Seberapa Penting China dan Amerika bagi Indonesia?

OLEH: DR. SURYA WIRANTO, SH, MH*

Minggu, 21 September 2025, 07:17 WIB
Seberapa Penting China dan Amerika bagi Indonesia?
Ilustrasi. (Foto: iStock)
CHINA dan Amerika Serikat memegang peran sentral bagi masa depan ekonomi dan keamanan Indonesia; hubungan dagang Indonesia-China melampaui USD 100 miliar pada 2023 dan investasi langsung China tercatat mencapai USD 7,4 miliar, sementara kerja sama pertahanan dengan AS melibatkan lebih dari 220 aktivitas tahunan. 

Makalah ini menggunakan kerangka Action Research (See-Judge-Act) dan mengintegrasikan metode pemecahan masalah seperti DMAIC, PDCA, Design Thinking, OODA, teknik 5 Whys/Fishbone, serta heuristik dalam kerangka mixed-method (kualitatif, kuantitatif, dan campuran) untuk menganalisis peluang, risiko, dan opsi kebijakan Indonesia dalam menyeimbangkan relasi dengan kedua adidaya. Rekomendasi menekankan diversifikasi ekonomi, modernisasi pertahanan, diplomasi proaktif, serta mekanisme tata kelola industri strategis yang melindungi kedaulatan nasional.

Posisi Strategis Indonesia dan Kedalaman Keterkaitan dengan China dan AS

Indonesia menempati posisi unik di panggung global sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, negara dengan populasi keempat terbesar dunia, serta pemilik cadangan nikel terbesar di dunia; kombinasi ini menjadikan Jakarta objek tarik perhatian investasi dan strategi geopolitik kedua negara adidaya, China dan Amerika Serikat. Perdagangan bilateral Indonesia-China melampaui USD 100 miliar pada 2023, sedangkan China tercatat sebagai investor tunggal terbesar kedua di Indonesia dengan total investasi mencapai USD 7,4 miliar, termasuk proyek infrastruktur besar seperti kereta cepat Jakarta-Bandung yang secara simbolis menegaskan peran China dalam pembangunan infrastruktur nasional. 

Di sisi lain, Amerika Serikat memiliki peran berbeda yang lebih menonjol pada ranah keamanan: kerja sama pertahanan melibatkan lebih dari 220 kegiatan tahunan, termasuk latihan besar seperti Super Garuda Shield, yang memperkuat interoperabilitas dan link strategis antara TNI dan Washington.

Kebijakan domestik Indonesia juga mengubah dinamika hubungan ekonomi global; pelarangan ekspor nikel mentah yang diberlakukan sejak 2020 di bawah pemerintahan sebelumnya menjadi titik balik strategis, mendorong kenaikan kapasitas peleburan nikel dari sekitar 16 juta ton per tahun pada 2018 menjadi lebih dari 100 juta ton pada 2023, yang sekaligus menempatkan Indonesia pada peta rantai pasok baterai kendaraan listrik dunia. 

Langkah ini membuka peluang besar bagi kerja sama teknologi dan investasi, tetapi juga menempatkan Indonesia dalam medan persaingan geopolitik antara kepentingan China yang intensif dalam industri baterai dan kepentingan AS yang mencari sumber mineral strategis yang aman untuk rantai pasoknya. 

Peristiwa diplomatik pada November 2024, ketika Presiden Prabowo Subianto mengawali kunjungannya ke China sebelum melanjutkan kunjungan ke Amerika Serikat, mempertegas strategi politik luar negeri Indonesia yang pragmatis. Di Beijing ditandatangani kesepakatan bisnis senilai USD 10 miliar untuk sektor energi baru, teknologi, dan bahan baku baterai, sementara pertemuan di Gedung Putih membicarakan percepatan negosiasi terkait mineral strategis dan kerja sama iklim. Kedua kunjungan ini menunjukkan bahwa Indonesia berusaha memaksimalkan manfaat ekonomi sekaligus menjaga opsi strategisnya, sebuah pendekatan yang berakar pada prinsip politik luar negeri bebas aktif.

Namun konteks global terus berubah: kebijakan proteksionis AS yang digabungkan dengan perhatian keamanan yang lebih kuat, serta ambisi industri dan militer China yang semakin tegas, membuat ruang manuver Indonesia semakin kompleks. Selain itu, tekanan domestik seperti tuntutan pemerataan ekonomi, keamanan maritim di Laut Natuna Utara, dan isu lingkungan akibat ekspansi industri nikel menuntut kebijakan yang berimbang antara kepentingan jangka pendek ekonomi dan kedaulatan jangka panjang. Dalam kerangka See, data kuantitatif dan pengamatan kualitatif ini menjadi landasan untuk analisis lebih mendalam pada tahap selanjutnya.

Risiko Ekonomi, Teknologi, dan Ketergantungan Rantai Pasok

Menggunakan pendekatan mixed-method, kami memadukan analisis kuantitatif (angka perdagangan, investasi, kapasitas produksi nikel) dengan wawancara kualitatif pemangku kepentingan industri, pembuat kebijakan, dan akademisi untuk menilai risiko ketergantungan ekonomi dan teknologi. Hasil pengukuran dengan kerangka DMAIC menunjukkan bahwa meskipun kebijakan pembatasan ekspor nikel mempercepat industrialisasi, ada risiko konsentrasi investor dan teknologi pada mitra tertentu, terutama aktor China, yang dapat menimbulkan ketergantungan strategis. 

Dengan mengaplikasikan Fishbone Analysis untuk menelusuri akar permasalahan, faktor penyebab ketergantungan teridentifikasi pada aspek kebijakan fiskal yang belum sepenuhnya mengikat transfer teknologi, kapasitas domestik yang masih relatif lemah pada tahapan hilirisasi tertentu, serta kelemahan tata kelola kontrak investasi yang memungkinkan kepemilikan asing menguasai rantai hulu-hilir.

Secara kuantitatif, proyeksi skenario menunjukkan bahwa jika ekspor olahan nikel Indonesia tidak dapat memperoleh akses pasar preferensial seperti yang diatur dalam Undang-Undang Pengurangan Inflasi AS (Inflation Reduction Act) 2022, maka kemungkinan nilai tambah domestik akan terbatasi dan sebagian besar keuntungan rantai nilai akan mengalir ke negara manufaktur mitra. Analisis kualitatif menunjukkan pula kekhawatiran AS terhadap dominasi investasi China yang tercermin dalam proses negosiasi perjanjian perdagangan khusus, sehingga perlunya strategi diplomasi untuk meredam kekhawatiran tersebut sambil menjaga arus investasi dari China.

Pada dimensi keamanan, penerapan pendekatan OODA loop menggambarkan dinamika cepat dalam isu Laut Natuna Utara dan akses maritim; observasi menunjukkan meningkatnya frekuensi patroli asing dan orientasi TNI serta mitra terhadap proteksi wilayah kedaulatan, keputusan strategis yang diambil harus mempertimbangkan implikasi logistik dan akuisisi alutsista. Selain itu, analisis 5 Whys atas pertanyaan mengapa Indonesia rentan terhadap tekanan geopolitik mengungkapkan akar masalah pada ketergantungan teknologi, rendahnya kapasitas R&D lokal, kurangnya alternatif mitra strategis yang seimbang, serta kebutuhan perbaikan kerangka regulasi yang melindungi kepentingan nasional.

Kesimpulan tahap ini menegaskan bahwa peluang ekonomi besar harus diiringi oleh kebijakan mitigasi risiko yang sistematis, termasuk persyaratan transfer teknologi, peningkatan kapasitas industri dalam negeri, penguatan standar lingkungan dan ketenagakerjaan, serta strategi diplomasi multivector untuk menjaga ruang kebijakan Indonesia.

Aspek Pertahanan, Diplomasi, dan Kepentingan Strategis

Dari sisi pertahanan, analisis kuantitatif memperlihatkan bahwa kekuatan militer regional dan kemampuan proyeksi daya menjadi variabel penting; Indonesia memiliki sekitar 400.000 personel militer pada 2023, yang memberikan bobot tersendiri namun masih memerlukan modernisasi alutsista dan kapabilitas intelijen maritim untuk menjaga jalur laut strategis seperti Selat Malaka dan rute menuju Selat Taiwan. Di sini metode PDCA digunakan untuk merencanakan, menguji, dan mengevaluasi program modernisasi seperti peningkatan armada kapal selam, sistem pertahanan udara jarak menengah, serta pengembangan kemampuan drone maritim. Siklus PDCA memungkinkan iterasi kebijakan yang adaptif terhadap respons regional dan ketersediaan anggaran.

Diplomasi pertahanan dan kerja sama multilateral juga menjadi perangkat kritis. Dengan menempatkan Indonesia sebagai jembatan antara China dan AS, pendekatan design thinking membantu merancang inisiatif diplomasi yang berpusat pada kebutuhan regional, contohnya forum trilateral untuk keamanan maritim, program pertukaran teknis, dan mekanisme de-escalation yang dapat mengurangi risiko salah hitung di laut. 

Dari pendekatan heuristik, eksperimen kebijakan seperti pembentukan zona ekonomi-pertahanan terpadu atau pilot center of excellence untuk R&D baterai di Sulawesi Tengah dapat memberikan pembelajaran praktis sebelum skala penuh diadopsi.

Secara politik, komunikasi pemerintahan sangat menentukan persepsi publik domestik dan mitra asing; oleh sebab itu strategi komunikasi yang transparan diperlukan untuk menjelaskan manfaat dan risiko setiap kerjasama asing, termasuk langkah-langkah safeguarding yang menjamin transfer teknologi dan manfaat ekonomi bagi daerah. Studi kualitatif lapangan menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah pertambangan mengharapkan komitmen nyata terhadap penyerapan tenaga kerja lokal dan perlindungan lingkungan, sehingga aspek sosial harus diintegrasikan ke dalam kebijakan industri strategis.

Kerangka Kebijakan Terpadu dan Rekomendasi Praktis

Berdasarkan sintesis temuan mixed-method, solusi yang direkomendasikan mengombinasikan kebijakan industri, diplomasi, dan pertahanan dalam kerangka See-Judge-Act. Pertama, pada aspek industri strategis, disarankan untuk menerapkan klausul wajib transfer teknologi dan local content dalam setiap kontrak investasi, memperkuat peran Badan Koordinasi Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) dan menerapkan mekanisme insentif untuk hilirisasi. Model PDCA dipakai untuk menguji pilot proyek pabrik pelindian asam bertekanan tinggi di Sulawesi Tengah, dengan indikator keberhasilan yang mencakup persentase komponen lokal, tenaga kerja terserap, dan standar lingkungan terpenuhi.

Kedua, pada aspek diplomasi ekonomi-politik, strategi diversifikasi mitra perlu dipercepat: selain Cina dan AS, Indonesia harus memperkuat hubungan dengan Korea Selatan, Jepang, Uni Eropa, India, dan negara-negara ASEAN untuk menciptakan jaringan alternatif rantai pasok dan pasar ekspor. Pendekatan design thinking berguna untuk merancang fasilitas kolaboratif yang menarik multipihak, sementara OODA loop harus diintegrasikan untuk respons cepat terhadap perubahan kebijakan global seperti tarif atau pembatasan ekspor.

Ketiga, pada aspek pertahanan, penguatan kemampuan maritim dan udara harus menjadi prioritas dalam MEF 2025-2034 dengan alokasi anggaran yang realistis dan rencana jangka panjang. DMAIC dapat diaplikasikan untuk memetakan kebutuhan, mengukur readiness, menganalisis gap, mengimprove proses pengadaan, dan mengontrol kualitas serta integrasi sistem. Selain itu, diplomasi militer aktif, latihan bersama dengan mitra beragam, dan pembentukan mekanisme crisis hotline regional dapat mengurangi risiko militerisasi konflik dan salah perhitungan.

Keempat, tata kelola dan transparansi harus ditingkatkan secara radikal untuk menjaga legitimasi investasi asing. Ini melibatkan perbaikan regulasi, partisipasi masyarakat dalam pengawasan proyek, serta audit lingkungan dan ekonomi independen yang dipublikasikan. Pendekatan 5 Whys dan Fishbone dipakai berulang kali untuk mengkoreksi penyebab kegagalan implementasi di tingkat lokal.

Roadmap, Pengukuran, dan Mekanisme Kontrol

Implementasi diawali dengan penyusunan roadmap terperinci selama lima hingga sepuluh tahun yang menguraikan target kapasitas produksi, target transfer teknologi, dan target modernisasi pertahanan. Pada fase awal tahun 2025-2027, prioritas adalah menyelesaikan perjanjian teknis yang mengikat terkait pabrik pelindian, memastikan standar lingkungan terpenuhi, dan meluncurkan pilot center of excellence R&D baterai yang dikelola bersama universitas negeri dan industri. Pada fase menengah, 2028-2032, fokus perlu bergeser ke skala produksi dan penguatan jaringan ekspor, termasuk negosiasi akses pasar ke AS untuk memenuhi persyaratan IRA. Seluruh fase diawasi dengan PDCA dan indikator kuantitatif seperti nilai tambah lokal, pertumbuhan PDB sektor terkait, dan pengurangan impor komponen kritikal.

Untuk aspek pertahanan, tindakan konkret meliputi pengadaan kapal selam generasi baru, pembelian sistem pertahanan udara jarak menengah, serta perluasan kapasitas intelijen maritim dan satelit. Setiap pengadaan harus melalui DMAIC untuk memastikan kesesuaian spesifikasi dengan kebutuhan operasi, efisiensi biaya, dan kemampuan maintenance domestik. Mekanisme kontrol meliputi audit berkala oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan komite legislatif yang melibatkan akademisi independen.

Diplomasi dijalankan secara simultan melalui jalur formal dan informal: pertemuan pejabat tinggi bilateral, forum trilateral dengan Jepang atau India, serta track-two dialogues yang melibatkan akademisi dan industri. Komunikasi publik diarahkan untuk menerangkan manfaat jangka panjang bagi kesejahteraan rakyat, sekaligus transparansi mekanisme perlindungan kedaulatan nasional.

Penutup: Refleksi, Risiko, dan Implikasi Kebijakan

Analisis ini menegaskan bahwa China dan Amerika Serikat sama pentingnya bagi Indonesia, namun peran keduanya berbeda: China lebih dominan sebagai mitra ekonomi dan investor infrastruktur, sementara AS lebih signifikan pada aspek keamanan strategis. Pilihan Indonesia bukan soal memilih salah satu, tetapi merumuskan strategi yang memperkuat kedaulatan dan kesejahteraan nasional melalui diversifikasi, industrialisasi berkelanjutan, modernisasi pertahanan, serta tata kelola yang transparan.

Risiko utama tetap berada pada kemungkinan ketergantungan teknologi, fragmentasi kebijakan domestik, dan respons internasional yang mengeras. Oleh karena itu, kombinasi metode pemecahan masalah yang fleksibel, DMAIC untuk industri, PDCA untuk operasional, design thinking untuk diplomasi publik, OODA untuk situasi krisis, 5 Whys/Fishbone untuk analisis akar masalah, serta heuristik untuk eksperimen kebijakan, diharapkan memberikan toolkit komprehensif bagi pembuat kebijakan.

Akhirnya, dalam dunia multipolar, keberhasilan Indonesia diukur bukan hanya dari seberapa dekat hubungan dengan China atau AS, tetapi dari kemampuan merancang jalur kebijakan yang menjaga ruang strategis, mendorong kemandirian teknologi, dan menegakkan prinsip kesejahteraan sosial dan lingkungan. Dengan kombinasi pragmatisme dan prinsip, Indonesia dapat memanfaatkan momentum transformasi global untuk membangun masa depan yang lebih berdaulat dan sejahtera. rmol news logo article

*Penulis adalah Purnawirawan Laksamana Muda TNI, sehari-hari sebagai Penasehat Indopacific Strategic Intelligence (ISI), dan Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Pasca Sarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan, Kadep Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, dan Executive Director, Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS). Kegiatan lain sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator Firma Hukum Legal Jangkar Indonesia.  

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA