Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Isi Surat Menkeu Ke Menteri PU Bertentangan Dengan Isi Perpres

Soal Pembangunan Jembatan Selat Sunda

Senin, 02 Juli 2012, 08:31 WIB
Isi Surat Menkeu Ke Menteri PU Bertentangan Dengan Isi Perpres
ilustrasi, Jembatan Selat Sunda
RMOL.Kamis (28/6) DPR kaget mengetahui ada surat Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo ke Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto terkait rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda. Soalnya Surat Menkeu itu sangat berbeda dan bertentangan dengan Peraturan Presiden (Perpres). Seperti apa surat Menkeu dan bagaimana isi Perpresnya? Rakyat Merdeka mendapatkan salinan lengkapnya.

Surat Menkeu itu dibuat 8 Juni 2012 dengan nomor: S-396/MK.011/2012. Judul suratnya: Usulan Perubahan atas Pegem­ba­­ngan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda. Lam­pi­rannya dua lembar, status surat­nya: segera. dan hanya ditem­bus­kan kepada Wakil Menteri Keu­angan dan Kepala Badan Kebija­kan Fiskal, Kementerian Keua­ngan.

Perpres yang dimaksud adalah Perpres No 86 Tahun 2011 ten­tang Pengembangan Kawasan Stra­te­gis dan Infrastruktur Selat Sun­da,  ditandatangan Presiden SBY 2 Desember 2011, masuk lem­bar ne­­gara Republik In­donesia tahun 2011 nomor 126. Perpres ini men­ca­but Keppres No 36 Tahun 2009 tentang Tim Na­sional Per­siapan Pembangunan Jembatan Selat Sunda.

Perbedaan antara isi surat Men­keu ke Menteri PU dengan isi Per­pres bisa dilihat dari beberapa poin di bawah ini:

Pertama, dalam surat Menkeu disebutkan fokus pengembangan in­frastruktur adalah pemba­ngu­nan jembatan. Padahal, dalam Per­­pres jelas-jelas tertera bahwa ruang lingkup pembangunannya adalah pengembangan kawasan strategis dan infrastruktur Selat Sunda. Itu bisa dilihat dalam Bab I Pasal 1 ayat 2 disebutkan kawa­san strategis Selat Sunda meliput ka­wasan darat, pulau dan laut yang terletak di Provinsi Lam­pung, Provinsi Banten dan kawa­san lain yang ditetapkan berda­sar­kan suatu rencana pengem­bangan. Kemu­dian, dalam ayat 3, infrastruktur Selat Sunda meli­puti jembatan tol, jalan kereta api, utilitas, sistem na­vigasi, pelaya­ran dan infrastruktur lainnya di Selat Sunda, termasuk energi ter­ba­rukan yang terinte­gritasi, meng­hubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.

Kedua, dalam surat Menkeu di­sebut Menteri Pekerjaan Umum bertindak sebagai penanggung ja­wab proyek kerja sama. Ini ber­beda dengan Perpres yang me­nye­but pengembangan kawasan stra­tegis dan infrastruktur Selat Sunda dipegang oleh Badan Pengem­bang yang terdiri dari Dewan Penga­rah yang diketuai Men­ko Pere­konomian dan Badan Pelak­sana. Ini bisa dilihat dalam Bab II Pasal 5, 6, 7 dan 8. Dalam De­wan Pengarah, Menteri PU di­posisikan sebagai Ketua Harian, se­dangkan Menteri Keuangan hanya sebagai anggota. Selanjut­nya Badan Pelaksana diangkat  Pre­siden atas usulan Dewan Pengarah.

Perbedaan ketiga, surat Men­keu telah menghilangkan peran Pemrakarsa yakni konsorsium Ban­ten-Lampung dalam pelak­sa­naan proyek kerja sama. Dalam su­rat Menkeu peran Pemrakarsa di­hilangkan dan diserahkan se­penuhnya kepada Menteri PU se­bagai penanggung jawab proyek kerja sama. Keberadaan Pemra­kar­sa sendiri diatur dalam Perpres Bab III Pasal 21, 22, 23, 24 dan 25. Karena peran Pemrakarsa di­hi­­­langkan, maka dalam surat Men­keu disebutkan, Menteri PU ber­wenang melakukan penyiapan pro­yek pembangunan infras­truk­tur Selat Sunda yang meliputi stu­di ke­layakan dan basic design, ren­ca­na bentuk kerja sama dan ren­cana pe­na­waran kerja sama yang men­cakup jadwal, proses dan cara pe­nilaian. Sedangkan da­lam Perpres Pasal 24 sangat je­las disebut tugas itu harus diker­jakan Pemrakarsa.

Perbedaan paling menonjol terkait pembiayaan. Dalam surat Men­keu disebut semua biaya yang diperlukan dalam penyiapan pro­yek pembangunan infras­truktur Se­lat Sunda bersumber dari APBN. Padahal dalam Per­pres Pa­sal 22 ayat 2 disebutkan, se­luruh pembiayaan persiapan pro­­yek dibebankan ke Pemra­kar­sa. Meski ada ketentuan seper­ti da­lam Pasal 25 ayat 1 dan 2, da­lam hal pe­me­rin­tah membatal­kan pro­yek, Pemra­karsa berhak mem­pe­roleh kompensasi dari peme­rintah atas biaya penyiapan proyek  ber­dasarkan hasil penilai inde­pen­den yang ditunjuk badan pelaksana.

Anggota Komisi V DPR yang salah satunya membidangi masa­lah infrastruktur, Saleh Husin mengamini isi surat Menkeu dan Perpres yang dipegang Rakyat Mer­deka dengan yang dimili­ki­nya. Dia kecewa Menkeu mengi­rim surat ke PU tersebut. Salah sa­­tunya soal pendanaan studi ke­layakan Jembatan Selat Sunda di­serahkan ke APBN.

Soalnya, kata dia, nilai studi ke­layakan ini dapat menghabis­kan dana hingga Rp 1 triliun. “Banyak investor dari  negara lain yang ber­sedia mendanainya, ke­napa harus membebani anggaran negara yang terbatas?” kata Husin.

Kata dia, dana APBN Rp 1 tri­liun akan lebih baik digunakan un­­tuk mendanai program pro-rakyat lain yang tidak menarik bagi investor.

Menteri Keuangan Agus Mar­towardojo mengaku telah mengi­rim surat ke Menkeu terkait pem­bangunan Jembatan Selat Sunda. Terkait pendanaan dibebankan ke APBN, dia memberikan alasan­nya. “Kalau mengarah ke proyek be­sar, pemerintah yang menjadi penggu­na fasilitasnya lebih baik meren­canakannya dulu sendiri da­ripada nanti menggantungkan diri kepada pihak ketiga,” ujar Men­keu, di Ja­karta, Kamis malam (28/6).

Menkeu menyatakan, proyek pembangunan yang diperkirakan menghabiskan anggaran sekitar Rp150 triliun ini akan didanai se­penuhnya oleh  swasta, dan pe­me­rintah ingin memberikan jami­nan yang baik kepada investor dengan melakukan studi kelaya­kan yang diperlukan.

Menkeu Akan Kami Panggil

Hary Azhar Aziz, Wakil Ketua Komisi XI DPR

Wakil Ketua Komisi XI DPR Hary Azhar Aziz menjanjikan akan segera memanggil Men­keu Agus Martowadojo untuk dimintai keterangan terkait su­ratnya ke Menteri PU yang me­nyebut biaya pelaksanaan studi kelayakan dan basic design Jembatan Selat Sunda (JSS) di­biayai negara melalui APBN.   

“Kita akan tanya apa alasan Menkeu itu nanti di DPR,” ujar Hary yang mengaku kaget sete­lah menerima salinan suratnya.

Menurut Hary, jika beban bia­ya pelaksanaan studi kelaya­kan dan basic design JSS itu dibebankan pada APBN, maka itu masuk pos anggaran Ke­men­­terian PU. Namun demi­kian, dia menambahkan, surat Menkeu tersebut berpotensi me­micu persoalan baru karena bertentangan dengan Peraturan Pre­siden (Perpres) Nomor 86 ta­hun 2011 tentang Pengem­ba­ngan Kawasan Strategis dan In­frastruktur Selat Sunda.

“Kecuali kalau sudah ada per­pres baru menggantikan per­pres itu. Kalau tidak, maka surat Men­keu itu akan menimbulkan masa­lah karena bertentangan dengan per­pres yang ada,” ujarnya.

Dalam Politik, Ini Pembangkangan

Ikhsan Tualeka, Pengamat Kebijakan Publik

Pengamat Kebijakan Pu­blik, Ikhsan Tualeka menilai, apa yang dilakukan Menkeu Agus Martowardojo mengirim surat ke Menteri PU Djoko Kir­manto soal pembangunan Jem­batan Selat Sunda (JSS) yang ber­beda dengan Peraturan Pre­siden sebagai tindakan pem­bang­kangan seorang menteri kepada Presiden.

“Dalam Perpres Jembatan Se­lat Sunda mengatur bahwa per­siapan proyek seperti studi kela­yakan diserahkan ke Pe­mra­karsa yang terdiri dari Konsor­sium Ban­ten-Lampung, namun, fakta­nya Menkeu main sok jago-ja­goan dengan menge­luar­­kan surat yang hanya me­nunjuk Menteri PU sebagai pe­laksana, kemudian anggaran­nya juga semua dari APBN. Ini kan nyeleneh, masa Peraturan Pre­siden dilawan surat men­teri,” kata Ikhsan.

Kata dia, dalam ketatanega­ra­­an, keputusan menteri itu je­las di bawah keputusan presiden.

Dia menambahkan, surat Men­keu ini preseden buruk. Ka­rena menunjukkan ketidak­pas­tian kebijakan pemerintah. “Toh, menjadi fakta bahwa menteri saja bisa mengeluarkan kebija­kan yang isinya berten­tangan de­ngan kebijakan presi­den. Kalau da­lam istilah politik ini namanya pembangkangan. Presiden harus berani ambil tin­dakan kepada men­teri keuang­an atas pembang­kangannya ini,” sarannya.

Dia juga tidak setuju studi ke­layakan pembangunan Jem­ba­tan Selat Sunda (JSS) meng­gu­nakan duit APBN. “Kalau pakai duit APBN berarti pakai angga­ran Kementerian PU. Lha, seka­rang saja PU masih kesulitan be­resin ja­lan-jalan, ini malah ha­rus di­pak­sa biayai studi ke­layakan Jem­­batan Selat Sunda. Apa nggak bakalan tekor tuh,” tegasnya.

Dia menyarankan duit di APBN lebih baik dialokasikan ke sektor-sektor prioritas seperti kesehatan, pendidikan dan kemiskinan.

Dia juga menyarankan, ja­ngan sampai persoalan ini mem­perburuk Indonesia di ma­ta investor. “Selama ini, inves­tor kabur dari Indonesia karena tidak ada konsistensi pemerin­tah dalam menerapkan regulasi dan komitmen yang telah dise­pakati. Dalam kasus Jembatan Selat Sunda misalnya, pemerin­tah telah mengeluarkan Perpres me­libatkan investor swasta ke­mudian sekarang mau diubah, kan ini namanya tidak konsis­ten,” terangnya. [Harian Rakyat Merdeka]



Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA