“Pemerintah harus bersikap tegas. Sebab, mereka menyeruÂkan diadakannya referendum di Papua dan mengatakan PenenÂtuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 tidak sah,†tegas Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut Hasanuddin, tindakan IPWP tidak bijak. Sebab, tuntuÂtannya itu masuk ranah politik. Tidak boleh pihak asing menÂcampuri urusan dalam negeri Indonesia.
Pepera tahun 1969, lanjutnya, bagi Indonesia sudah selesai. Sebab, telah disahkan PerserikaÂtan Bangsa-Bangsa.
Berikut kutipan selengkapnya;
Apa yang perlu dilakukan?
Pemerintah harus bersikap tegas. Ini persoalan internal IndoÂnesia. Lakukan protes. Sebab bila tidak diprotes, apa yang mereka lakukan dianggap benar.
Kami sebagai anggota parleÂmen Indonesia, tidak pernah menÂcampuri masalah Irlandia Utara. Kami sangat menghormati sikap negara lain.
Lagipula pemerintah tidak tinggal diam terhadap masalah di Papua.
Tapi harus lebih sigap lagi demi kepentingan masyarakat Papua.
Bagaimana bentuk protesÂnya, apa perlu disampaikan langÂsung ke parlemen Inggris?
Penyampaian protesnya dapat dilakukan lewat media massa. Soal apa perlu memanggil pihak Dubes Inggris, itu tergantung sikap pemerintah kita. Yang jelas, pihak KBRI di Inggris harus menjelaskan duduk persoalan di Papua kepada anggota parlemen Inggris yang mendukung reÂferendum.
Apa perlu melakukan opeÂrasi kontra intelijen?
Saya rasa tidak perlu dilakuÂkan. Dekati saja anggota parleÂmen Inggris itu. Lalu jelaskan situasi sebenarnya di Papua. Kita tidak perlu menutup-nutupi perÂmasalahan dan segera mencari solusinya.
Kenapa sih masalah ini tak kunÂjung selesai?
Beberapa waktu lalu, LIPI meÂnyampaikan empat poin substanÂsial yang menjadi maÂsalah di Papua. Pertama, adanya marjiÂnaliÂsasi dan diskriminasi terÂhaÂdap penÂduduk asli Papua, baik secara langÂsung atau tidak langÂsung. Kedua, kegagalan pemerinÂtah daÂlam menjalankan Otonomi KhuÂsus (Otsus), terutama keÂgagaÂlan di bidang ekonomi, penÂdidikan, dan kesehatan.
Ketiga, adanya perbedaan perÂsepsi mengenai sejarah tanah Papua. Padahal keberadaan Papua di Indonesia sudah final di mata dunia internasional. KeÂempat, masih adanya trauma bagi maÂsyarakat Papua terhadap kekeraÂsan yang dilakukan tentara di masa orde baru. Misalnya Operasi Sadar, Operasi Waspada, operasi Baratayudha, Operasi Tumpas dan Operasi Sapu Bersih.
Pemerintah harus bagaiÂmana?
Pemerintah pusat harus duduk bersama dengan tokoh masyaraÂkat Papua untuk mengadakan dialog.
Menyelesaikan masalah jangan menggunakan kekerasan termaÂsuk menggunakan operasi militer.
Dalam hal ini, kedua belah piÂhak (OPM dan TNI) harus cooÂling down. Jangan sampai kontak senjata.
Selain itu, kalau perlu kita meÂlakukan revisi undang-undang otonomi khusus. Bentunya seÂperti apa nanti kita pikirkan, yang jelas kerangkanya tidak keluar dari konsep NKRI.
Bagaimana dengan anggaran yang sering bocor?
Tentu kita harus memperbaiki struktur pemerintahan di sana. Sebab, sejak diberlakukannya Otsus, dana yang diturunkan sekitar Rp 21 triliun.
Dana itu tidak menghasilkan apa-apa karena dari pemeriksaan BPK tahun 2010, sebesar Rp 4,12 triliun dana otsus menguap tidak jelas. Untuk itu, pemerintah pusat harus mengawasi penggunaan dana tersebut secara ketat. [rm]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: