkan, Rosa adalah anak buah Nazaruddin yang telah menjadi terpidana kasus suap pembangunan Wisma Atlet.

Atasan Gerhana itu menyatakan, pernah ada pengajuan anggaran untuk laptop yang merupakan permintaan pihak UNJ. “Saya lupa harga laptopnya. Tapi spesifikasinya seingat saya cukup bagus,” tandasnya.

Tapi Bejo bersikukuh tak kenal orang-orang itu dan mengaku tidak tahu bahwa laptop yang digunakannya berasal dari mereka. Bejo pun mengaku tidak mengikuti tender dan pelaksanaan proyek. Urusan itu, sepenuhnya dipercayakan Bejo kepada anak buahnya, yakni Pejabat Pembuat Komitmen Fahruddin dan Ketua Panitia Pengadaan Tri Mulyono. Kesaksian Bejo nyaris serupa Purek II UNJ Suryadi.

Supriyadi juga mengaku pernah diberi Rp 20 juta oleh terdakwa. Saat menerimanya pada 2010, Supriyadi mengaku tak sempat menanyakan asal-usul uang itu. “Saya tidak tahu kalau uang itu berkaitan dengan proyek lab komputer,” ucapnya.

Kenapa Terdakwa Kasus UNJ Cuma 2
Aditya Mufti Ariffin Anggota Komisi III DPR

Politisi PPP Aditya Mufti Ariffin meminta hakim mencermati seluruh kesaksian dan fakta persidangan kasus dugaan korupsi proyek laboratorium komputer Universitas Negeri Jakarta (UNJ) 2010. Sebab, rangkaian fakta tersebut bisa menyibak dugaan keterlibatan pihak lain.

Dia mengingatkan, perkara ini masih berkutat pada dua terdakwa. Padahal, menilik pada fakta-fakta yang ada, banyak nama dan dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus ini.

“Kasus ini melibatkan banyak nama. Namun, mengapa baru dua terdakwa saja yang diproses,” katanya.

Padahal, menurut Mufti, skenario dalam penyusunan anggaran sampai pelaksanaan proyek ini, melibatkan banyak tangan. Keterlibatan pihak lain inilah yang diharapkannya mampu diungkap hakim.

“Bukan semata fokus pada pelaksana atau panitia proyek. Melainkan pada level elite di atas mereka,” tandasnya.

Dia meminta hakim mampu menyelesaikan persoalan secara utuh. Artinya, bagaimana proses pembahasan anggaran, bagaimana upaya mempengaruhi panitia proyek, dan bagaimana modus penggelembungan harga dapat terjawab secara signifikan.

Dengan begitu, lanjutnya, tidak akan ada lagi pertanyaan-pertanyaan menyangkut perkara ini. Lebih penting lagi, hal ini mampu memberikan kepastian hukum bagi terdakwa. Begitu pula, bagi para pihak yang diduga terlibat kasus ini.

“Pengusutan perkara ini menjadi sangat penting. Hal itu didasari masih krusialnya persoalan yang melilit dunia pendidikan di negeri ini,” tukas Mufti.

Hasilkan Koruptor Yang Lebih Terdidik

Boyamin Saiman, Koordinator MAKI

Koordinator LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman meminta, persoalan korupsi yang melilit institusi pendidikan diselesaikan secara cepat. Dia khawatir, persoalan hukum ini justru menghasilkan produk pendidikan yang gagal.

“Korupsi di institusi pendidikan bisa menjadi hal yang sangat membahayakan. Mau tidak mau, hal tersebut mempengaruhi kualitas mental anak didik. Bisa menghasilkan koruptor yang lebih terdidik,” katanya, kemarin.

Dengan pendidikan yang tinggi dan memadai tersebut, tentunya pola korupsi bisa menjadi lebih profesional. Dengan kata lain, modus korupsi justru akan lebih sistematis. Bahkan, sulit dibongkar karena melibatkan jaringan yang profesional.

Menurutnya, beragam kasus korupsi terkait lembaga pendidikan sangat banyak. Hal itu mengundang keprihatinan yang sangat dalam. Dari yang levelnya kecil sampai level besar, idealnya diusut secara tuntas. Tidak setengah-setengah.

Pengusutan ini tentunya tidak hanya mengedepankan langkah penindakan. Unsur pencegahan, semestinya juga dikedepankan. Hal itu penting, mengingat tindakan korupsi kerap terjadi akibat ketidaktahuan seseorang. “Pada kasus UNJ ini, bisa jadi terdakwa takut karena sejak awal sudah diancam mafia proyek,” katanya.

Dengan asumsinya ini, maka penegak hukum harus berani mengambil terobosan.

Jangan sampai kawanan mafia proyek ini menyandera independensi penegak hukum.

Sebab lagi-lagi, sambungnya, persoalan korupsi justru tidak pernah tuntas. “

Malah  menjadi seperti lingkaran setan,” ucapnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA