Di sini, rumah dengan bentuk seÂperti itu bukan hanya satu. SeÂtiÂdaknya ada 200 rumah dengan bentuk sama. “Inilah rumah kami warga transmigran,†kata Ateng. Ateng adalah salah satu transÂmigÂran di Tinauka.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) mulai kawasan transmigrasi di Tinauka sejak 2009 lalu. KaÂwaÂsan transmigrasi seluas 1.279 hekÂtar itu telah dihuni 200 kepala Keluarga (KK) dengan jumlah total 800 jiwa ini.
Desa Tinauka terletak 180 kiloÂmeter dari ibu kota Sulawesi TeÂngah, Palu. Perjalanan ke kaÂwaÂsan transmigran ini bisa diÂtempuh selama tiga jam lewat jaÂlan darat. Dari Palu melewati dua kabupaten yaitu Mamuju Utara dan Donggala. Jalan penghuÂbung ke dua kabupaten itu lebar dan mulus.
Namun 30 kilometer menuju kaÂwasan transmigrasi kondisinya berubah 180 derajat. Jalan meÂnyempit tinggal empat meter. JaÂlanÂnya yang membelah perkeÂbunan sawit itu berkerikil dan berdebu. Tidak ada penerangan di malam hari.
Rakyat Merdeka melalui jalur pada siang hari. Cuaca sedang terik-teriknya. Kalau pandangan beÂbas hambatan, mobil bisa diÂpacu sampai kecepatan 70 kiÂloÂmeter per jam. Kondisi bakal berÂbeda bila hujan. Jalan jadi berÂlumÂpur dan sulit dilewati kendaÂraan. Jalan menuju Desa Tinauka, yang terletak di lembah ini, penuh tanjakan dan turunan.
Semua penghuni Desa Tinauka adalah transmigran dari berbagai daerah di Indonesia. Transmigran menempati rumah berukuran 7x6 meter yang letaknnya saling berÂdeÂkatan. Di desa ini tersedia SD, masjid dan puskesmas, yang baru diresmikan. Desa ini sudah diÂlengkapi listrik yang berasal dari genset. Beberapa warga sudah menggunakan panel surya seÂbaÂgai sumber listrik.
Berbeda dengan listrik, warga desa ini sulit memperoleh air berÂsih. Sumber air utama untuk warÂga desa berasal dari air hujan. Saat hujan, warga menampung air di tangki-tangki berukuran besar. Di musim kemarau, warga mengambil air dari sungai, tak jauh dari desa.
Ateng mengaku tinggal di kaÂwasan transmigrasi ini sejak Agustus 2010. “Saya sudah dua tahun tinggal disini bersama anak dan istrinya,†kata pria bertubuh pendek ini.
Transmigran asal Ponorogo, Jawa Timur ini tergiur bertransÂmigÂrasi setelah melihat rekan satu kampungnya yang berhasil seÂteÂlah transmigran ke Lampung.
“Kawan saya sudah punya moÂbil dan rumah mewah selama menÂjadi transmigran berbekal meÂÂnanam sawit,†katanya.
Terdorong keinginan untuk meÂngubah nasib, ia menÂdafÂtarÂkan diri untuk ikut program transÂmigrasi Januari 2010 di DiÂnas Tenaga Kerja dan TransÂmigÂrasi Situbondo, domisili istrinya. Awalnya ia mengincar wilayah transmigrasi di Sumatera. NaÂmun karena sudah penuh, ia ditaÂwÂarkan ke Tinauka.
“Karena adanya di Sulawesi ya, saya harus terima dan menÂdaftar bersama istri dan satu anakÂnya,†katanya
Setelah lima bulan menunggu, pria berkulit gelap ini akhirnya diÂberangkatkan Disnakertrans SiÂtubondo ke Tinauka, DongÂgaÂla, Sulteng. Saat berangkat dia diÂbekali uang sebesar Rp 750 ribu.
Sesampainya di tempat transÂmigrasi, ia juga diberi rumah semi permanen berukuran 6x7 meter. Ia juga mendapat lahan seÂluas dua hektar. “Tanah itu sudah saya tanami sawit. Tapi tiga tahun lagi baru bisa dipanen,†kata Ateng.
Tahun pertama dia merasakan susahnya tinggal di kawasan transmigrasi ini. Keluarganya suÂsah memperoleh bahan kebuÂtuÂhan pokok seperti beras, minyak goreng, minyak tanah hingga paÂkaian. Di tahun pertama, dia maÂsih memperoleh uang Rp 500 ribu dari Kementerian Tenaga KerÂja dan Transmigrasi.
Memasuki tahun kedua, keÂluarganya sudah tidak mendapat “uang saku†dari KemÂenÂaÂkÂerÂtrans. Bantuan bahan kebutuhan pokok pun sudah dihentikan.
“Untuk menyambung hidup saya bekerja serabutan sebagai buÂruh tanah sawit. Saya digaji Rp 50 ribu sehari. Tapi itu belum tentu setiap hari,†kata Ateng.
Bila tidak ada order, ia meÂmilih merawat kebun sawitnya yang berjarak 4 kilometer dari ruÂmahÂnya. “Kalau jalan kaki satu jam baru sampai,†katanya.
Biasanya ia berangkat ke keÂbun pukul 8 pagi dan pulang puÂkul 4 sore. “Kalau musim hujan saya memilih tinggal di rumah karena kondisi jalan yang gemÂbur dan sulit dilalui,†katanya.
Setelah dua tahun tinggal di kaÂwasan transmigrasi, ia mulai meÂngalami beberapa kesulitan. TiÂdak adanya transportasi buat warÂga transmigran, pasar dan fasilitas kesehatan.
“Saya kalau ke mana-mana harus jalan kaki berpuluh-puluh kiÂlometer.“Soalnya saya tidak punya motor. Bila terpaksa seÂkali, saya pinjam motor tetangga. Seperti untuk mengantar istri bila sedang sakit,†katanya.
Untuk membeli kebutuhan pokok ia harus pergi ke desa teÂtangga sejauh 10 kilometer. BegiÂtu juga bila ingin berobat. Ateng punya pengalaman saat meÂnganÂtar istrinya yang sakit keras pergi ke puskesmas di desa tetangga.
SÂampai di situ, dokter di pusÂkesmas bisa mendeteksi penyakit istrinya. “Karena terpaksa, akÂhirÂnya istri saya bawa pulang ke Jawa. Alhamdulillah saat ini suÂdah berangsur-angsur pulih dan sampai sekarang masih tinggal di sana,†katanya.
Ia berharap Kemenakertrans bisa melengkapi lagi fasilitas unÂtuk para transmigran. Seperti transportasi dan kesehatan untuk warga transmigran.
Dirjen Pembinaan PengemÂbaÂngan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi Kementerian TenaÂga Kerja dan Transmigrasi (DirÂjen P2MKT), Roosari Tyas WarÂdani mengatakan telah memÂperÂsiapkan segala kebutuhan para transmigran di Tinauka, DongÂgaÂla, Sulawesi. Belum lama pihÂakÂnya membangun di kawasan transmigrasi itu.
Di puskesmas, lanjutnya, juga disiapkan dokter yang standby melayani warga transmigran. PusÂkesmas itu juga dilengkapi dengan obat-obatan. “Jadi warga tidak perlu jauh-jauh bila ingin berobat dan tinggal datang ke puskesmas ini,†katanya.
Mengenai keluhan minimnya transportasi ke kawasan transÂmigÂran, kata Roosari, KemeÂnÂteÂrian akan menjalin kerja sama deÂngan Dinas Pekerjaan Umum dan Pemerintah Kabupaten Donggala.
Menurut dia, yang paling penÂting adalah partisipasi warga transmigran untuk bergotong roÂyong membangun transporasi seÂcara mandiri.
Roosari lalu membandingkan dengan kawasan transmigrasi di di Sulawesi, Maluku dan Maluku Utara. Di situ, kawasan transÂmigÂrasi terletak di perbukitan. Sebab, pemerintah daerah jarang mÂeÂnÂdaÂpat lahan untuk dijadikan kaÂwaÂsan transmigrasi di tanah datar.
Berbeda dengan di Tinauka yang berada di lembah. Walaupun di kelilingi perbukitan, kawasan ini aman dari bencana. KÂemenÂteÂrian sudah menggunakan konÂsep konservasi lahan dengan model cover crop, yang berfungsi untuk mencegah lahan longsor. Caranya dengan menanam bibit unggulan Mocuna SP.
“Setelah ditanam, setengah taÂhun kemudian bisa dilihat haÂsilÂnya tanah semakin kuat dan tidak mudah longsor,†katanya.
Kemenakertrans Coba Pertanian Organik Di Kawasan Transmigrasi
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mencanangkan pembangunan kawasan transmigrasi yang menÂdukung pengembangan pertanian organik dan ramah lingkungan.
Pilot project-nya di kawasan transÂmigrasi Tinauka di KabuÂpaten Donggala Provinsi. SuÂlaÂwesi Tengah. Lahan-lahan di kawasan ini ditata dengan prinÂsip lingkungan yang bersih, sehat dan alami.
“Kita sedang berusaha meÂneÂrapkan konsep-konsep pertanian organik di kawasan-kawasan transmigrasi. Kita tawarkan pengambangan sistem buÂdiÂdaÂya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa mengÂgunakan bahan kimia sintetis,†kata Ketua Umum Partai KeÂbangÂkitan Bangsa (PKB) ini
Pria yang akrab dipanggil cak Imin ini mengatakan kaÂwaÂsan-kawasan transmigrasi diÂarahkan menjadi lokasi-lokasi khusus sebaÂgai zona budidaya taÂnaman organik, yang bebas dari bahan kimia,
“Nantinya kita mengÂinÂtenÂsifkan budidaya pertanian orÂgaÂnik dan ramah lingkungan yang dilengkapi dengan pendirian inÂdustri pembuatan pupuk organik. Kita sangat concern dengan keÂseimbangan antara ekosistem alam dan kehidupan mÂaÂsyaraÂkat,†kata Muhaimin.
Muhaimin optimis hasil perÂtanian organik dapat meninÂgÂkatÂkan kesejahteraan para traÂnÂsÂmigÂran dan masyarakat sekitar. SisÂtem pertanian organik dirancang menghasilkan produk-produk pertanian, baik berupa pangan, hortikultura, perikanan, maupun peternakan
Pengembangan pertanian orÂgaÂnik diyakini dapat menyeÂlaÂmatkan sumber-sumber daya alam, dan mencegah terjadinya peÂlÂanggaran dan pengrusakan alam seperti ilegal logging, ilegal fishing dan sebagainya.
“Kita harapkan BUMN dan BUMS sebagai pemilik dana proÂgram CSR dapat memberikan kontribusinya bagi upaya penaÂtaan lingkungan transmigrasi yang lebih asri dan lestari, kata Muhaimin.
Program kawasan transmigrasi organik ini dilakukan dengan inÂtensifikasi lahan dan peÂngemÂbaÂngan ternak, penyediaan pupuk seÂcara mandiri (kompos atau orÂganik), pengembangan usaha mandiri dan penguatan lembaga keuangan atau koperasi.
“Pemerintah berharap dapat terlahir lebih banyak lagi wiraÂusaÂhawan baru dari kawasan transÂmigÂrasi. Kehadiran wiraÂusaÂhaÂwan dapat meningkatkan perÂekoÂnomian, menciptakan lapaÂngan kerja baru dan mempercepat pemÂbangunan di kawasan transÂmigrasi,†katanya.
“Sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan bahari yang tersedia dikawasan transÂmigrasi harus dimanfaatkan oleh wirausahawan muda dan genÂeÂrasi muda yang pola pikirnya kreaÂtif untuk membuka lapangan kerja baru,†jelasnya.
Selama ini, Kemenakertrans telah menggelar pelatihan yang kewirausahaan disesuaikan dengan potensi sumber daya alam (SDA) yang tersedia di sekitar daerah transmigrasi.
Selain sebagai potensi ekonoÂmi, lanjut Muhaimin, keberaÂdaÂan sekÂtor perbankan pun diÂhaÂrapÂkan daÂpat membantu wiÂraÂusaÂha di wilaÂyah transmigrasi dan dapat memÂberikan nilai tamÂbah dan keÂmuÂdian berdampak mengalirÂnya arus investasi ke daeÂrah dan mÂenÂgÂgeÂrakkan ekoÂnoÂmi wilayah.
“Lumayan Sehari Bisa Dapat Rp 10 Ribuâ€
Sawit Belum Panen, Buka Warung
Agustina menjaga warung kelontongnya sambil mengasuh bayi. Sesekali dia melayani pemÂbeli yang datang. PeremÂpuan asal Bone, Sulawesi SelaÂtan ini membuka toko di kaÂwaÂsan transmigrasi Tinauka.
“Saya ingin bantu suami saja dengan membuka toko kecil-kecilan,†kata ibu lima anak ini.
Wanita berumur 35 tahun ini telah tinggal di kawasan transÂmigrasi Tinauka sejak DeÂsemÂber 2011. “Saya kesini karena ikut suami menjadi transÂmigÂran,†katanya.
Saat ini, ia belum mengalami kesulitan untuk memenuhi keÂbuÂtuhan hidup sehari-hari. SeÂbab seluruh kebutuhan pokok seÂÂperti beras, minyak tanah, ikan asin masih disuplai KeÂmanakertrans.
“Tiap bulan saya dapat beras 40 kilogram, minyak tanah dan minyak goreng sebanyak enam liter dan pakaian. Kalau uang saya tidak dapat dan harus menÂcari sendiri,†katanya.
Selain itu, suaminya juga mendapat jatah lahan seluas 2 hektar yang saat ini telah ditanami kelapa sawit. “Namun dua tahun lagi baru bisa dipaÂnen,†katanya.
Demi ingin mendapatkan uang tambahan, suaminya beÂkerja serabutan sebagai juru tanam kelapa sawit yang digaji Rp 50 ribu setiap hari. Namun pekerjaan tersebut tidak setiap hari. “Suami lebih banyak ngangÂgurnya. Kalau ngganggur biasaÂnya, merawat tanaman sawit yang ada di ladang,†ujarnya.
Karena pekerjaan suaminya tidak menentu, ia berinisiatif membuka awrung kelontong untuk menambah penghasilan keÂluarga. “Lumayan tiap hari bisa dapat Rp 10 ribu,†katanya.
Wanita berkulit sawo maÂtang ini sedikit khawatir karena muÂlai januari 2013 keÂluarÂgaÂnya suÂdah tidak mendapat jatah keÂbuÂtuÂhan pokok dari KeÂmeÂnakertrans.
“Semoga suami saya dapat pekerjaan terus agar perÂekoÂnoÂmian keluarganya tidak terÂgangÂgu. Soalnya kalau hanya menggantungkan dari jual maÂkanan kecil tidak mencukupi,†harap Agustina.
Cukup banyak kendala yang dihadapinya sebagai transÂmigÂran. Yang paling utama adalah transportasi. “Sangat sulit keÂluar dari desa ini karena tidak ada transportasi yang memadai. Dengan itu saya terpaksa menÂcicil sepeda motor selama tiga tahun. Alhamdulillah sekarang bisa bepergian ke desa tetangga untuk belanja makanan,†kata Agustina sambil tersenyum.
Ia juga mengeluhkan peneraÂngan di rumahnya yang minim. Sebab, genset yang jadi sumber listrik di desa itu tak kuat meÂnerangi rumah semua warga. “Saya terpaksa membeli lampu pelita (lampu api) bila malam telah tiba,†katanya.
Ia berharap Kemenakertrans lebih memperhatikan lagi faÂsilitas untuk transmigran. “Bila semua fasilitas lengkap, bisa diÂpastikan warga transmigran beÂtah,†katanya.
Jadup Mau Habis, Pindah Ke Lokasi Transmigrasi Lain
Temuan Disnakertrans Sulteng
Kepala Bidang Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan TransÂmigrasi Sulawesi Tengah, Basir Tanase mengatakan, provinsi ini menjadi saat tempat favorit penempatan transmigran. SeÂbab, lahannya masih banyak. MaÂsyarakatnya pun menÂduÂkung program ini.
“Karena itu, Sulteng masih menÂjadi daerah yang cukup beÂsar menempatkan transÂmigÂran setiap tahun dengan duÂkuÂngan anggaran APBN KeÂmenÂteÂrian Tenaga Kerja dan TransÂmigrasi (KemeÂnaÂkerÂtrans),†katanya.
Ia mengatakan,â€pada 2012 Kemenakertrans menargetkan penempatan 920 kepala keÂluarga (KK) di sembilan lokasi di Sulteng. Ini yang terbesar di antara belasan provinsi lain peÂnerima transmigran.
Jumlah ini naik cukup tinggi dibanding penempatan transÂmigÂran 2011 yang berjumlah 760 KK dengan realisasi 685 KK. “Hingga pertengahan DeÂsember 2012, realisasi penÂemÂpatan sudah mencapai 855 KK pada delapan lokasi,†katanya.
Bassir menjelaskan, saat ini masih banyak transmigrasi yang tidak bertanggung jawa dan hanya ingin mengambil jaÂtah hidup (jadup) saja. Di tahun perÂtama seluruh kebutuhan poÂkok transmigrasi dijamin pemerintah.
Pada pertengahan 2012 dia menemukan ada dua KK transÂmigran ulak-alik. Kedua KK itu dikenali sebagai transmigran UPT Lembatongoa program 2011 lalu. Tapi kemudian keÂmÂbali mendaftar untuk menÂemÂpati lahan di Tinauka, DoÂngÂgala. Biasanya, transmigran itu menÂdaftar lagi bukan mengÂguÂnakan identitas daerah asalnya.
“Ternyata mereka transÂmigÂran yang tiba-tiba meÂninÂgÂgalÂkan lokasi tanpa pamit pada saat jadup sudah mau habis. Ini biaÂsaÂnya orang-orang pintar tapi daÂsarnya malas,†katanya.
Menurut Bassir, transmigran itu bergantung pada jaminan hidup yang diberikan pemeÂrinÂtah. Tidak mau berusaha. Juga tak mau bersabar dengan apa yang diusahakannya.
Selain mendapat jaminan hiÂdup selama setahun, transÂmigÂran juga diberi lahan dua hektar, rumah beserta isinya, dan jaÂminan lainnya.
Bassir mengkhawatirkan transmigran seperti itu bakal jadi provokator. Ia bakal meÂngajak transmigran lainnya untuk protes dengan dalih tidak puas dengan lahan yang diseÂdiaÂkan di lokasi transmigrasi. Untuk itu, Bassir akan memÂperÂketat pengawasan terhadap para transmigran model ini. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.