Saatnya Rakyat jadi Algojo

Minggu, 07 Desember 2025, 05:09 WIB
Saatnya Rakyat jadi Algojo
Ilustrasi. (Foto: ANTARA)
JAUH lebih dahsyat dari tsunami 26 Desember 2004 di semenanjung pantai Aceh. Itulah banjir bandang secara bersamaan yang melanda sebagian daratan Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh. Korbannya bukan hanya umat manusia dalam jumlah besar, tapi pemukiman, infrastruktur jalan, sarana-prasarana publik dan aneka ragam hayati lainnya, terutama hewan. Entah apa yang akan terjadi kelak akibat rusaknya ekosistem itu. Luar biasa dahsyatnya banjir kali ini yang menerjang daratan ketiga wilayah Sumatera itu.

Yang perlu kita catat, banjir di tengah ketiga wilayah Sumatera itu tak ubahnya merupakan “pembantaian” terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Diksi kata “pembantaian” tak bisa dilepaskan dari tragedi banjir itu. Karena, fakta bicara nyata. Ratusan umat manusia, tanpa pandang usia, gender, etnis. Semuanya disapu tanpa mengenal rasa kemanusiaan. Satwa hewan dan aneka ragam hayati lainnya pun digulung musnah secara bersamaan. Benar-benar hilang rasa ekologisnya, padahal umat manusia sangat butuh air, oksigen sebagai penguat kehidupannya.

Dalam perspektif militer, pembantaian oleh “pasukan air” itu bukan hanya ethnic cleansing, tapi lebih dari itu. Maka, pembantaian yang menyapu bersih secara sengaja dan biadab terhadap alam semesta harus dicatat sebagai kejahatan kemanusiaan, kejahatan terhadap binatang, dan kejahatan kosmologis. Dua jenis kejahatan terakhir ini, boleh jadi  belum terumuskan dalam sistem perundang-undangan kita bahkan dunia. 

Tapi, mengabaikan dua jenis kejahatan itu pasti akan dibalas oleh alam, dalam bentuk suhu panas tinggi, krisis air yang berkepanjangan dan sejumlah krisis lingkungan lainnya. Let's see the next.

Dalam hal ini, setidaknya ada dua sanksi hukum berat. Yaitu, hukum positif yang berlaku di Tanah Air. Jika negara enggan menindaknya, maka sungguh sah jika di antara rakyat membawa kasusnya ke Mahkamah Hukum Internasional. Alamat penerapan hukum berat itu tentu bukan kepada alam yang mengamuk itu, tapi siapa perancang (pemilik konsesi dan pemberi izin) terjadinya krisis ekologi. 

Muncul pertanyaan mendasar, siapa perancang krisis ekologis itu? Jika kita amati gerakan pembalakan hutan, maka setidaknya ada dua aktor utama: pemilik lisensi pembalakan dan yang mengeluarkan lisensi, terkait alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit dan pertambangan. 

Muncul pertanyaan mendasar, mungkinkah rakyat kecil mampu melakukan pembalakan yang demikian masif dan ekstensif, apalagi terstruktur? No. Penyanggahan ini mendorong analisis lain: pemainnya pasti dan pasti perusahaan besar. Ketika diselidiki lebih rinci terkait peruntukannya, maka jawabannya kian jelas: perusahaan besar yang berkomplot dengan pemilik kebijakan. 

Siapa para aktor perusahaan besar dan pemilik kebijakan itu? Menurut data Kementerian Kehutanan, di antaranya, Sinar Mas (Wijaya Family) memiliki 4,4 juta ha di Sumatera, APP (pulp/HTI) seluas 2,6 juta ha. Royal Golden Eagle – Sukanto Tanoyo seluas 2,6 juta ha. April (pulp/HTI) 1,5 juta ha. RGE Group lain sebesar 1,1 juta. Salim Group melalui anak perusahaannya seperti London Sumatera (Lonsum) dan Salim Ivomas Pratama (SIMP) memiliki 111.367 ha.

Yang menarik untuk dicatat, jumlah konsesi itu dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan MS Kaban (periode 2004-2009) sebanyak 589.273 ha. Zaman Zulkifli Hasan seluas 1.623.062 ha. Dan zaman Siti Nurbaya (2014-2024) lebih fokus pada penegakan hukum dan pencabutan izin konsesi bagi yang tidak aktif atau bermasalah. Dari gerakan penertiban ini, konsesi hutan di zaman Siti Nurbaya yang masih bertahan antara 600-800 ha. 

Dengan menelusuri data administratif dan data di lapangan, maka sangatlah mudah untuk menuding, sekaligus menentukan tersangkanya, siapa yang paling obral dalam mengeluarkan izin konsesi. Pertanyaan mendasarnya, beranikah negara mengambil tindakan tegas secara hukum (pidana dan perdata), bahkan secara politik terhadap para pihak yang terlibat?

Banyak elemen masyarakat meragukannya. Karena, pemilik konsesi hutan adalah para cukong, yang sedikit banyak, punya relasi khusus dalam proses politik (menuju kekuasaan). Setidaknya, andai Presiden menyerahkan sepenuhnya pada kebebasan lembaga penegak hukum, hal ini pun tetap disangsikan. Landasannya tak jauh dari potensi al-fulus. “Kemasukan angin” di tengah aparatur (oknum) penegak hukum hingga kini sudah menjadi warna lazim. Meski sangat memprihatinkan dan sangat disesalkan, tapi itulah realitasnya. Sulit dibantah.

Maka, salah satu opsi yang maksimal dilakukan oleh Prabowo saat ini adalah tragedi banjir nasional yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat menjadi jalan mulus untuk mereshuffle sejumlah menteri terkait, apalagi manusia-manusia “termul”. Yang langsung bertanggung jawab adalah Menteri Kehutanan dan Menteri ESDM. Kedua Meteri ini bertanggung jawab langsung terhadap realitas kerusakan serius wilayah kehutanan hingga saat ini. Setidaknya, kedua menteri ini lalai terhadap panorama lingkungan yang kritis itu. Dan baru ketahuan setelah banjir menerjang, tanah berlongsoran, angin puting beliung mengamuk.

Pertanyaannya, apakah hanya dua Menteri yang saat ini menjabat? No. Para mantan menteri (kehutanan dan ESDM) layak diperiksa. Karena, pembalakan liar terhadap alam kehutanan bukan hanya terjadi sejak awal Oktober 2024. Dengan menghitung mundur, maka kita dapatkan data berapa luas pembalakan hutan zaman MS Kaban, Zulkifli Hasan dan Siti Nurbaya. Begitu, juga berapa luas konsesi izin tambang yang dikeluarkan oleh Menteri ESDM saat ini dan sejumlah mantan Menteri ESDM sebelumnya. 

Bagaimana dengan kepala daerah yang memberikan “karpet merah” terhadap para pihak yang melakukan pembalakan hutan itu, mulai dari Gubernur atau Bupati/walikota? Siapapun yang bersekongkol tak boleh luput dari sanksi politik. Jika Presiden memiliki hak prerogatif untuk mencopot menteri. Maka, DPRD punya hak juga untuk meng-impeach kepala daerah yang berkomplot itu.  

Sebuah pesan politik penting yang bisa dicatat adalah siapapun sebagai penguasa tak boleh sembrono dan aji mumpung dalam mengeksploitasi kewenangannya. Penegakan hukum tersebut untuk mengantarkan sikap good governance. Agar, siapapun yang mendapat amanah tidak serta-merta menyalahgunakan kewenangannya.

Kembali pada pertanyaan besar, apakah negara mau mengejar para komplotan swasta besar itu? Kita tak bisa berharap banyak pada otoritas negara. Lalu? Di sinilah peran rakyat. Mereka yang menjadi korban keganasan alam dan itu karena ulah para pembalak masif dan sistematis itu, maka sungguh layak bagi rakyat menunjukkan keberaniannya sebagai “algojo”. Ratusan nyawa yang melayang dan jutaan warga masyarakat yang menjadi korban harus melakukan perhitungan yang sebanding dengan kejahatan yang mengakibatkan alam mengamuk itu.

Nyawa-nyawa yang melayang, miliaran kerugian material bahkan triliunan kerugian imaterial sungguh sepadan untuk menghabisi para aktor swasta penjahat hutan. Di tengah penderitaan para korban, para pemilik konsesi hidup ongkang-ongkang kaki sembari berkipas-kipas nikmat di Singapura atau lainnya. Maka, tak ada opsi yang pantas untuk ditunjukkan dengan tegas: para penjahat alam memang harus dibantai dengan keji.

Dalam hal ini ada dua opsi yang bisa diterapkan. Pertama, apakah hukum badan (nyawa dibalas dengan nyawa). Dan siapapun yang keluarganya telah wafat harus menuntut nyawa pemilik lisensi pembalakan hutan. Kedua, tuntutan perdata. Para korban menuntut ganti rugi material dan imaterial yang dikonversikan secara material. Risiko bisnis ini harus ditanggung oleh pengusaha, bukan menanti uluran belas-kasihan Pemerintah. Inilah rasio bisnis yang fair. Jika Pemerintah tetap menanggungnya, berarti rakyat juga yang menanggung, padahal di antara rakyat merupakan korban. Inilah rasio dan risiko bisnis yang tak pernah ditinjau secara jernih selama ini. 

Sebuah makna krusial dari dua model sanksi “nyawa dibalas dengan nyawa” atau ganti rugi material yang harus ditanggung oleh para pemilik konsesi, maka secara konsepsional akan terjadi pengereman diri dalam memandang sumber daya alam (SDA), yang ada di permukaan bumi atau yang dikandungnya. Jadi, janganlah dilihat dari sisi eigenrichting (main hakim sendiri), tapi pandanglah kemanfaatan ke depannya.

Sejauh ini, pemikiran ganti rugi badan ataupun material terhadap para perusak alam belum dikenal dalam sistem hukum positif kita. Karena itu, sudah saatnya dilakukan revisi UU Kehutanan dan UU Minerba. Dalam revisi undang-undang tersebut, atas nama konstitusi, rakyat haruslah diberi payung hukum untuk menentukan sikap hukumnya, di luar institusi formal. Atas nama hukum adat atau hukum kelayakan manusia.

Akhir kata, banjir bandang yang belum lama ini menerjang Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh haruslah menjadi perenungan konstruktif, sekaligus terobosan yang holistik. Untuk sama-sama menghormati sesama umat manusia (hablun minannaas) dan hubungan manusia dengan lingkungan (hablun minal`aalam), di samping hubungannya dengan Allah selaku sang pencipta semuanya (hablun minallaah), karena 15 abad lalu, Allah sudah memperingatkan umat manusia sebagai “khalifah di muka bumi” untuk saling menjaga lingkungan, sekaligus melarang tegas untuk merusak alam. 

Semua itu agar terbangun harmonisasi antar sesama makhluk Allah. Dan inilah konsep hidup aman-damai antar makhluk-Nya yang bisa menjadi potensi membangun negara dan masyarakat yang sejahtera dan berkemajuan. rmol news logo article

Agus Wahid
Analis politik dan pembangunan


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA