WAWANCARA

Adhyaksa Dault: Kompetisi Olahraga Kampus Perlu Digalakan Kembali

Senin, 16 Mei 2011, 06:31 WIB
Adhyaksa Dault: Kompetisi Olahraga Kampus Perlu Digalakan Kembali
Adhyaksa Dault
RMOL. Mahasiswa yang melakukan pergerakan hendaknya dirangkul dan dilakukan pendekatan untuk meminimalisir bahaya paham Negara Islam Indonesia (NII) dan terorisme.

“Pemuda adalah salah satu pilar dalam melakukan refor­masi jati diri bangsa. Makanya perlu diperhatikan. Jangan sam­pai diracuni pemikiran sesat,” kata bekas Menpora, Adhyaksa Dault.

Berikut kutipan selengkapnya:
 
Berarti Kemenpora harus turun tangan?
Saya mengharapkan tidak ha­nya Menteri Kepemudaan saja yang turun, tetapi dikeroyokin oleh Ke­mendiknas. Sehingga di­perlukan program-program yang intensif-integral, karena aliran-aliran seperti ini berbahaya. Se­lain itu harusnya ada kerja sama an­tara Kemnag (Kemen­terian Aga­ma), Kemen­diknas, Kemen­pora dan Kepoli­sian. Ini bertu­juan untuk membuat program pem­berdayaan pemuda secara ke­seluruhan.

Olahraga termasuk di da­lamnya?
Olahraga itu solusi bagi per­kem­bangan pemuda dan solusi bagi daerah konflik. Seperti pe­nga­­laman saya di Papua, saya kirim­kan banyak bola voli dan bola sepak. Lalu bikin saja Men­pora Cup atau Kapolda Cup. Usa­ha itu cukup efektif untuk me­redam gejolak sosial di ma­syarakat.

Sebenarnya usaha meredam ideologi yang menyimpang di kalangan pemuda itu gampang. Jangan anak muda kita larut di depan televisi, melihat ketidaka­dilan di Irak dan  Afganistan. Saat menemui persoalan di rumahnya dan tidak menemukan solusi. Di situ masuklah ajaran menyim­pang. Itu langsung kena.
 
Pemberdayaan pemuda sa­ngat penting dong?
Ya. Lakukan pemberdayaan pe­muda. Misalnya saja mem­bang­kitkan kembali remaja-remaja masjid. Dulu ada pertan­dingan antar remaja masjid dan kajian-kajian. Sekarang orang semakin terkotak-kotak.

Selain itu, sarana dan pra­sa­rana olahraga juga kurang. Mi­sal­nya ge­langgang olahraga dan ge­langgang remaja, itu sudah mulai sedikit. Jadi tempat ber­kum­pul­nya para pemuda sudah tidak ada. Lalu kompetisi-kom­petisi olah­raga di kampus perlu digalakkan kembali.    

Polisi berencana masuk kam­pus untuk mencegah berkem­bangnya NII?
Saya tidak se­tuju dengan ren­­cana itu. Kecuali tidak secara te­rang-terangan, tapi melalui ja­ringannya. Karena ka­lau lang­sung ma­suk bisa menim­bulkan kecuri­gaan dari masyarakat. Ka­lau itu terjadi, dikhawatirkan se­perti pe­nembakan misterius.

Bukankah dengan cara itu bisa meredam mahasiswa ra­dikal atau sesat?
Saya rasa kita bisa melihat  ma­ha­siswa tersebut sesat dari empat in­dikator. Pertama, penga­jiannya cenderung ekslusif.  Ke­dua selalu punya tokoh sentral. Ketiga, tidak bisa menerima orang di luar ke­lompoknya. Ke­empat, yang diajar­kan berten­tangan dengan Islam. Apabila dari empat kriteria itu muncul, mahasiswa itu patut dicurigai.

Bagaimana dengan pendidi­kan Pancasila dihilangkan di sekolah?
Sungguh, saya sangat kha­watir dengan pendidikan Panca­sila dihilangkan. Apalagi seka­rang ini pendidikan agama cuma dua jam seminggu. Mau kemana arah bangsa ini. Kalau dulu kita dapat pen­didikan Pancasila dan budi­pekerti. Sebab, Pancasila itu akar ideologi bangsa. Pemuda Indo­nesia harus mengerti Pan­casila dan butir-butirnya di­amalkan.
 
Anda optimistis dengan cara itu bisa menumbuhkan sema­ngat nasionalisme?
Ya. Saya berharap dengan me­numbuhkan kembali semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan pemuda. Kalau ini ti­dak bisa kita tumbuhkan, bangsa ini terancam dalam bahaya. Sebab, paham NII tidak sesuai dengan kesepakatan kita semua. Apalagi, menggunakan nama agama, tapi kelakuannya men­culik orang dan membohongi orang tua. Itu kan tidak sesuai dengan ajaran aga­ma.

Bagaimana Anda melihat di kalangan politisi?
Kita harus menciptakan poli­tisi-politisi yang negarawan de­ngan akarnya Pancasila.

Politisi yang negarawan, men­jadikan dirinya pelayan bagi bangsa dan negaranya.   [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA