Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jamkesda Habis, Kesulitan Tanggung Biaya Pengobatan

Satu Keluarga di Depok Meninggal Karena HIV

Kamis, 30 Juni 2011, 06:35 WIB
Jamkesda Habis, Kesulitan Tanggung Biaya Pengobatan
RMOL. Bocah perempuan itu asyik bermain bersama teman sebayanya. Ia berlarian ke sana ke mari tak kenal lelah. Sesekali terdengar gelak tawanya saat anak-anak bercanda.

Fisik Zh tampak sehat. Raut wajahnya juga terlihat riang. Pa­dahal, bocah enam tahun itu me­ngidap HIV/AIDS. Penyakit itu jadi momok karena belum dite­mukan obatnya.

Penyakit itulah yang telah merenggut ayah, ibu dan kakak Zh. Lantaran sebatang kara, ia diasuh kakek-neneknya.

Rakyat Merdeka mengunjungi rumah kakek Zh di Jalan Remaja, Kelurahan Mampang, Pancoran Mas, Depok.

Seorang wanita berusia baya menyambut. Mengenakan keru­dung hitam, wanita ini mengaku biasa dipanggil Nyai Manih. Dia­lah nenek Zh.

Nyai Manih yang berusia 63 tahun tinggal di sebuah rumah sederhana. Rumah kecil itu meru­pakan hasil jerih payah suaminya. Sebuah sofa busa usang dile­tak­kan di teras untuk bersantai.

Ia mempersilakan masuk ke dalam rumah. Beberapa bingkai foto dipasang rapi di dinding ru­mah. Terlihat foto Nyai Manih ke­tika masih gadis dan foto terkini. Juga dipajang foto dirinya dan suami. Di antaranya foto-foto itu ter­se­lip foto balita. Menurut Nyai Ma­nif, itu foto Zh ketika masih bayi.

Mengetahui kedatangan tamu, Zh mengendap-endap keluar kamar. Ia berlindung di balik punggung neneknya. Sikapnya malu-malu. Ketika disapa, ia lari ke kamar

Nyai Manih membuka cerita pedih yang merenggut nyawa anak perempuan, menantu, dan cucunya beberapa tahun silam. Semuanya karena terinfeksi HIV. Zh pun “mewarisi” penyakit itu orangtuanya.

Saat usia tiga tahun, Zh terse­rang panas tinggi disertai pusing dan susah bernafas. Mulutnya pun berjamur. Ia selalu muntah setelah minum susu.

Dalam semalam, Zh dua kali muntah dan buang air besar. Ia me­ngeluh sakit di bagian pantat ketika buang air. Nyeri juga di­ra­sakan di bagian lutut. Bintik-bin­tik merah bermunculan di sekujur tubuhnya.

Zh lalu dilarikan ke Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan. Setelah dilakukan cek darah, Zh diketahui positif mengidap HIV. “Saya panik karena katanya itu penyakit jelek. Belum ada obat­nya,” kata Nyai Manih.

“Ketika dokter menyatakan penyakit itu saya sangat sedih. Alhamdulillah mental anak itu kuat,” lanjutnya. Zh diketahui mengidap HIV tak lama setelah ibunya Mr, meninggal pada 2009. Ayahnya, Rd lebih dulu me­ning­gal pada 2005.

“Ayahnya meninggal saat Zh umur enam bulan. Tidak lama ke­mudian, kakaknya juga me­ning­gal. Setelah itu baru ibunya yang meninggal,” tutur Nyai Ma­nih. Mt, kakak Zh meng­hem­buskan nafas ketika masih ber­usia 2,5 tahun.

Menurut Nyai Manih, penyakit yang merenggut keluarganya berawal dari kebiasaan Rd meng­konsumsi narkoba. Ia pecandu barang haram itu.

“Orangnya memang suka ma­buk-mabukan dan pakai narkoba yang kaya suntik gitu. Ibunya Zh ketularan dari suaminya,” kata Nyai Manih. Mr lalu menularkan HIV kepada dua anak yang di­kandungnya, Mt dan Zh.

Nyai Manih menuturkan, kerap muncul putih-putih di mulut dan lidah Zh. Untuk mengobatinya, Zh menjalani penguapan.

Setelah diuap, menurut Nyai Manit putih-putih di mulut itu hilang. “Cuma saya kasian kalau dia diuap, soalnya bisa sampai lima jam,” katanya.

Biaya pengobatan Zh per bulan mencapai Rp 4,7 juta. Keluarga hanya menanggung Rp 700 ribu. “Biar cuma Rp 700 ribu, tapi buat orang kecil kayak kita itu udah besar sekali,” ujarnya.

Nyai Manih mengatakan sua­mi­nya hanya buruh tani. Peng­ha­silannya tak cukup untuk mem­biayai keperluan sehari-hari. “Tapi biar nggak ada harus kita usahain demi Zh. Sebab dia cuma punya kakek dan neneknya,” ujarnya.

Bebannya sedikit berkurang ke­tika mendapat bantuan pengo­batan Zh dari Pemerintah Kota Depok melalui Jaminan Kese­hatan Daerah (Jamkesda). Na­mun bantuan itu hanya berlaku enam bulan. “Masa berlakunya sudah habis, sekarang harus berobat pakai uang sendiri,” kata Nyai Manih.

Ia berharap cucunya dapat ber­tahan hidup lama. Ia juga ber­harap uluran tangan dari donatur untuk membiayai pengobatan Zh. “Dia itu anak yang periang, sekarang aja agak malu-malu. Tiga bulan belakangan kondi­si­nya jauh lebih sehat. Berat ba­dannya sudah naik 4 kilo dari 12 kilo,” ujarnya. Walaupun bo­bot­nya 16 kilogram, postur Zh masih lebih kecil dibanding anak-anak seusianya.

Minder Gampang Sakit

Selama ini, Zh kerap sakit. Ia pun sering menanyakan pe­nyakit yang diderita. Tapi, Nyai Manih menutup rapat-rapat mulutnya mengenai penyakit yang diidap cucunya. Juga me­ngenai penye­bab kematian ke­dua orangtua dan kakak Zh.

Menurut Nyai Manih, Zh kerap bertanya kepada dirinya setelah keduanya orangtuanya me­ning­gal. Nyai Manih sedih bila Zh bertanya keberadaan orang­tuanya.

“Saya selalu jelaskan kenapa orangtuanya meninggal. Tapi bukan karena HIV,” katanya de­ngan suara bergetar.

“Sampai sekarang dia belum tahu. Nanti kalau sudah ber­umur 10 tahun saya akan ceri­ta­kan. Kadang-kadang dia terlihat min­der karena gampang sakit, diare dan lain-lain,” kata Nyai Manih.

Nenek berusia 63 tahun ini ke­rap bersedih Zh jadi pergun­jingan masyarakat. “Dulu ba­nyak yang bisik-bisik Zh kena HIV. Lidah dan bibirnya ber­ja­mur,” katanya. Namun, lambat laun pergun­cingan mengenai Zh berkurang.

Nyai Manih bersyukur para tetangga tak mengucilkan Zh setelah tahu penyakitnya. Para tetangga tetap membiarkan anak-anaknya bermain dengan Zh di sekolah mau­pun lingku­ngan rumah.

Divonis Usianya Hanya Sampai Sembilan Tahun

Tak jauh dari kediaman Nyai Manih, tinggal satu keluarga yang juga terjangkit HIV. Zb, 32 tahun, ibu satu anak ini me­warisi virus itu dari suaminya, Sg yang telah meninggal dunia.

Sebelum menikah dengan Zb, Sg diketahui sebagai pecandu putaw. Diduga, ia terjangkit HIV karena kerap memakai jarum suntik bersama-sama.

“Sebelumnya saya sama se­kali tidak tahu suami saya kena HIV,” kata Zb. Sg meng­hem­buskan nafas terakhir di usia 33 tahun setelah sempat dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangun­kusumo, Jakarta.

Menurut Zb, keluarga be­sarnya menaruh curiga atas kematian Sg. Tak tahan te­rus didesak Zb lalu men­ce­rita­kan penyebab kematian sua­minya. Termasuk dirinya yang ikut terjangkit HIV

Zb mengetahui dirinya me­ngidap HIV setelah meme­rik­sakan diri ke puskesmas. Saat itu dia tengah mengandung enam bulan. “Saya dinyatakan positif. Wa­laupun kaget, saya pasrah saja.”

Rf, anak Zb juga diketahui po­sitif mengidap HIV. Bocah laki-laki itu kini berusia 4 tahun. Ia tak tumbuh seperti balita se­usianya. Menurut Zb, anaknya selalu menangis setiap malam karena sakit di bagian perut.

“Anak saya tidak bisa me­ngobrol seperti anak kecil se­usia­nya. Dia yang dulu gemuk, sekarang terlihat drop dan kurus dengan perut buncit,” ujar Zb.
Dokter yang menangani me­nyatakan bahwa HIV yang me­ngerogoti tubuh Rf sudah men­capai Stadium 4. Rf diper­kirakan hanya bertahan sampai usia 8-9 tahun saja.

“Saya masih mencari uang un­tuk berobat. Kata dokter dia hanya bisa bertahan 4-5 tahun. Sa­ya Bismilllah saja, banyak doa saja. Saya sedih dan me­nangis kenapa anak saya yang kena,” ucapnya dengan nada haru.

Sepeninggal suaminya, Zb menafkahi keluarganya menjadi pembantu rumah tangga harian di Klender, Ja­karta Timur.

“Ini jalan satu-satunya men­da­patkan uang demi membeli susu dan membiayai pengo­ba­tan anak. Majikan tidak tahu ka­lau saya dan anak saya memiliki penyakit HIV. Saya masih seperti layaknya wanita normal saja,” ujar Zb.

Zb sebenarnya ingin menu­tupi penyakit yang diidapnya. Tapi wawancara dengan salah satu televisi swasta pada 2009 telah membongkar statusnya. “Semua tetangga nonton. Saya dicap orang berpenyakit HIV. Saya langsung lemas. Tapi saya sekarang pasrah,” katanya.

Ia tidak bisa membendung rasa sedihnya ketika disindir beberapa tetangganya mengenai penyakitnya. Namun, dia hanya pasrah menerima takdir terse­but. “Itu sudah risiko, saya dan anak juga tidak ingin menderita penyakit itu,” tandas Zb.

Beberapa waktu lalu Zb dan anaknya sempat dikabarkan me­ninggal. Zb kaget men­de­ngar kabar itu. “Sedih dengar berita itu. Banyak yang bilang saya meninggal. Saya pasrah dan ikhlas saja dengan takdir ini. Sekarang yang saya pikir­kan bagaimana merawat Rf sebaik mungkin,” ujarnya.

Ketika libur kerja, Zb meng­habiskan waktu bersama Rf. Dia kerap meneteskan air mata ketika menatap sang buah hati. “Saya sering melihat Rf lebih dekat. Kenapa harus Rf yang menderita dengan penyakit itu. Dia tidak punya salah apa-apa, dia masih kecil. Saya hanya ber­harap dengan doa, ada ke­kuatan agar dia bisa sembuh,” berucap sambil me­neteskan air mata.

“Saya orang susah. Saya ha­nya bisa berharap kalau bantuan pengobatan itu datang ke anak saja, saya sudah bersyukur,” tutup Zb.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA