RMOL. Bandara Halim Perdana Kusuma menjadi Crisis Centre musibah jatuhnya pesawat Shukoi Superjet 100. Selain menjadi pusat informasi, tempat ini juga digunakan untuk mengumpulkan data dari pihak keluarga. Data ini diperlukan untuk identifikasi korban.
Polri menurunkan enam tim DiÂsaster Victim Identification (DVI) untuk mengidentifikasi para korban. Setiap tim terdiri dari tiga orang dengan keahlian berbeda.
Tim membentuk posko yang terletak di sebelah ruang karanÂtina hewan Bandara Halim. SpanÂduk kuning bertuliskan “Posko Tim DVI Indonesia†dipasang di depan ruangan berukuran 2x2 meter itu. Posko ini tampak sesak oleh keluarga korban.
Di dalam posko terdapat dua meja kayu. Kedua meja diguÂnaÂkan untuk proses DVI. Mulai dari pengisian formulir data hingga pengambilan sampel darah keÂluarga korban.
Nur Hida Husein duduk mengÂhadap petugas di meja kiri. Dia kakak kandung Didik Nur HuÂsein, wartawan Majalah Angkasa yang ikut dalam penerbangan joy flight Sukhoi Superjet 100 Rabu lalu (9/5). Nur Hida mengajak Aris, 14 tahun, anak Didik.
Dengan tangan bergetar, Nur Hida mengisi kertas formulir yang disodorkan petugas. ForÂmulir tersebut berisi tentang data diri, hubungan dengan korban, alaÂmat dan sebagainya.
Setelah formulir diisi lengkap, petugas yang mengenakan seraÂgam berwarna biru gelap mulai mengajukan pertanyaan kepada Nur Hida. Pertanyaan seputar ciri-ciri fisik Didik maupun baÂrang yang digunakan saat terÂakhir bertemu.
“Apa korban menggunakan jam tangan? Apa merknya dan biaÂsanya dipakai di tangan sebeÂlah mana? Kemarin terakhir pakai baju warna apa?†tanya petugas pria tersebut kepada Nur Hida.
Merasa sudah cukup mendÂaÂpatkan data-data primer melalui bukti-bukti foto dan keterangan lisan dari Nur Hida, petugas lalu meminta Nur Hida bertukar temÂpat dengan Aris.
Seorang petugas pria menÂdeÂkati Aris yang mengenakan keÂmeÂja warna orange dan celana hitam di tempat duduknya. Kedua tangan petugas itu terbungkus sarung tangan karet. Mulutnya diÂtutupi masker hijau.
Tak lama kemudian, petugas pria tersebut memasukkan cotton bud ke mulut Aris yang mengangÂga lebar. Ia hendak mengambil sampel air liur Aris guna pemeÂriksaan DNA.
Setelah itu, cotton bud dimaÂsukÂkan ke dalam tabung dan diÂtutup. Tabung itu lalu diberi nama. Selanjutnya, petugas meÂngambil darah Aris dari tangan kanan.
Lantaran banyak keluarga korban yang berdatangan, proses pengambilan data juga dilakukan di depan posko. Di sini ditemÂpatÂkan meja kayu lengkap dengan empat kursi dari besi.
Maria F Mering, kakak kanÂdung Maria Marcella Dayu LaÂrita, koordinator pramugari Sky Aviation terlihat berjalan limbung menuju posko DVI. Ia tak berÂhenÂti menangis meratapi nasib adiknya.
Lantaran di dalam posko peÂnuh, pengambilan data dilakukan di luar. “Saya ingin melakukan proses identifikasi dan meÂlengÂkapi data-data atas penumpang bernama Maria Marcella. Saya ini kakak kandung dari Maria Marcella,†katanya dengan suara lirih kepada seorang petugas.
Maria lalu dipersilakan duduk di kursi besi menghadap meja kayu yang berada di bagian depan posko. Kepada Maria, petugas wanita terÂsebut lantas meÂnyeÂrahÂkan sebuah formulir untuk diisi. Selanjutnya petugas wanita meÂngaÂjukan perÂtaÂnyaan-pertaÂnyaan seputar ciri-ciri fisik dan barang yang dikenakan korban terakhir kali.
Karena Maria tidak keluarga yang memiliki hubungan fisik seperti anak kandung, proses DVI pun dihentikan sampai data itu dilengkapi.
Kabid Pusdokkes Polri KomÂbes Anton Castilani mengatakan, posko ini dibentuk untuk meÂngumÂpulkan data-data dan rekam medis korban dari keluarganya.
Data-data itu akan digunakan untuk mengenali korban jika ditemukan dalam kondisi sudah tak bernyata dan sulit dikenali.
“Tim akan melakukan fase ante mortem yakni pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini biasanya diÂperÂoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazahm†terang Anton.
Adapun data-data yang akan dikumpulkan dalam proses ante mortem ini bisa berupa foto korÂban semasa hidup, interpretasi ciri-ciri spesifik korban seperti bekas luka, tato, tindikan dan sebagainya.
Selain itu, tim juga akan meÂminta data gigi korban jika ada, data sidik jari korban semasa hiÂdup, sampel DNA orang tua mauÂpun kerabat korban, serta inforÂmasi lainnya yang relevan dan dapat digunakan untuk keÂpenÂtiÂngan identifikasi.
“Nantinya data dari proses ante mortem ini akan jadi data pemÂbanding dari proses post morÂtem yang diambil dari jeÂnazah yang suÂdah meninggal,†jelas Anton.
Data Lengkap, Jenazah Cepat Dikenali
Kabid Pusdokkes Polri KomÂbes Anton Castilani belum bisa meÂmastikan kapan hasil identiÂfikasi korban bisa diketahui. MeÂnurut dia, prosesnya bisa berÂlangsung hanya hitungan jam, hari, minggu bahkan bulan. TerÂgantung apakah ada data pemÂbandingnya atau tidak.
“Proses ini tetap dibutuhkan seÂbagai data pembanding ketiÂka korÂban ditemukan sudah daÂlam keÂadaan tidak bernyawa dan konÂdisinya sulit dikenali,†ujar Anton yang ditemui di BanÂdara Halim Perdana KuÂsuma, Jakarta Timur.
Anton melanjutkan, proses ante mortem yang diambil di Posko DVI ini kelak akan dibanÂdingan dengan data post mortem (data sesudah kematian). Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses idenÂtifikasi menentukan apakah teÂmuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai seÂbagai jenazah.
“Apabila data yang dibanÂdingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang diÂbÂandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap neÂgaÂtif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai deÂngan temuan post mortem korÂban,†terangnya.
Indikator kesuksesan suatu proses DVI ini bukan didasarkan pada cepat atau tidaknya proses tersebut berlangsung tapi lebih didasarkan pada akurasi atau ketepatan identifikasi. Pada prosesnya di Indonesia, DVI terkadang menemui hambatan-hambatan terutama disebabkan buruknya sistem pencatatan data diri seseorang.
Untuk itu, Anton meÂnyaÂranÂkan, selain membawa keluarga yang memiliki hubungan kanÂdung, juga perlu membawa baÂrang-barang yang mendukung identifikasi. “Misalnya bawa foto, ijazah, SIM dan sebaÂgaiÂnya,†ujar Anton.
Pantauan Rakyat Merdeka terlihat banyak keluarga korban yang datang ke Posko DVI harus keluar-masuk karena data yang dibawa tidak lengkap.
Seperti yang dialami Maria F Mering, merupakan kakak kanÂdung Maria Marcella Dayu LaÂrita, koordinator pramugari Sky Aviation.
Sambil terus menangis, Maria terlihat beberapa kali mengÂhuÂbungi seseorang melalui telepon genggam. Dari pembicaraan terdengar kalau Maria menÂjeÂlasÂkan tentang kurangnya data yang perlu diserahkan ke Posko DVI.
“Saya diminta oleh petugas unÂtuk membawa anak korban (MaÂria) yang saat ini sedang meÂnunggu di rumah. Katanya untuk melakukan proses pengambilan data fisik seperti struktur gigi dan DNA,†jelasnya usai menutup telepon.
Padahal, kata Maria, saat daÂtang kesini dirinya sudah memÂbawa foto adik kandungnya, fotoÂkopi ijazah hingga potongan ramÂbut dari anak korban. “Tapi itu dianggap masih kurang. Karena data primer yakni DNA dari anak kandungnya belum dilengkapi,†jelasnya sambil menghapus air mata yang terus mengalir di pinggir matanya.
Keluarga Ngeluh, Crisis Centre Kok Nggak Ada TV
Polri mengimbau keluarga korban jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 agar tak mendaÂtaÂngi posko evakuasi di kawaÂsan Cidahu, Sukabumi. Cukup mengikuti perkembangan evaÂkuasi dari Crisis Centre di BanÂdara Halim Perdana Kusuma.
Kabag Penum Mabes Polri Kombes Boy Rafli Amar meÂngatakan kedatangan keluarga ke lokasi kejadian akan mengÂganggu proses identifikasi. UnÂtuk itu, dia menganjurkan keÂpada keluarga korban untuk menunggu di Bandara Halim PerÂdana Kusuma.
Soalnya, semua korban tewas akan bahwa diterbangkan ke Bandara Halim Perdana KÂuÂsuma sebelum dibawa ke RuÂmah Sakit Polri Kramat Jati unÂtuk proses identifikasi.
“Tidak perlu datang ke lokasi, lebih baik menunggu di Crisis center Halim ini atau di Rumah Sakit Polri, Karena seÂmua korban akan dibawa keÂsini, ke Halim,†kata Boy.
Crisis Centre musibah jatuhÂnya pesawat Sukhoi Superjet 100 ditempatkan di Terminal KeÂdatangan, Bandara Halim Perdana Kusuma. Di sini juga terdapat Posko Tim DVI Mabes Polri yang melakukan pengumÂpuÂlan data dari keluarga korban.
Pengamatan Rakyat MerdeÂka, banyak keluarga yang keÂbingungan untuk memperoleh informasi mengenai keluarÂgaÂnya. Misalnya, siapa saja yang ada di dalam pesawat buatan Rusia yang naas itu.
Pengumuman tersebut tidak ditulis di sebuah papan besar yang bisa dilihat dari jauh. Tapi hanya berupa dua kertas yang diÂtempel di salah satu dinding money changer.
Selain ukuran kertasnya yang kecil, disekitarnya juga tidak dilengkapi dengan keterangan yang menyatakan bahwa di situ dipajang informasi mengenai daftar nama penumpang. Daftar itu dibuat dengan tulisan tangan.
Kertas itu ditempel agar tinggi. Sehingga orang yang pendek harus sedikit menjinjit untuk melihatnya.
“Sudah tulisannya kecil, kok tidak ada keterangan informasi tentang kabar perkembangan korban pesawat,†ujar seorang pria paruh baya usai nama-nama penumpang di daftar itu.
Pria itu mengaku salah satu keluarga dari penumpang pesaÂwat Sukhoi. Ia juga meÂnyaÂyangÂkan tidak televisi di ruaÂngan itu sehingga pihak keÂluarga tidak bisa mengikuti perkembangan evakuasi korban dari layar kaca.
“Tidak ada televisi untuk terus dipantau oleh keluarga korban yang menunggu disini. Pusat untuk mendapatkan inÂformasi juga saya lihat belum ada disini,†tegasnya.
Pengamatan Rakyat MerdeÂka, di dalam ruangan yang diÂjaÂdikan Crisis Centre memang tak ada satu pun pesawat teleÂvisi. Keluarga korban yang umumnya menunggu di dekat tempat pengambilan bagasi hanya bisa memantau informasi melalui internet dari telepon genggam yang dibawanya atau keluarganya. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.