Sementara itu, KPK yang sempat melemah pada 2024 mulai kembali menunjukkan geliat melalui tindakan operasi tangkap tangan dan pengaktifan kembali perkara-perkara yang sebelumnya stagnan, sehingga memunculkan kembali harapan publik.
Namun kemajuan itu belum cukup mengubah warna rapor penegakan hukum menjadi hijau. Justru semakin menuju pada penghujung akhir tahun memperlihatkan potret buram tata kelola organ negara yang tidak boleh diabaikan.
Kasus beras oplosan, BBM oplosan, pupuk palsu, hingga kartel distribusi pangan menegaskan satu hal, BPOM, lembaga pengawas mutu, pengawasan distribusi, dan perlindungan konsumen, yang tampak minim inisiatif dan minimnya daya cegah sekaligus lemahnya fungsi pengawasan negara serta yang tak kalah penting adanya pembentukan tim reformasi Polri gerkait persoalan yang membelit soal kultural dan struktural.
Jadi terlihat bentang minimnya peran pengawasan BPOM, lembaga pengawasan distribusi pangan, pengawasan mutu barang hingga perlindungan konsumen semuanya masih menunjukkan disfungsi, minim taring, dan minim inisiatif pencegahan apalagi penindakan.
Catatan kualitas penegakan hukum sepanjang 2025 juga diperparah oleh kecenderungan penggunaan instrumen politik hukum seperti amnesti, abolisi, dan rehabilitasi yang dalam beberapa kasus yang tampak di publik, diberikan di saat proses hukum masih berjalan.
Pola ini menimbulkan persepsi publik bahwa mekanisme pengecualian tersebut digunakan tanpa standar akuntabilitas yang jelas, sehingga berpotensi menimbulkan adanya kesan intervensi terhadap independensi proses penegakan hukum.
Ketika instrumen luar biasa dipakai secara tidak tepat, maka wibawa penegakan hukum justru sedang melemah, dan seharusnya penegak hukum sadar diri dan berbenah diri untuk hal ini.
Potret nilai penegakan hukum ini menjadi lebih terpukul ketika bencana ekologis menampar beberapa wilayah di Pulau Sumatera. Banjir besar di sebahagian Sumut (Tapanuli tengah, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Sibolga, Langkat, Deli Serdang dan Medan termasuk di beberapa Wilayah Provinsi Sumbar, dan terutama di 16 Kabupaten/Kota Provinsi Aceh pada akhir November hingga pertengahan Desember 2025 menyebabkan kerusakan fisik dan mengganggu ketahanan sosial, jalur logistik terputus termasuk layanan dasar lumpuh.
Ini juga merupakan alarm keras yang menunjukkan bahwa pelaksaan regulasi tata kelola hutan dan perkebunan masih kacau dan disebabkan oleh ulah perilaku manusia yang mengambil tempat yang tidak seharusnya dan itu menimbulkan dampak dikarenakan adanya perbuatan berupa pembalakan liar, izin tambang dan pembukaan lahan kebun sawit yang tidak terkendali oleh pejabat, penyalahgunaan lahan, lemahnya pengawasan daerah, hingga praktik korporasi yang lolos dari hukuman. Semua memperlihatkan bahwa organ negara atau pejabat terkait sedang membiarkan kerusakan berjalan legal, sistematis, dan terstruktur.
Kondisi tersebut menegaskan bahwa penegakan hukum dalam bidang ini jalan ditempat, dengan pengawasannya yang kehilangan daya kendali, tidak efektif, aparat seolah seadanya bekerja, terjebak dalam formalitas administratif namun sistem pencegahannya retak, penindakan terlihat seolah meningkat pada level bawah, tetapi kebocoran hulu?"hilir dibiarkan berlangsung dan tidak menuntaskan akar permasalahan.
Namun, rapor penegakan hukum 2025 pun, tidak bisa dilepaskan dari persoalan laten yang terus membayangi, kuatnya pengaruh oligarki politik dan ekonomi dalam tata kelola negara. Dalam banyak kasus strategis, mulai dari pangan, energi, hingga sumber daya alam hukum kerap tegas ke bawah, tetapi tumpul ke atas.
Relasi kuasa antara pemilik modal, elit politik, dan pengambil kebijakan menciptakan zona abu-abu penegakan hukum, di mana pelanggaran struktural sulit disentuh meski dampaknya dirasakan luas oleh masyarakat.
Oligarki bukan sekadar soal individu, melainkan jaringan kepentingan yang melemahkan fungsi pengawasan organ negara, membelokkan kebijakan publik, dan menghambat penegakan hukum, serta memunculkan ruang kompromi yang merugikan masyarakat pada akhirnya menggerus rasa keadilan.
Selama persoalan ini tidak dihadapi secara jujur, penegakan hukum akan terus terlihat aktif, tetapi gagal menyentuh akar masalah.
Karena itu, membenahi penegakan hukum 2026 tidak mungkin dilakukan tanpa membongkar struktur oligarki yang mengintervensi proses hukum, kebijakan, dan pengawasan publik, negara harus berani menempatkan kualitas penegakan hukum, terutama terkait persoalan pangan, energi, dan lingkungan hidup sebagai kebijakan keamanan nasional. Pemulihan tata kelola hukum tidak bisa parsial. Negara butuh orkestrasi cepat dan tepat antar lintas kementerian dan lembaga terutama bidang pertanian, kehutanan, perdagangan, ESDM, KLHK, BPOM, Perpajakan, Bea Cukai serta seluruh pilar peradilan, Polri, Kejaksaan, Pengadilan, dan advokat. Semua harus bergerak dalam standar kinerja yang terukur dan terbuka, agar reformasi penegakan hukum benar-benar terasa di kehidupan masyarakat dengan indikator kinerja yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik.
Penegakan hukum hanya bermakna jika dirasakan masyarakat. Bukan sekadar statistik kasus atau jumlah OTT, melainkan jaminan bahwa hidup warga tidak terancam oleh pangan palsu, energi oplosan, dan bencana yang lahir dari tata kelola yang buruk. Memasuki Tahun 2026, negara harus menempatkan pangan, energi, dan lingkungan sebagai isu keamanan nasional. Dibutuhkan orkestrasi lintas kementerian Pertanian, Perdagangan, ESDM, KLHK, BPOM, Bea Cukai, perpajakan serta reformasi berkelanjutan di Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan profesi advokat, dengan indikator kinerja yang transparan dan dapat diuji publik dan harus jadi momentum tahun koreksi menyeluruh bukan hanya pada aparat penegak hukum, tetapi seluruh rantai pengawasan organ negara yang selama ini kurang efektif dan efisien serta memperkuat kolabarasi dengan masyarakat sipil untuk menciptakan ekosistem nasional yang jauh dari segala penyimpangan.
Azmi SyahputraDosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, dan Sekjend Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).
BERITA TERKAIT: