WAWANCARA

Yasti Soepredjo Mokoagow: Kami Segera Menelusuri Pembelian Merpati MA 60

Minggu, 15 Mei 2011, 06:10 WIB
Yasti Soepredjo Mokoagow: Kami Segera Menelusuri Pembelian Merpati MA 60
Yasti Soepredjo Mokoagow
RMOL. Komisi V DPR segera menelusuri apakah layak terbang pesawat Merpati Nusantara MA-60 yang jatuh di perairan dekat landas pacu Bandara Kaimana, Sabtu (7/5) lalu.
 
Dirjen Perhubungan Udara memberikan sertifikasi layak terbang. Makanya kami mau me­minta keterangan kepada Dirjen Perhubungan Udara dan pim­pinan PT Merpati Nusantara, Rabu (18/5),î ujar Ketua Komisi V DPR, Yasti Soepredjo Mo­koagow, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, belum lama ini.

Berikut kutipan selengkapnya;
 
Siapa yang bertanggung ja­wab atas kecelakaan pesawat MA-60?
Kita harus mendudukkan kon­teks pembelian pesawat MA-60 ini, yakni G to G (government to government) dan sifatnya loan agreement. Setelah itu baru kita lihat siapa yang bertanggung jawab. Selain itu kita lihat proses itu yang melibatkan siapa saja.

Lho, bukankah pembelian itu berdasarkan B to B?
Proses pembeliannya dimulai dari B to B (business to business), sudah terjadi sejak tahun 2005. Saat itu sudah ada pembicaraan. Tapi kan pesawat ini loan sifatnya dan pembiayaannya bersumber dari loan, itu berarti G to G. Sebab apabila pembelian kan bisa B to G atau bisa G to B, tapi ka­rena loan berarti ada kesepakatan loan-nya dengan Bank of China. Kalau loan sifatnya harus melalui Bapenas, Kementerian Keuang­an, dan Kementerian BUMN.
 
Bagaimana peran Kemen­terian Perhubungan dalam pro­ses pembelian pesawat?
Kementerian Perhubungan tidak ada kaitannya dalam proses itu. Merpati itu operator karena di bawah Meneg BUMN. Kalau pembelian melibatkan Kemen­hub tidak make sense. Apalagi loan agreement itu sudah melalui Bapenas dan Menkeu. Jadi me­lalui kedua lembaga tersebut lalu ditanyakan kepada pihak Merpati dan Kemeneg BUMN, mau atau tidak menerima pesa­wat MA-60 tersebut.

Sedangkan  Kementerian Per­hubungan hanya memberikan perizinan saja ketika pesawat itu sampai di Indonesia. Kemudian pesawat tersebut diberi izin ter­bang. Tentunya terlebih dulu dicek apakah layak terbang atau tidak.
 
Bagaimana dengan pengge­lembungan dana pembelian pe­sawat tersebut?
Saya mendengar ada dugaan penggelembungan dana, dari  11,2 juta dolar AS menjadi  14,5 juta dolar AS. Tapi lebih jelasnya tanyakan ke PT Merpati, karena mereka yang paling tahu. Tapi kami segera menelusuri, apakah benar ada penggelembungan itu atau tidak.

Apakah ada keinginan mem­bujat Panja?
Saat ini kita sedang menunggu hasil dari Komite Nasional Ke­selamtan Transportasi terkait musibah tersebut, karena ini bisa 3 kemungkinan; faktor cuaca, faktor teknis, atau memang karena human error. Kita tunggu hasil KNKT dulu, baru nanti kami akan putuskan langkah selanjutnya.
 
Tapi kecelakan pesawat terus terjadi, ini bagaimana?
Apabila ini karena cuaca buruk, ini tidak bisa kita lawan. Kami misalnya mendorong BMKG lebih tegas untuk me­merintahkan pesawat tidak boleh terbang karena cuaca buruk. Kalau human error harus ada perbaikan sumber daya manusia. Kalau itu menyangkut teknis pesawat, harus dikaji lagi.
 
Dikaji seperti apa?
Apakah pesawat ini layak di­terbangkan di wilayah Indonesia atau memang ada pembatasan. Menurut saya banyak faktor teknis pesawat, seperti faktor usia pesawat yang sudah tua. Misal­nya Boeing 737-200 sudah dila­rang terbang di wilayah Indo­ne­sia, itu termasuk dalam kajian yang dilakukan karena dapat berbahaya akibat cuaca ekstrim.
 
Ada kemungkinan pesawat dari China dilarang terbang?
Saya tidak mau berandai-andai, karena saya belum melihat kon­disi pesawat MA-60 yang terbang di Indonesia. Setelah kami meli­hat kondisinya, nanti baru kita bisa memberikan komentar, apa­kah pesawat itu masih boleh terbang atau tidak.  [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA