WAWANCARA

Yorrys Raweyai: Konstruksi Kebangsaan Lemah Gerakan NII Muncul Kembali

Selasa, 10 Mei 2011, 07:09 WIB
Yorrys Raweyai: Konstruksi Kebangsaan Lemah Gerakan NII Muncul Kembali
Yorrys Raweyai
RMOL. Maraknya pemberitaan seputar aktivitas Negara Islam Indonesia (NII) Komandemen Wilayah IX seakan membuka kembali lembar persoalan kebangsaan dan keindonesiaan yang tidak lepas dari ancaman ideologis.

Seiring dengan aksi teror yang bermunculan di berbagai wilayah dengan beragam modus operandi, sepintas nampak mengurai dan menyimpul benang kusut akar persoalan terorisme dan keke­rasan yang terkait dengan bangu­nan karakter kebangsaan yang belum sepenuhnya rampung se­ba­gai prasyarat membangun Ne­gara Kesatuan Republik Indone­sia (NKRI).

Demikian disampaikan ang­gota Komisi I DPR, Yorrys Ra­we­yai, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin, menanggapi carut marutnya persoalan ke­­bang­saan.

“Karakter kebangsaan bertu­juan untuk memupuk keutuhan dan integritas negara dan bangsa Indonesia. Atas dasar itu, Indone­sia menetapkan Pancasila sebagai ideologi nasional, ideologi yang di­gali dari rahim tradisi dan iden­titas keindonesiaan yang dipan­dang bisa diterima semua pihak,” ungkap politisi Partai Golkar ini.

Berikut kutipan selengkapnya;

Bagaimana Anda melihat mun­cul lagi gerakan NII?
Sungguh disayangkan, meng­ingat pembangunan ka­rakter ke­bangsaan bertujuan memu­puk keutuhan dan integritas ne­gara dan bangsa. Di awal masa kemer­dekaan, Soekarno menya­tu­kan dua elemen penting, yakni nation dan state, sebagai jalan yang di­rintis untuk mengolah kea­neka­ragaman budaya dan agama men­jadi kekuatan besar yang meno­pang eksistensi negara.

Atas dasar itu, negara kebang­saan Indonesia menetapkan Pan­casila sebagai ideologi nasional. Sebuah ideologi yang digali dari rahim tradisi dan identitas kein­donesiaan yang dipandang bisa diterima oleh semua pihak.

Apa semangat nasionalisme itu masih terpupuk?
Fakta historis terkait gagasan nasionalisme yang digaungkan oleh para pendiri republik di awal masa revolusi kemerdekaan, te­lah mampu menghasilkan proto­type sebuah negara yang menya­tu­kan aneka ragam perbedaan di bawah satu kesatuan. Dua fase nasionalisme yang berlangsung kala itu. Pertama, nasionalisme kul­tural yang menyatukan se­mangat kaum muda dengan latar-belakang sosial dan budaya yang ber­beda-beda. Kedua, nasionalis­me politik yang menyatukan ke­pen­tingan politik demi memba­ngun kesatuan visi dan misi dan meratakan jalan bagi pembentu­kan negara kebangsaan Indone­sia, telah mengisi corak dan tipi­kal republik hingga saat ini.    

Munculnya NII bisa mende­gra­dasi apa yang sudah dica­pai?
Aksi teror yang dilanjutkan dengan kemunculan kembali aktivitas NII, mendegradasi ber­bagai kemajuan dan kedewasaan yang telah dicapai. Aneka ragam perbedaan seakan luruh dari arah tujuannya sebagai pemersatu bangsa, menjadi kerikil-kerikil tajam yang setiap saat berpotensi menggerus persatuan dan kesa­tuan bangsa.

Kondisi ini tidak hanya mem­per­tanyakan kembali tentang eksistensi nasionalisme yang te­lah dibangun dengan serangkaian pengorbanan di masa lalu. Tapi juga menguji kembali sejauh­mana nasionalisme tersebut ma­sih relevan untuk kita ajukan se­ba­gai solusi bagi persoalan bang­sa dan negara saat ini.

Bukankah empat pilar bang­sa bisa menghalau gerakan ini?
Respons publik terhadap aksi teror dan aktivitas NII senantiasa merujuk pada empat bangunan pilar kebangsaan, yakni Panca­sila, UUD 1945, NKRI dan bhi­neka tunggal ika. Degradasi nasio­nalisme adalah konsekuensi logis dari proses marginalisasi keempat pilar tersebut.

Analisa Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man (1992), cukup mene­gas­kan fenomena perubahan tersebut. Ideologi modernisasi dan deve­lopmentalism, secara de facto, menggantikan nasionalis­me kul­tural dan politik. Kebutu­han dan pertimbangan-pertim­bangan prag­matis yang hanya terfokus pada aspek pertumbuhan dan pening­katan ekonomi telah mengorban­kan sentimen nasiona­lis­me. Pada titik tertentu, bangu­nan dan karak­ter kebangsaan ti­dak lagi menjadi perhatian penting.

Kalau begini kondisinya, bisa membahayakan NKRI dong?
Pengabaian atas sentimen na­sionalisme memunculkan kons­truk­si karakter kebangsaan yang tidak lagi memiliki arah dan visi. Akibatnya, generasi bangsa cen­de­rung terhempas dalam 2 (dua) kutub yang sama-sama ekstrim, kutub liberal dan kutub radikal-fundamental. Uniknya, kedua kutub tersebut lebih digandrungi dan justru mendistorsi karakter kebangsaan.

Berarti ini  mengancam gene­rasi muda?
Ironisnya, pada kenyataannya kedua kutub tersebut mayoritas dihuni oleh generasi muda yang justru merupakan generasi poten­sial dalam meneruskan cita-cita kebangsaan dan keindonesiaan, sebagaimana halnya nasionalis­me masa lalu dibangkitkan dan digelorakan oleh kaum muda.

Kesuksesan nasionalisme yang digalang dan digerakkan oleh generasi muda masa lalu bisa di­nik­mati oleh generasi yang hidup saat ini. Karena itu, sulit memba­yangkan realitas generasi bangsa masa depan dengan cerminan 2 (dua) kutub yang digandrungi oleh generasi muda saat ini.

Apa gara-gara itu gampang se­kali dilakukan cuci otak?
Generasi yang hidup dengan budaya hedonistik dengan gene­rasi yang mudah diasupi dan di­cuci otaknya oleh ideologi-ideo­logi radikal. Imbasnya pun cukup membuat konsentrasi bangsa yang sedang berupaya memba­ngun kehidupan yang lebih baik men­jadi terganggu. Agenda pe­ngen­tasan kemiskinan, pencip­taan lapangan kerja untuk mengu­rangi jumlah pengangguran dan peningkatan kualitas pendidikan untuk memerangi kebodohan, pun seakan menjadi slogan di tengah kenyataan generasi muda yang larut dalam aktivitas yang destruktif.

Berarti ini kegagalan di du­nia pendidikan?
Bagaimana mungkin kita meng­­klaim kesuksesan capaian tujuan pendidikan nasional yang berhasil mengembangkan ke­mam­puan, membentuk watak serta peradaban bangsa yang ber­martabat, di tengah kenyataan ge­nerasi muda yang sedang mengi­dap demoralisasi.

Apalagi sekedar untuk mene­gaskan tentang manusia Indone­sia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan men­jadi warga negara yang demo­kratis serta bertanggung jawab. Di tengah kenyataan generasi muda yang mudah terprovokasi dan digiring sebuah gerakan yang justru bertentangan dengan sema­ngat ideologis dan kons­titusi.

Kenyataan ini membuktikan bahwa bangunan karakter ke­bang­saan kita, seperti yang per­nah ditunjukkan Soekarno dan generasi muda di awal masa revo­lusi kemerdekaan, membu­tuh­kan revitalisasi.

Maksudnya?
Revitalisasi tersebut sekaligus mengevaluasi pola penanganan fisik dan militeristik yang selama ini menjadi pilihan strategis da­lam memberantas aksi teror dan ideologi-ideologi radikal.

Tidaklah cukup dengan seka­dar mencari “kambing hitam” atas berbagai aksi radikal, tanpa mengurai akar persoalan sosial dan kultural yang tidak akan mus­nah hanya dengan mem­basmi pihak-pihak yang dianggap ber­tanggung jawab. Bukankah tu­juan kehidupan berbangsa dan bernegara sangat jelas mene­gaskan, bahwa negara berkewa­jiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah da­rah Indonesia, memajukan kese­jahteraan umum, mencer­daskan kehidupan bangsa, dan mewujud­kan keadilan sosial.

Artinya generasi muda itu masih membutuhkan bim­bingan?
Betul. Generasi muda masa depan yang membutuhkan bim­bingan, yang boleh jadi sedang terjerumus dalam kekeliruan ideologis akibat kelalaian negara. Mereka bukanlah musuh yang mengancam, melebihi ancaman ideologi itu sendiri yang setiap saat bisa merasuki dan meracuni watak dan pikiran setiap orang.

Untuk itu, sudah saatnya kita merevitalisasi nilai-nilai ke­bang­saan dan keindonesiaan sebagai warisan generasi muda masa lalu.

Bagaimana caranya?
Pertama, terus-menerus meng­gelorakan nasionalisme sebagai solusi yang setiap saat relevan untuk diajukan dalam mengha­dapi persoalan kebangsaan dan kein­donesiaan, khususnya yang terkait dengan persoalan ideo­logis.

Kedua, melakukan pendekatan sosial dan kultural dengan du­kungan kebijakan politik yang kuat terhadap berbagai persoalan ideologis yang mengancam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketiga, senantiasa meng­gaung­­kan empat pilar kebang­saan seba­gai perwujudan nasio­nalisme, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan bhineka tung­gal ika.   [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA