Di atas pulau yang dahulu menjadi salah satu pusat peradaban tertua Nusantara, kini berlangsung proses pemiskinan ekologis yang sistematis dan dilembagakan. Yang hilang bukan hanya tutupan hutan, melainkan kemampuan Sumatera mempertahankan kehidupan beradab.
Hutan Sumatera pernah menjadi penyangga utama kehidupan sebagai pengatur air, penjaga iklim, sumber pangan, ruang budaya, dan fondasi ekonomi lokal. Dalam satu generasi, fungsi itu dilucuti.
Ekspansi sawit dan tambang mengubah lanskap hidup menjadi lanskap produksi. Hutan tidak lagi dipahami sebagai sistem ekologis, melainkan sebagai “lahan tersedia”. Dari titik inilah kehancuran dimulai.
Sawit menjadi ikon paling gamblang. Jutaan hektare hutan primer dan sekunder beralih fungsi menjadi monokultur. Negara menyebutnya investasi, korporasi menyebutnya efisiensi, tetapi masyarakat lokal merasakannya sebagai kehilangan.
Ketika hutan diganti sawit, yang hilang bukan sekadar pohon, tetapi keragaman hayati, sumber pangan lokal, dan sistem ekonomi subsisten yang telah bertahan ratusan tahun. Sawit menciptakan ketergantungan tunggal pada pasar global, sekaligus memiskinkan struktur ekonomi desa.
Di balik sawit berdiri jaringan kekuasaan yang rapi mulai izin konsesi, elite lokal, aparat keamanan, dan modal besar. Konflik agraria menjadi konsekuensi yang nyaris tak terhindarkan. Tanah ulayat dikalahkan oleh peta konsesi, sejarah dikalahkan oleh dokumen administratif.
Dalam banyak kasus, hukum bekerja bukan untuk melindungi warga, melainkan untuk mengamankan investasi. Negara hadir, tetapi lebih sering sebagai pengawal ekstraksi ketimbang penjaga keadilan.
Tambang mempercepat kehancuran. Batubara, emas, dan mineral lain dieksploitasi dengan metode yang meninggalkan luka ekologis permanen. Sungai-sungai besar Sumatera urat nadi peradaban sejak masa lampau berubah menjadi saluran limbah. Air tercemar asam tambang dan logam berat, ikan menghilang, dan masyarakat kehilangan sumber air bersih. Ketika sungai mati, peradaban ikut sekarat.
Krisis ini tidak bisa dipersempit sebagai isu lingkungan semata. Ini adalah krisis struktural. Banjir, longsor, kebakaran hutan, dan kabut asap bukan bencana alam, melainkan akibat langsung dari keputusan politik dan ekonomi.
Sumatera hari ini hidup dalam ironi pertumbuhan ekonomi diklaim meningkat, tetapi biaya sosial dan ekologisnya ditanggung oleh masyarakat dan generasi mendatang.
Situasi ini paling tepat dibaca melalui teori ekologi politik (political ecology). Teori ini menegaskan bahwa kerusakan lingkungan bukan hasil kesalahan teknis atau perilaku individu, melainkan produk relasi kuasa yang timpang.
Dalam kerangka ekologi politik, pertanyaan utamanya bukan “berapa luas hutan yang hilang”, tetapi “siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan”.
Di Sumatera, jawabannya jelas. Keuntungan terkonsentrasi pada segelintir korporasi dan elite politik, sementara kerugian dibagi rata kepada masyarakat lokal dan alam. Negara memainkan peran sentral dalam ketimpangan ini melalui kebijakan perizinan, pembiaran pelanggaran, dan lemahnya penegakan hukum.
Ketika konflik terjadi, masyarakat adat dan petani kecil hampir selalu berada di posisi paling lemah.
Ekologi politik juga membantu menjelaskan mengapa narasi keberlanjutan sering gagal. Sertifikasi, moratorium, dan komitmen hijau tidak menyentuh akar masalah, struktur ekonomi ekstraktif dan logika pertumbuhan tanpa batas.
Selama hutan dipandang sebagai sumber rente dan sawit sebagai mesin devisa, kehancuran hanya akan berganti wajah, bukan berhenti.
Yang paling berbahaya dari semua ini adalah ilusi normalitas. Kerusakan dianggap sebagai harga yang wajar dari pembangunan. Banjir tahunan dianggap takdir. Kabut asap dianggap musiman.
Padahal, semua itu adalah tanda-tanda runtuhnya sistem ekologis. Peradaban tidak runtuh dalam satu ledakan besar, melainkan dalam rutinitas kehancuran yang diterima sebagai kebiasaan.
Runtuhnya peradaban Sumatera terlihat dari menyempitnya ruang hidup. Ketika tanah tidak lagi subur, air tidak lagi layak minum, dan udara dipenuhi polusi, kemampuan masyarakat untuk merencanakan masa depan lenyap. Pendidikan, kesehatan, dan kohesi sosial ikut tergerus. Anak-anak tumbuh di atas tanah yang rusak, dengan peluang hidup yang semakin terbatas.
Ironisnya, semua ini terjadi saat dunia berbicara tentang transisi energi dan ekonomi hijau. Sumatera dijadikan lumbung sawit dan energi, tetapi tanpa perubahan paradigma. Pembangunan hijau tanpa keadilan ekologis hanyalah kelanjutan ekstraksi dengan label baru. Ia tidak menyelamatkan peradaban, hanya menunda kehancuran.
Jika Sumatera ingin bertahan sebagai ruang hidup, bukan sekadar ruang produksi, maka perubahan harus bersifat mendasar. Pengakuan hak masyarakat adat, pembatasan tegas ekspansi monokultur, pengendalian pertambangan, dan penegakan hukum lingkungan bukan pilihan moral, melainkan syarat keberlanjutan.
Tanpa itu, Sumatera akan terus bergerak menuju senyapnya dimana hutan hilang, sungai mati, dan peradaban runtuh perlahan disaksikan, tetapi jarang dicegah.
SafriadyPemerhati Isu Strategia
BERITA TERKAIT: