Selain Wiwin, Komite Etik juga memutuskan Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja melanggar kode etik KPK, meski keduanya tak terbukti melakukan pembocoran draft Sprindik itu. Samad dianggap melakukan kelalaian terhadap Wiwin.
Kelalaian itu membuat Wiwin membocorkan sprindik kepada wartawan. Komite Etik yang dipimpin Anies Baswedan itu menyatakan, Samad melakukan pelanggaran kode etik sedang dan diganjar sanksi sedang berupa teguran secara tertulis.
Samad mengaku kurang puas dengan putusan itu. Dia menganggap, langkah yang diambilnya dalam pemberantasan korupsi sudah tepat, yakni progresif, radikal, dan fundamental.
“Keputusan itu tidak elegan,†ujarnya kepada
Rakyat Merdeka.
Berikut wawancara lengkapnya: Bagaimana tanggapan Anda mengenai keputusan Komite Etik?Saya menganggap keputusan Komite Etik itu tidak elegan. Putusannya terlalu berlebihan, tidak adil bagi saya. Seharusnya, saya tidak dikaitkan dengan perbuatan sekretaris saya. Komite Etik tidak melihat jernih permasalahan sebenarnya.
Tapi, Anda diputuskan melanggar kode etik?Menurut saya, itu bukan (pelanggaran kode etik). Langkah yang saya ambil itu progresif, radikal, dan fundamental. Kecepatannya harus tinggi.
Pasalnya, kondisi korupsi di Indonesia massif dan sistematis, berbeda dibanding negara-negara lain. Ini extraordinary crime. Pemberantasannya perlu langkah-langkah tadi.
Langkah apa yang Anda maksudkan?Ya... bergerak cepat. Segera menandatangani Sprindik atas nama tersangka Anas Urbaningrum ketika kasusnya memang sudah naik ke tahap penyidikan.
Apakah keputusan Komite Etik akan berpengaruh terhadap pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK?Jelas tidak. Hal itu tidak akan menciutkan nyali saya memburu koruptor tanpa pandang bulu.
Betulkah Anda meminta dikopikan draft Sprindik kepada Wiwin? Untuk apa?Betul. Tapi, semua Sprindik juga selalu saya minta kopikan sebagai arsip saya. Tapi, itu tidak bisa dijadikan dasar (bahwa dirinya melakukan pelanggaran kode etik). Itu prosedur normal.
Komite Etik juga menyatakan komunikasi antar pimpinan KPK tentang Sprindik tidak berjalan lancar. Kenapa Anda tidak memberitahu pimpinan lain ketika Deputi Penindakan Warih Sadono, dan Direktur Penyelidikan Arry Widiatmoko melaporkan hasil gelar perkara bahwa kasus gratifikasi Anas sudah layak naik ke penyidikan?Kenapa saya tak diberitahu? Karena saya menganggap itu di sirkulasi. Tanpa saya harus beritahu, berkas itu di sirkulasi, keliling kepada pimpinan lain.
Ada koordinator sekretaris pimpinan yang akan mensirkulasi berkas itu kepada masing-masing pimpinan. Tanpa saya beritahu, mereka seharusnya sudah tahu. Selama ini, nggak ada masalah komunikasi di antara kami.
Apakah ada motif di balik keputusan Komite Etik ini?Ya, saya tidak ingin menuduh, karena itu tidak boleh. Tapi, saya tegaskan lagi, putusan itu tidak sedikitpun menciutkan nyali saya untuk memburu koruptor dan memberantas korupsi tanpa pandang bulu dengan cara-cara progresif dan radikal.
Saya harus luruskan ini karena tak mau dianggap macam-macam.
Baiklah... lalu sebenarnya siapa itu Wiwin?Dia ini penulis, pengelola jurnal ilmiah di Fakultas Hukum Unhas (Universitas Hasanuddin). Dia sering menulis di media-media di Makassar tentang korupsi.
Sudah lama kenal Wiwin?Saya direkomendasikan Dekan Fakultas Hukum Unhas karena anak ini tulisannya bagus, ya soal-soal korupsi. Saya sendiri belum terlalu lama kenal. Saya mengenal dia lewat tulisan-tulisannya.
Di Jakarta, Anda tinggal serumah dengan Wiwin?Ya, karena dia belum ada tempat tinggal. Ya, saya suruh tinggal dulu di rumah saya sementara.
Ada tudingan seolah-olah Wiwin dikorbankan demi melindungi Anda. Betulkah?Nggak ada yang dikorbankan. Justru, saya yang korban ha... ha...ha....
Wiwin sudah dipecat?Belum. Dia masih menjalani tahapan putusan di DPP. Saya belum berkomunikasi lagi dengan dia.
Apakah Anda berharap Wiwin tetap dipekerjakan bersama Anda?Oh..., nggak. Kalau dia memang bersalah, dia harus dihukum, harus fair. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. [Harian Rakyat Merdeka]
BERITA TERKAIT: