Seiring dengan aksi teror yang bermunculan di berbagai wilayah dengan beragam modus operandi, sepintas nampak mengurai dan menyimpul benang kusut akar persoalan terorisme dan kekeÂrasan yang terkait dengan banguÂnan karakter kebangsaan yang belum sepenuhnya rampung seÂbaÂgai prasyarat membangun NeÂgara Kesatuan Republik IndoneÂsia (NKRI).
Demikian disampaikan angÂgota Komisi I DPR, Yorrys RaÂweÂyai, kepada
Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin, menanggapi carut marutnya persoalan keÂÂbangÂsaan.
“Karakter kebangsaan bertuÂjuan untuk memupuk keutuhan dan integritas negara dan bangsa Indonesia. Atas dasar itu, IndoneÂsia menetapkan Pancasila sebagai ideologi nasional, ideologi yang diÂgali dari rahim tradisi dan idenÂtitas keindonesiaan yang dipanÂdang bisa diterima semua pihak,†ungkap politisi Partai Golkar ini.
Berikut kutipan selengkapnya;Bagaimana Anda melihat munÂcul lagi gerakan NII?Sungguh disayangkan, mengÂingat pembangunan kaÂrakter keÂbangsaan bertujuan memuÂpuk keutuhan dan integritas neÂgara dan bangsa. Di awal masa kemerÂdekaan, Soekarno menyaÂtuÂkan dua elemen penting, yakni
nation dan
state, sebagai jalan yang diÂrintis untuk mengolah keaÂnekaÂragaman budaya dan agama menÂjadi kekuatan besar yang menoÂpang eksistensi negara.
Atas dasar itu, negara kebangÂsaan Indonesia menetapkan PanÂcasila sebagai ideologi nasional. Sebuah ideologi yang digali dari rahim tradisi dan identitas keinÂdonesiaan yang dipandang bisa diterima oleh semua pihak.
Apa semangat nasionalisme itu masih terpupuk?Fakta historis terkait gagasan nasionalisme yang digaungkan oleh para pendiri republik di awal masa revolusi kemerdekaan, teÂlah mampu menghasilkan
protoÂtype sebuah negara yang menyaÂtuÂkan aneka ragam perbedaan di bawah satu kesatuan. Dua fase nasionalisme yang berlangsung kala itu.
Pertama, nasionalisme kulÂtural yang menyatukan seÂmangat kaum muda dengan latar-belakang sosial dan budaya yang berÂbeda-beda.
Kedua, nasionalisÂme politik yang menyatukan keÂpenÂtingan politik demi membaÂngun kesatuan visi dan misi dan meratakan jalan bagi pembentuÂkan negara kebangsaan IndoneÂsia, telah mengisi corak dan tipiÂkal republik hingga saat ini.
Munculnya NII bisa mendeÂgraÂdasi apa yang sudah dicaÂpai?Aksi teror yang dilanjutkan dengan kemunculan kembali aktivitas NII, mendegradasi berÂbagai kemajuan dan kedewasaan yang telah dicapai. Aneka ragam perbedaan seakan luruh dari arah tujuannya sebagai pemersatu bangsa, menjadi kerikil-kerikil tajam yang setiap saat berpotensi menggerus persatuan dan kesaÂtuan bangsa.
Kondisi ini tidak hanya memÂperÂtanyakan kembali tentang eksistensi nasionalisme yang teÂlah dibangun dengan serangkaian pengorbanan di masa lalu. Tapi juga menguji kembali sejauhÂmana nasionalisme tersebut maÂsih relevan untuk kita ajukan seÂbaÂgai solusi bagi persoalan bangÂsa dan negara saat ini.
Bukankah empat pilar bangÂsa bisa menghalau gerakan ini?Respons publik terhadap aksi teror dan aktivitas NII senantiasa merujuk pada empat bangunan pilar kebangsaan, yakni PancaÂsila, UUD 1945, NKRI dan bhiÂneka tunggal ika. Degradasi nasioÂnalisme adalah konsekuensi logis dari proses marginalisasi keempat pilar tersebut.
Analisa Francis Fukuyama dalam
The End of History and the Last Man (1992), cukup meneÂgasÂkan fenomena perubahan tersebut. Ideologi modernisasi dan
deveÂlopmentalism, secara
de facto, menggantikan nasionalisÂme kulÂtural dan politik. KebutuÂhan dan pertimbangan-pertimÂbangan pragÂmatis yang hanya terfokus pada aspek pertumbuhan dan peningÂkatan ekonomi telah mengorbanÂkan sentimen nasionaÂlisÂme. Pada titik tertentu, banguÂnan dan karakÂter kebangsaan tiÂdak lagi menjadi perhatian penting.
Kalau begini kondisinya, bisa membahayakan NKRI dong?Pengabaian atas sentimen naÂsionalisme memunculkan konsÂtrukÂsi karakter kebangsaan yang tidak lagi memiliki arah dan visi. Akibatnya, generasi bangsa cenÂdeÂrung terhempas dalam 2 (dua) kutub yang sama-sama ekstrim, kutub liberal dan kutub radikal-fundamental. Uniknya, kedua kutub tersebut lebih digandrungi dan justru mendistorsi karakter kebangsaan.
Berarti ini mengancam geneÂrasi muda?Ironisnya, pada kenyataannya kedua kutub tersebut mayoritas dihuni oleh generasi muda yang justru merupakan generasi potenÂsial dalam meneruskan cita-cita kebangsaan dan keindonesiaan, sebagaimana halnya nasionalisÂme masa lalu dibangkitkan dan digelorakan oleh kaum muda.
Kesuksesan nasionalisme yang digalang dan digerakkan oleh generasi muda masa lalu bisa diÂnikÂmati oleh generasi yang hidup saat ini. Karena itu, sulit membaÂyangkan realitas generasi bangsa masa depan dengan cerminan 2 (dua) kutub yang digandrungi oleh generasi muda saat ini.
Apa gara-gara itu gampang seÂkali dilakukan cuci otak?Generasi yang hidup dengan budaya hedonistik dengan geneÂrasi yang mudah diasupi dan diÂcuci otaknya oleh ideologi-ideoÂlogi radikal. Imbasnya pun cukup membuat konsentrasi bangsa yang sedang berupaya membaÂngun kehidupan yang lebih baik menÂjadi terganggu. Agenda peÂngenÂtasan kemiskinan, pencipÂtaan lapangan kerja untuk menguÂrangi jumlah pengangguran dan peningkatan kualitas pendidikan untuk memerangi kebodohan, pun seakan menjadi slogan di tengah kenyataan generasi muda yang larut dalam aktivitas yang destruktif.
Berarti ini kegagalan di duÂnia pendidikan?Bagaimana mungkin kita mengÂÂklaim kesuksesan capaian tujuan pendidikan nasional yang berhasil mengembangkan keÂmamÂpuan, membentuk watak serta peradaban bangsa yang berÂmartabat, di tengah kenyataan geÂnerasi muda yang sedang mengiÂdap demoralisasi.
Apalagi sekedar untuk meneÂgaskan tentang manusia IndoneÂsia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menÂjadi warga negara yang demoÂkratis serta bertanggung jawab. Di tengah kenyataan generasi muda yang mudah terprovokasi dan digiring sebuah gerakan yang justru bertentangan dengan semaÂngat ideologis dan konsÂtitusi.
Kenyataan ini membuktikan bahwa bangunan karakter keÂbangÂsaan kita, seperti yang perÂnah ditunjukkan Soekarno dan generasi muda di awal masa revoÂlusi kemerdekaan, membuÂtuhÂkan revitalisasi.
Maksudnya?Revitalisasi tersebut sekaligus mengevaluasi pola penanganan fisik dan militeristik yang selama ini menjadi pilihan strategis daÂlam memberantas aksi teror dan ideologi-ideologi radikal.
Tidaklah cukup dengan sekaÂdar mencari “kambing hitam†atas berbagai aksi radikal, tanpa mengurai akar persoalan sosial dan kultural yang tidak akan musÂnah hanya dengan memÂbasmi pihak-pihak yang dianggap berÂtanggung jawab. Bukankah tuÂjuan kehidupan berbangsa dan bernegara sangat jelas meneÂgaskan, bahwa negara berkewaÂjiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah daÂrah Indonesia, memajukan keseÂjahteraan umum, mencerÂdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudÂkan keadilan sosial.
Artinya generasi muda itu masih membutuhkan bimÂbingan?Betul. Generasi muda masa depan yang membutuhkan bimÂbingan, yang boleh jadi sedang terjerumus dalam kekeliruan ideologis akibat kelalaian negara. Mereka bukanlah musuh yang mengancam, melebihi ancaman ideologi itu sendiri yang setiap saat bisa merasuki dan meracuni watak dan pikiran setiap orang.
Untuk itu, sudah saatnya kita merevitalisasi nilai-nilai keÂbangÂsaan dan keindonesiaan sebagai warisan generasi muda masa lalu.
Bagaimana caranya?Pertama, terus-menerus mengÂgelorakan nasionalisme sebagai solusi yang setiap saat relevan untuk diajukan dalam menghaÂdapi persoalan kebangsaan dan keinÂdonesiaan, khususnya yang terkait dengan persoalan ideoÂlogis.
Kedua, melakukan pendekatan sosial dan kultural dengan duÂkungan kebijakan politik yang kuat terhadap berbagai persoalan ideologis yang mengancam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, senantiasa mengÂgaungÂÂkan empat pilar kebangÂsaan sebaÂgai perwujudan nasioÂnalisme, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan bhineka tungÂgal ika.
[RM]
BERITA TERKAIT: