Kasus BPOM Bergulir Ke Pengadilan Tipikor

Nyaris Tidak Terdengar Perkembangannya

Selasa, 22 Mei 2012, 09:50 WIB
Kasus BPOM Bergulir Ke Pengadilan Tipikor
ilustrasi

RMOL. Nyaris tak terdengar perkembangannya, kasus korupsi di BPOM yang diduga merugikan negara sekitar Rp 12,6 miliar, akhirnya bergulir ke Pengadilan Tipikor. Ada yang ditutup-tutupi?

Empat tersangka perkara ko­rupsi di Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) Badan Pengawas Obat dan Ma­kanan (BPOM) menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, ke­marin.

Kepala Pusat Penerangan Hu­kum Kejaksaan Agung (Ka­pus­penkum Kejagung) Adi Toe­garis­man membenarkan, para ter­sangka kasus korupsi pengadaan alat laboratorium itu, sudah me­masuki masa persidangan di Pe­ngadilan Tipikor Jakarta. “Ke­em­pat tersangka sudah sidang se­mua. Dua tersangka, yakni Siam dan Irmanto sidang pembacaan dak­waan hari ini. Sedangkan dua tersangka lainnya, sudah lebih dahulu memasuki masa persi­dangan,” ujarnya.

Tersangka kasus ini adalah Ketua Panitia Lelang Pengadaan Alat Laboratorium tahun 2008 Irmanto Zamahir Ganin, Pejabat Pembuat Komitmen Pengadaan Alat Laboratorium tahun 2008 Siam Subagyo, Direktur CV Ma­senda Putera Mandiri, Ediman Si­manjuntak dan Direktur PT Ra­mos Jaya Abadi, Surung Ha­si­holan Simanjuntak. Dua pihak swasta itu merupakan rekanan BPOM dalam pengadaan alat laboratorium pada tahun ang­garan 2008.

Para tersangka tersebut, di­sang­ka Kejaksaan Agung telah me­langgar Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Akan tetapi, menurut seorang staf hu­mas Pengadilan Tipikor Jakarta, kasus BPOM baru me­ma­suki sidang perdana. Sebe­lum­nya, tidak ada sidang perkara ter­se­but.  “Sidang perdananya baru tadi. Pembacaan dakwaan,” ujar­nya, kemarin.

Sebelum kemarin, dia belum pernah melihat agen­da sidang untuk kasus ko­rupsi di BPOM. “Baru tadi sidang BPOM dari Ke­jak­saan Agung. Ada dua ter­dak­wa,” ucapnya.

Pada Februari 2012, Kejaksaan Agung berencana melimpahkan berkas perkara empat tersangka perkara korupsi ini ke Pengadilan Ti­pikor Jakarta. Sebelumnya, ber­kas-berkas itu diteliti Bagian Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampid­sus), setelah menerima pelim­pah­an dari Bagian Penyidikan pada 17 hingga 20 Februari 2012.

Perkara korupsi ini terjadi pada tahun 2008, saat BPOM men­ja­lankan dua proyek pengadaan alat laboratorium senilai Rp 45 miliar dan Rp 15 miliar. Diduga, terjadi kerugian keuangan negara sekitar Rp 12,6 miliar dalam pengadaan tersebut.

Jika dilihat dari perjalanan pe­na­nganannya, kasus ini molor ke Pengadilan Tipikor. Soalnya, Kapuspenkum Kejagung Noor Rochmad yang kini menjadi Ke­pala Kejaksaan Tinggi Su­matera Utara menyatakan, tersangka kasus BPOM bakal dibawa ke per­sidangan sebelum tahun baru 2012. Nyatanya, dua tersangka kasus ini baru disi­dang kemarin.

Noor beralasan, Kejaksaan Agung baru mendapatkan la­por­an Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) me­nge­nai kerugian negara dalam ka­sus ini pada akhir Desember 2011. Sehingga, tidak bisa mem­bawa kasus tersebut ke tahap pe­nuntutan sebelum tahun baru. Soalnya, waktunya terlalu mepet.

Dia menjelaskan, berdasarkan hasil penghitungan BPKP, nilai kerugian negara dalam perkara ini sekitar Rp 12,6 miliar. Per­sis­nya sebesar Rp 12. 665. 816. 339. Hal itu disampaikan Noor di sela-sela jumpa pers mengenai laporan kinerja Kejagung tahun 2011 pada akhir Desember lalu.

Menurutnya, data dari BPKP ter­sebut merupakan faktor pen­ting bagi pelengkapan berkas para tersangka untuk dilim­pah­kan ke proses penuntutan. Lan­taran itu, Noor membantah per­sidangan kasus tersebut molor.

REKA ULANG

4 Tersangka Ditahan Penyidik

Kepala Biro Hukum BPOM Hendri Siswadi menyatakan, pengadaan alat laboratorium pada tahun anggaran 2008 di BPOM berjalan lancar.

Namun, bila Kejaksaan Agung mengendus tindak pidana ko­rup­si, pihaknya tidak meng­hambat pro­ses hukum. “Labo­ra­to­rium­nya jalan kok. Setahu saya, pe­ng­adaan itu transparan dan sesuai prosedur. Tapi, bila kejaksaan me­nemukan dugaan korupsi, si­lakan diusut. Kami tidak meng­halangi,” katanya kepada Rakyat Merdeka saat kasus ini mulai ber­gulir di Kejagung.

Hendri menyampaikan, pihak BPOM tidak mencampuri urusan hukum yang berjalan. Selama pe­nyelidikan dan penyidikan, lanjut dia, sejumlah staf dan pejabat BPOM pun sudah dimintai ke­terangan. “Siapa pun yang diduga ter­libat, silakan diproses. Kami siap membuat persoalan ini se­ge­ra dituntaskan.”

Bahkan, lanjut Hendri, sejak dua orang BPOM ditahan Keja­gung, pihak BPOM tidak men­cam­puri proses hukumnya. BPOM pun tidak memberikan ban­tuan hukum. “Karena sudah jadi tersangka, sudah ada pe­nga­cara mereka masing-masing. Se­belumnya memang ada pen­dam­pingan dari institusi BPOM,” ujar Hendri.

Pada Jumat, 4 November 2011, pe­nyidik Pidana Khusus Keja­gung menahan dua orang BPOM, yakni Siam Subagyo sebagai Pe­jabat Pembuat Komitmen dan Ke­pala Panitia Pengadaan Ir­man­to Zamahir Ganin. “Mereka dita­han karena ada kekhawatiran akan melarikan diri, meng­hi­lang­kan barang bukti dan mengulangi per­buatannya,”ujar Kapus­pen­kum Kejagung saat itu, Noor Rochmad.

Pada Kamis, 10 November 2011, Kejagung kembali me­nahan dua tersangka. Keduanya ada­lah rekanan BPOM dalam pe­ngadaan laboratorium itu. Me­reka adalah Direktur PT Ramos Jaya Abadi, Surung Hasiholan Si­manjuntak dan Direktur CV Masenda Putra Mandiri, Ediman Simanjuntak. Mereka ditahan di Rumah Tahanan Salemba cabang Kejaksaan Agung.

Kasus ini berawal pada 2008, saat Pusat Pengujian Obat dan Ma­kanan Nasional (PPOMN) Ba­dan Pengawas Obat dan Ma­kanan (BPOM) memiliki proyek pe­ngadaan alat laboratorium da­lam beberapa paket. Paket itu an­tara lain pengadaan alat la­boratorium PPOMN dengan ang­garan Rp 4,5 miliar untuk 66 item ba­rang. Paket kedua yaitu pe­ngadaan alat Laboratorium Pusat Riset Obat dan Makanan Na­sio­nal (PROMN) dengan jum­lah da­na Rp 15 miliar untuk 46 barang.

“Dana pengadaan alat labora­to­rium berasal dari APBN untuk paket 1 dan paket 2. Anggaran ter­­sebut berada di bawah Satuan Kerja Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional BPOM,” ujar Noor yang kini menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.

Setelah melakukan proses pe­le­langan, diperoleh pemenang dari masing-masing paket. Dua perusahaan itu adalah, CV Ma­sen­da Putra Mandiri untuk paket 1 dengan kontrak nomor PL. 01.02.71.1885A tanggal 18 Sep­tember 2008, dengan nilai kon­trak Rp 43.490.736.956. Paket 2 yaitu PT Ramos Jaya Abadi de­ngan kontrak nomor L PL.01.­02.­71.1854A tanggal 16 September 2008, dengan nilai kontrak Rp 13.028.480.420.

Persoalannya, lanjut Noor, pengadaan alat laboratorium paket 1 dan paket 2, disub­kon­trak­kan CV Masenda Putra Man­diri dan PT Ramos Jaya Abadi kepada PT Bhineka Usada Raya (PT BUR), sehingga terjadi selisih harga. “Terjadi kemahalan harga,” tandasnya.

Noor mengatakan, perbuatan itu telah menimbulkan kerugian ne­gara untuk paket 1 sebesar kurang lebih Rp 8.315.137.530, sedangkan paket 2 sebesar kurang lebih Rp 2.526.870.392. Bela­kang­an, berdasarkan penghi­tung­an Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), ang­ka kerugian negara dalam kasus ini sekitar Rp 12,6 miliar.

Masyarakat Mesti Tahu Sidang Korupsi

Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Yahdil Abdi Harahap meng­ingat­kan, demi kepastian hu­kum, mekanisme yang sudah di­atur dalam KUHAP dan per­aturan internal Kejaksaan Agung mengenai pemberkasan, mesti dijalankan sesuai tahap­annya.

Bila setiap tahapan pena­ngan­an kasus dijalankan sesuai pro­sedur, lanjut Yahdil, maka ma­syarakat tidak akan curiga. Setidaknya, penanganan per­ka­ra yang sesuai prosedur, dapat meminimalisir kecurigaan ma­syarakat. “Kalau berkas sudah P21 atau lengkap, semestinya oto­matis berjalan hingga ke pe­ngadilan. Semua mekanisme dijalankan saja. Hakim atau jaksa tidak boleh memelintir atur­an itu, karena memang be­gitulah aturan pengadilan kita,” ujarnya, kemarin.

Kejaksaan, saran Yahdil, se­mestinya menyampaikan ke­pada masyarakat mengenai lang­kah mereka mengirim ber­kas para tersangka kasus ko­rup­si ke pengadilan. Jika tidak di­sampaikan, maka masyarakat bisa curiga, fakta baru yang bia­sa­nya terungkap dalam per­sidangan kasus korupsi, seolah-olah ditutupi.

Kemudian, jika persidangan ti­dak berjalan sesuai meka­nis­me, maka akan terjadi keti­dak­pastian hukum. “Artinya, me­ka­­nis­me yang seharusnya ber­jalan, kenapa tidak berjalan. Itu tidak boleh terjadi,” ujar ang­gota DPR dari Fraksi PAN ini.

Menurut Yahdil, selama diri­nya bekerja sebagai pe­ngacara, mekanisme persidangan selalu di­umumkan dan tidak pernah ada masalah. Lantaran itu, dia mengaku kaget jika ada per­sidangan yang kesannya di­tu­tup-tutupi atau tidak di­umum­kan kepada masyarakat. Dia juga heran, kenapa sekarang ada sidang yang digelar pada malam hari.

“Aneh, kalau ada sidang ka­sus korupsi tanpa sepe­nge­ta­huan masyarakat. Apakah ada maksud agar masyarakat tidak me­ngetahui fakta baru yang ter­ungkap dari persidangan?” tan­dasnya.

Yahdil menambahkan, bila ditemukan ketidakwajaran da­lam agenda persidangan, maka perlu diusut Komisi Yudisial (KY) atau Mahkamah Agung (MA). “Secara etika, tidak etis me­lakukan persidangan tanpa se­pengetahuan publik,” tan­das­nya.

Ketua Pengadilan Mesti Ngecek Persidangan

Sandi Ebeneser, Majelis Pertimbangan PBHI

Anggota Majelis Pertim­bang­an Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Sandi Ebe­­neser Situngkir me­nyam­paikan, pada prinsipnya, semua ka­sus tidak boleh diper­main­kan. Apalagi yang sudah dilim­pahkan ke penuntutan.

Artinya, proses persi­dang­annya harus disampaikan dan terbuka untuk publik. Apalagi, bila kasus itu adalah perkara ko­rupsi yang menyangkut ke­ru­gian negara miliaran rupiah, se­perti yang diduga terjadi di Ba­dan Pengawas Obat dan Ma­kanan (BPOM).

“Kalau memang Kejaksaan Agung sudah melimpahkan perkara itu ke pengadilan, ya harus disidangkan,” ujar Sandi, kemarin.

Kata Sandi, berdasarkan Pa­sal 143 KUHAP, tidak ada ala­san menunda-nunda persi­dang­an. Kemudian, ber­da­sar­kan kewenangan, proses pen­etapan agenda dan jadwal per­si­dangan itu ada di pengadilan. Perlu dipertanyakan, apakah pe­nga­dilan sudah menjalankan ke­wenangannya itu dengan be­nar. “Yang juga perlu dita­ny­a­kan, benarkah Kejagung sudah melimpahkan perkara itu ke Pe­ngadilan Tipikor,” ujarnya.

Kemarin, Pengadilan Tipikor Jakarta menggelar sidang per­dana dua terdakwa kasus ini. Tapi, menurut Kapuspenkum Ke­jagung Noor Rochmad, se­mua tersangka kasus BPOM su­dah disidangkan. Menurut se­orang staf humas Pengadilan Ti­pikor, baru dua tersangka ka­sus ini yang disidangkan.

Lantaran itu, Sandi menya­ran­kan Kepala Pengadilan Ne­geri Jakarta Pusat mengecek apa­kah benar Pengadilan Ti­pikor Jakarta sudah me­nyi­dangkan semua tersangka kasus BPOM. “Jika ada kejadian bah­wa perkara tidak disidang se­bagai mestinya, apakah ada per­mainan,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA