Fisik Zh tampak sehat. Raut wajahnya juga terlihat riang. PaÂdahal, bocah enam tahun itu meÂngidap HIV/AIDS. Penyakit itu jadi momok karena belum diteÂmukan obatnya.
Penyakit itulah yang telah merenggut ayah, ibu dan kakak Zh. Lantaran sebatang kara, ia diasuh kakek-neneknya.
Rakyat Merdeka mengunjungi rumah kakek Zh di Jalan Remaja, Kelurahan Mampang, Pancoran Mas, Depok.
Seorang wanita berusia baya menyambut. Mengenakan keruÂdung hitam, wanita ini mengaku biasa dipanggil Nyai Manih. DiaÂlah nenek Zh.
Nyai Manih yang berusia 63 tahun tinggal di sebuah rumah sederhana. Rumah kecil itu meruÂpakan hasil jerih payah suaminya. Sebuah sofa busa usang dileÂtakÂkan di teras untuk bersantai.
Ia mempersilakan masuk ke dalam rumah. Beberapa bingkai foto dipasang rapi di dinding ruÂmah. Terlihat foto Nyai Manih keÂtika masih gadis dan foto terkini. Juga dipajang foto dirinya dan suami. Di antaranya foto-foto itu terÂseÂlip foto balita. Menurut Nyai MaÂnif, itu foto Zh ketika masih bayi.
Mengetahui kedatangan tamu, Zh mengendap-endap keluar kamar. Ia berlindung di balik punggung neneknya. Sikapnya malu-malu. Ketika disapa, ia lari ke kamar
Nyai Manih membuka cerita pedih yang merenggut nyawa anak perempuan, menantu, dan cucunya beberapa tahun silam. Semuanya karena terinfeksi HIV. Zh pun “mewarisi†penyakit itu orangtuanya.
Saat usia tiga tahun, Zh terseÂrang panas tinggi disertai pusing dan susah bernafas. Mulutnya pun berjamur. Ia selalu muntah setelah minum susu.
Dalam semalam, Zh dua kali muntah dan buang air besar. Ia meÂngeluh sakit di bagian pantat ketika buang air. Nyeri juga diÂraÂsakan di bagian lutut. Bintik-binÂtik merah bermunculan di sekujur tubuhnya.
Zh lalu dilarikan ke Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan. Setelah dilakukan cek darah, Zh diketahui positif mengidap HIV. “Saya panik karena katanya itu penyakit jelek. Belum ada obatÂnya,†kata Nyai Manih.
“Ketika dokter menyatakan penyakit itu saya sangat sedih.
Alhamdulillah mental anak itu kuat,†lanjutnya. Zh diketahui mengidap HIV tak lama setelah ibunya Mr, meninggal pada 2009. Ayahnya, Rd lebih dulu meÂningÂgal pada 2005.
“Ayahnya meninggal saat Zh umur enam bulan. Tidak lama keÂmudian, kakaknya juga meÂningÂgal. Setelah itu baru ibunya yang meninggal,†tutur Nyai MaÂnih. Mt, kakak Zh mengÂhemÂbuskan nafas ketika masih berÂusia 2,5 tahun.
Menurut Nyai Manih, penyakit yang merenggut keluarganya berawal dari kebiasaan Rd mengÂkonsumsi narkoba. Ia pecandu barang haram itu.
“Orangnya memang suka maÂbuk-mabukan dan pakai narkoba yang kaya suntik gitu. Ibunya Zh ketularan dari suaminya,†kata Nyai Manih. Mr lalu menularkan HIV kepada dua anak yang diÂkandungnya, Mt dan Zh.
Nyai Manih menuturkan, kerap muncul putih-putih di mulut dan lidah Zh. Untuk mengobatinya, Zh menjalani penguapan.
Setelah diuap, menurut Nyai Manit putih-putih di mulut itu hilang. “Cuma saya kasian kalau dia diuap, soalnya bisa sampai lima jam,†katanya.
Biaya pengobatan Zh per bulan mencapai Rp 4,7 juta. Keluarga hanya menanggung Rp 700 ribu. “Biar cuma Rp 700 ribu, tapi buat orang kecil kayak kita itu udah besar sekali,†ujarnya.
Nyai Manih mengatakan suaÂmiÂnya hanya buruh tani. PengÂhaÂsilannya tak cukup untuk memÂbiayai keperluan sehari-hari. “Tapi biar nggak ada harus kita usahain demi Zh. Sebab dia cuma punya kakek dan neneknya,†ujarnya.
Bebannya sedikit berkurang keÂtika mendapat bantuan pengoÂbatan Zh dari Pemerintah Kota Depok melalui Jaminan KeseÂhatan Daerah (Jamkesda). NaÂmun bantuan itu hanya berlaku enam bulan. “Masa berlakunya sudah habis, sekarang harus berobat pakai uang sendiri,†kata Nyai Manih.
Ia berharap cucunya dapat berÂtahan hidup lama. Ia juga berÂharap uluran tangan dari donatur untuk membiayai pengobatan Zh. “Dia itu anak yang periang, sekarang aja agak malu-malu. Tiga bulan belakangan kondiÂsiÂnya jauh lebih sehat. Berat baÂdannya sudah naik 4 kilo dari 12 kilo,†ujarnya. Walaupun boÂbotÂnya 16 kilogram, postur Zh masih lebih kecil dibanding anak-anak seusianya.
Minder Gampang SakitSelama ini, Zh kerap sakit. Ia pun sering menanyakan peÂnyakit yang diderita. Tapi, Nyai Manih menutup rapat-rapat mulutnya mengenai penyakit yang diidap cucunya. Juga meÂngenai penyeÂbab kematian keÂdua orangtua dan kakak Zh.
Menurut Nyai Manih, Zh kerap bertanya kepada dirinya setelah keduanya orangtuanya meÂningÂgal. Nyai Manih sedih bila Zh bertanya keberadaan orangÂtuanya.
“Saya selalu jelaskan kenapa orangtuanya meninggal. Tapi bukan karena HIV,†katanya deÂngan suara bergetar.
“Sampai sekarang dia belum tahu. Nanti kalau sudah berÂumur 10 tahun saya akan ceriÂtaÂkan. Kadang-kadang dia terlihat minÂder karena gampang sakit, diare dan lain-lain,†kata Nyai Manih.
Nenek berusia 63 tahun ini keÂrap bersedih Zh jadi pergunÂjingan masyarakat. “Dulu baÂnyak yang bisik-bisik Zh kena HIV. Lidah dan bibirnya berÂjaÂmur,†katanya. Namun, lambat laun pergunÂcingan mengenai Zh berkurang.
Nyai Manih bersyukur para tetangga tak mengucilkan Zh setelah tahu penyakitnya. Para tetangga tetap membiarkan anak-anaknya bermain dengan Zh di sekolah mauÂpun lingkuÂngan rumah.
Divonis Usianya Hanya Sampai Sembilan TahunTak jauh dari kediaman Nyai Manih, tinggal satu keluarga yang juga terjangkit HIV. Zb, 32 tahun, ibu satu anak ini meÂwarisi virus itu dari suaminya, Sg yang telah meninggal dunia.
Sebelum menikah dengan Zb, Sg diketahui sebagai pecandu putaw. Diduga, ia terjangkit HIV karena kerap memakai jarum suntik bersama-sama.
“Sebelumnya saya sama seÂkali tidak tahu suami saya kena HIV,†kata Zb. Sg mengÂhemÂbuskan nafas terakhir di usia 33 tahun setelah sempat dirawat di Rumah Sakit Cipto MangunÂkusumo, Jakarta.
Menurut Zb, keluarga beÂsarnya menaruh curiga atas kematian Sg. Tak tahan teÂrus didesak Zb lalu menÂceÂritaÂkan penyebab kematian suaÂminya. Termasuk dirinya yang ikut terjangkit HIV
Zb mengetahui dirinya meÂngidap HIV setelah memeÂrikÂsakan diri ke puskesmas. Saat itu dia tengah mengandung enam bulan. “Saya dinyatakan positif. WaÂlaupun kaget, saya pasrah saja.â€
Rf, anak Zb juga diketahui poÂsitif mengidap HIV. Bocah laki-laki itu kini berusia 4 tahun. Ia tak tumbuh seperti balita seÂusianya. Menurut Zb, anaknya selalu menangis setiap malam karena sakit di bagian perut.
“Anak saya tidak bisa meÂngobrol seperti anak kecil seÂusiaÂnya. Dia yang dulu gemuk, sekarang terlihat drop dan kurus dengan perut buncit,†ujar Zb.
Dokter yang menangani meÂnyatakan bahwa HIV yang meÂngerogoti tubuh Rf sudah menÂcapai Stadium 4. Rf diperÂkirakan hanya bertahan sampai usia 8-9 tahun saja.
“Saya masih mencari uang unÂtuk berobat. Kata dokter dia hanya bisa bertahan 4-5 tahun. SaÂya Bismilllah saja, banyak doa saja. Saya sedih dan meÂnangis kenapa anak saya yang kena,†ucapnya dengan nada haru.
Sepeninggal suaminya, Zb menafkahi keluarganya menjadi pembantu rumah tangga harian di Klender, JaÂkarta Timur.
“Ini jalan satu-satunya menÂdaÂpatkan uang demi membeli susu dan membiayai pengoÂbaÂtan anak. Majikan tidak tahu kaÂlau saya dan anak saya memiliki penyakit HIV. Saya masih seperti layaknya wanita normal saja,†ujar Zb.
Zb sebenarnya ingin menuÂtupi penyakit yang diidapnya. Tapi wawancara dengan salah satu televisi swasta pada 2009 telah membongkar statusnya. “Semua tetangga nonton. Saya dicap orang berpenyakit HIV. Saya langsung lemas. Tapi saya sekarang pasrah,†katanya.
Ia tidak bisa membendung rasa sedihnya ketika disindir beberapa tetangganya mengenai penyakitnya. Namun, dia hanya pasrah menerima takdir terseÂbut. “Itu sudah risiko, saya dan anak juga tidak ingin menderita penyakit itu,†tandas Zb.
Beberapa waktu lalu Zb dan anaknya sempat dikabarkan meÂninggal. Zb kaget menÂdeÂngar kabar itu. “Sedih dengar berita itu. Banyak yang bilang saya meninggal. Saya pasrah dan ikhlas saja dengan takdir ini. Sekarang yang saya pikirÂkan bagaimana merawat Rf sebaik mungkin,†ujarnya.
Ketika libur kerja, Zb mengÂhabiskan waktu bersama Rf. Dia kerap meneteskan air mata ketika menatap sang buah hati. “Saya sering melihat Rf lebih dekat. Kenapa harus Rf yang menderita dengan penyakit itu. Dia tidak punya salah apa-apa, dia masih kecil. Saya hanya berÂharap dengan doa, ada keÂkuatan agar dia bisa sembuh,†berucap sambil meÂneteskan air mata.
“Saya orang susah. Saya haÂnya bisa berharap kalau bantuan pengobatan itu datang ke anak saja, saya sudah bersyukur,†tutup Zb.
[rm]