Gagasan Mary Douglas, seorang antropolog dari Universitas Oxford Inggris dalam Purity and Danger memperjelas bahwa sampah adalah “material yang berada di tempat yang salah” (matter out of place) -kategori yang muncul dari proses pemilahan, bukan dari sifat fisiknya. Kotoran menjadi ancaman ketika ia mengacaukan tatanan sosial, dan tugas pengelolaan sampah pada dasarnya adalah memulihkan keteraturan melalui klasifikasi. Norma kebersihan dan tabu pencemaran mencerminkan struktur sosial yang lebih luas, sehingga sampah merupakan konsep dinamis yang berubah antar waktu, antar daerah, dan antar kelas.
Ketika ekonomi berkembang dan gaya hidup urban berubah, sampah yang dulu dapat dikelola rumah tangga tak lagi dapat ditangani secara privat. Sampah menjadi urusan kolektif pemerintah kota, dikumpulkan secara rutin lalu dibuang ke tempat penimbunan. Sanitary landfill memperkenalkan dimensi spasial baru: sampah dipadatkan, ditutup tanah, dan dibiarkan terurai. Namun banyak kota mendapati bahwa lahan makin terbatas, terutama di wilayah padat penduduk.
Insinerasi kemudian menjadi alternatif, dimulai dengan Manchester Corporation Refuse Destructor pada 1874 yang mampu mengurangi volume sampah hingga 90% dan menghasilkan uap untuk energi. Keberhasilan ini memicu kota-kota Eropa lain membangun fasilitas serupa, lalu berkembang menjadi waste-to-energy atau energy recovery.
Namun insinerator tidak berkembang luas di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Uni Eropa menetapkan batas emisi ketat sehingga hanya insinerator berbiaya sangat besar yang dapat lolos regulasi. Eropa memang memiliki insinerator, tetapi pertumbuhannya terhenti karena UE mendorong hierarki sampah yang mengutamakan Reduce, Reuse, Recycle baru kemudian Energy Recovery. Banyak negara di Eropa kini menghentikan pengembangan insinerator baru untuk mengejar target circular economy 2030-2050. Sementara Di AS, landfill relatif murah karena lahan luas, sehingga tidak ada insentif ekonomi bagi waste-to-energy.
Kondisi ini berbeda dengan Cina yang mendorong “kota tanpa sampah” melalui pendekatan command-and-build. Krisis Tempat Pembuangan Akhir (TPA) pada 2000-an mendorong pemerintah Cina memberi feed-in tariff dan memprioritaskan insinerasi sebagai solusi utama. Hasilnya: insinerator tumbuh dari 122 fasilitas pada 2012 menjadi lebih dari 1.000 pada 2023 dan mengolah hampir 80% sampah kota.
Cina juga menjadi eksportir teknologi insinerator terbesar di dunia. Saat ini Cina berkepentingan untuk mengekspor teknologi insinerasi mengingat pasar insinerator di Cina sudah habis dan banyak kota Cina mulai kekurangan sampah kota untuk dibakar akibat penurunan ekonomi.
Sementara itu, Taiwan berhasil membangun sistem pengelolaan sampah paling efisien di dunia berkat pungutan sampah (pay-as-you-throw), kewajiban pemilahan, dan penegakan hukum yang tegas -pelajaran bahwa tata kelola menentukan keberhasilan teknis.
Transformasi pengelolaan sampah ini menegaskan bahwa sampah bergerak mengikuti dinamika budaya, ekonomi politik, regulasi, dan teknologi. Dari pemaknaan apa itu “kotor”, hingga bagaimana negara mengelola residu perkotaan, sampah selalu mencerminkan kapasitas negara menjaga kesehatan masyarakat dan keteraturan ruang hidup.
Pola penanganan sampah oleh pemerintah daerah di Indonesia dinilai Presiden Joko Widodo tidak memadai. Pemerintah kemudian menggunakan orientasi kebijakan yang condong pada model Cina dengan menekankan penggunaan insinerator dan integrasi waste-to-energy dalam perencanaan pembangunan.
Upaya ini dimulai dengan Peraturan Presiden (Perpres) 18/2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar, dan Perpres 58/2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, lalu diperkuat menjadi Perpres 35/2018 tentang Percepatan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik. Ada tiga ketentuan kunci: Pertama, kepala daerah dapat menugaskan langsung BUMD, Kedua, PLN wajib membeli listrik PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) dengan harga premium (feed-in-tariff) sebesar 13,35 sen dollar AS, dan ketiga pemerintah pusat memberikan bantuan biaya layanan (tipping fee) maksimal Rp 500.000 per ton.
Perpres 35/2018 ini menargetkan 12 kota besar, termasuk DKI Jakarta, dan masuk dalam Proyek Strategis Nasional melalui Perpres 109/2020. Fasilitas PLTSa mendapat status Poyek Strategis Nasional, jaminan pemerintah, debottlenecking regulasi, hingga fasilitas pajak.
Mendapat relaksasi dukungan kebijakan dan relaksasi fiskal oleh pemerintah pusat, beberapa daerah seperti Jakarta, Bandung, Surakarta, Tangerang Selatan dan juga Makassar kemudian melaksanakan tender proyek sampah menjadi listrik/PLTSa. Walikota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka meresmikan PLTsa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) di Tempat Pembuangan Sampah Putri Cempo Solo sebesar 8 MW pada bulan Oktober tahun 2023. Peresmian PLTSa di Solo ini mengikuti peresmian PLTSa di Surabaya yang sebelumnya diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada bulan Mei tahun 2021. Di beberapa daerah prosee membangun PLTSa juga dilakukan namun belum ada yang komisioning selain Surakarta dan Surabaya.
Namun dari Kuningan, KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) menilai Perpres 35/2018 berisiko bagi keuangan daerah. Dalam suratnya kepada presiden tanggal 30 Maret tahun 2020, KPK mencatat potensi beban 23% pendapatan daerah, risiko mekanisme take-or-pay, tidak adanya standar biaya pengolahan, serta kurang transparannya kontrak. KPK kemudian mendorong opsi alternatif seperti RDF dengan offtaker PLN atau industri semen, kenaikan harga beli RDF, dukungan hibah BUMN, dan penguatan tata kelola yakni penyediaan lahan dan jaminan off-taker. RDF (refuse derived fuel) adalah bahan bakar alternatif yang dihasilkan dari pengolahan sampah dan hasilnya akan digunakan di industri semen.
Pada sisi lain pemerintah berjalan tidak tegas dalam urusan PLTSa ini. Dalam pada rapat koordinasi di Menko Marves Juli tahun 2023, pemerintah menegaskan bahwa pengelolaan sampah tidak boleh bertumpu pada satu teknologi saja. DKI Jakarta diarahkan memperbanyak unit RDF dan tetap membuka opsi WTE (waste-to-energy). Perpres 35/2018 pun dinilai perlu direvisi agar lebih fleksibel bagi pemerintah daerah.
Surat KPK dan arahan Menko Marves agar tidak hanya menggunakan satu teknologi membuat gamang pihak daerah yang hendak mengikuti kebijakan PLTSa dari Perpres 35/2018. DKI Jakarta misalnya menunda pelaksanaan tender PLTSa yang sudah hampir selesai dan kemudian membuat proyek RDF di Bantargebang dan dilanjutkan dengan proyek RDF di derah Rorotan Jakarta Utara dengan APBD.
Arah kebijakan penanganan sampah kota kemudian berubah lagi dengan diterbitkannya Perpres 109/2025 pada 10 Oktober 2025 yang menggantikan Perpres 35/2018. Dalam regulasi baru ini terdapat perubahan besar; Pertama, harga beli listrik PLTSa ditetapkan flat USD 0,20/kWh untuk semua kapasitas. Kedua, durasi PPA (power purchase agreement) diperpanjang menjadi 30 tahun sejak operasi komersial dan ketiga, skema tipping fee dihapus. Harga rata-rata biaya pokok pembangkitan listrik PLN adalah Rp 1.444/kWh (USD 0,09/kWh).
Hal lain dalam Perpres 109/2025 adalah adanya aktor baru yakni Danantara sebagai pemain kunci dalam proyek PLTSa. Danantara yang mandatnya adalah sebagai badan yang melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengelolaan BUMN seperti yang tercantum dalam pasal 1 ayat (3) PP No. 10 tahun 2025, dalam Perpres 109/2025 menjadi “orchestrator” yang menyatukan Pemda, BUMD, operator teknologi, dan investor agar proyek PLTSa menjadi bankable dan dapat dibangun.
Masalahnya adalah Danantara yang sangat pro-aktif dalam PLTSa ini tidak memagari risiko politik lokal dengan adanya klausula polluters-pay principle pada Perpres 109/2025 dan juga kewajiban daerah untuk menyediakan lahan.
Polluters-pay-principle artinya daerah harus membuat peraturan daerah yang memungut retribusi dari masyarakat untuk pengelolaan sampah. Perda retribusi merupakan syarat tangguh (opschortende voorwardee) bagi kelengkapan administrasi lelang proyek. Kekurangan kelengkapan menjadi pintu masuk bagi Aparat Penegak Hukum dikemudian hari untuk memeriksa kekeliruan penyelanggaraan proyek PLTSa. Repotnya pada level politik lokal Perda Retribusi merupakan isu yang tidak disukai oleh anggota DPRD.
Selain itu, Pasal 10 Perpres 109/2025 mewajibkan pemerintah daerah memastikan bahwa lahan untuk PLTSa clean and clear, baik status maupun legalitasnya, ini berbeda dengan Perpres sebelumnya yang mengijinkan pihak swasta untuk menyediakan lahan untuk proyek sehingga lebih luwes. Persoalan penyediaan tanah bagi pemerintah daerah adalah persoalan pelik mengingat luasan tanah yang harus disediakan sangat besar sementara kemampuan fiskal daerah kebanyakan berada dalam zona lemah lunglai.
Dari teori Mary Douglas tentang kotoran yang sekadar “berada di tempat yang salah”, hingga rangkaian Perpres dari 2016 hingga 2025, terlihat bahwa sampah adalah fenomena sosial sekaligus politik. Ia bergerak bersama dinamika industri, harga energi, kapasitas fiskal, dan kecakapan pemerintah daerah. Tidak ada teknologi yang netral; setiap pilihan membawa konsekuensi kelembagaan, finansial, dan sosial yang harus dipertimbangkan matang-matang. Dengan perubahan regulasi dari Perpres ke Perpres, Indonesia sedang membentuk ulang makna sampah -apakah beban, sumber daya atau bancakan.
*Penulis aktif di Energy Investment & PPP Specialist ENRI Indonesia.
BERITA TERKAIT: