AUKUS dan Dampak Hubungan Indonesia-Australia

OLEH: DR. SURYA WIRANTO, SH MH*

Senin, 01 September 2025, 04:08 WIB
AUKUS dan Dampak Hubungan Indonesia-Australia
Ilustrasi. (Foto: Maritimnews.com)
PERJANJIAN trilateral Australia, United Kingdom, dan United States (AUKUS) yang diumumkan pada September 2021 merepresentasikan pergeseran signifikan dalam arsitektur keamanan kawasan Indo-Pasifik. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis tiga pilar AUKUS, dengan fokus khusus pada implikasinya terhadap hubungan Indonesia-Australia. 

Dengan menggunakan kerangka action research (Melihat-Menilai-Bertindak), penelitian ini pertama-tama mengidentifikasi komponen-komponen utama perjanjian tersebut (Melihat). Selanjutnya, makalah ini menilai dampak strategis dan keamanan dari AUKUS, khususnya Pilar I mengenai kapal selam nuklir, terhadap stabilitas kawasan dan hubungan bilateral Indonesia-Australia (Menilai). Terakhir, makalah ini memberikan serangkaian rekomendasi kebijakan bagi Indonesia untuk merespons perkembangan ini secara proaktif dan strategis, menekankan pada pentingnya diplomasi intensif, transparansi, dan peningkatan kemampuan maritime security mandiri (Bertindak). 

AUKUS telah menjadi sebuah focal point dalam diskursus keamanan regional Indo-Pasifik. Pada intinya, AUKUS bukan merupakan pakta pertahanan baru, melainkan sebuah kemitraan teknologi keamanan yang dirancang untuk meningkatkan interoperabilitas dan kemampuan teknis strategis ketiga negara dalam menanggapi tantangan keamanan bersama yang semakin kompleks. Secara struktural, kemitraan ini berdiri atas tiga pilar fundamental yang saling terkait.

Pilar Pertama (Pillar-I) merupakan yang paling mendapatkan sorotan dan kontroversial, yang berfokus pada pembantuan Australia untuk memperoleh kapal selam penyerang bertenaga nuklir (Nuclear-Powered Attack Submarines/SSNs). Rencana ini melibatkan pembelian hingga 5 kapal selam kelas Virginia dari AS di tahun 2030-an, sebelum beralih ke desain baru SSN-AUKUS yang dikembangkan bersama Inggris pada tahun 2040-an.

Pilar Kedua (Pillar-II) AUKUS memiliki cakupan yang lebih luas dan kurang mendapatkan perhatian publik dibanding Pilar Pertama, meskipun tidak kalah pentingnya secara strategis. Pilar ini ditujukan untuk mempercepat pengembangan dan integrasi kemampuan-kemampuan teknologi keamanan mutakhir di luar platform kapal selam. Area kerjasama dalam Pilar Kedua mencakup pengembangan kemampuan cyber warfare, kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI), teknologi kuantum, kemampuan underwater systems, peperangan elektronik (electronic warfare), serta inovasi dalam bidang hypersonics dan counter-hypersonics. Berbeda dengan Pilar Pertama yang bersifat eksklusif bagi tiga negara anggota, Pilar Kedua dirancang dengan fleksibilitas yang memungkinkan negara partner lainnya untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek tertentu di masa depan, suatu aspek yang memiliki implikasi signifikan bagi dinamika regional.

Sementara itu, rincian mengenai Pilar Ketiga (Pillar-III) masih kurang dipublikasikan secara detail, namun umumnya dipahami sebagai kerangka untuk memastikan integrasi dan efektivitas operasional dari seluruh inisiatif yang dikembangkan di bawah dua pilar pertama, termasuk aspek-aspek logistik, dukungan, dan pelatihan bersama.

Dampak Strategis AUKUS dan Respons Awal Indonesia

Kehadiran AUKUS, khususnya melalui Pilar Pertamanya, telah memicu gelombang reaksi yang kompleks dan berlapis di kawasan Indo-Pasifik, dengan implikasi khusus yang sangat relevan bagi hubungan Indonesia-Australia. Dari perspektif Indonesia, kemunculan AUKUS dipandang melalui lensa yang penuh kehati-hatian dan kekhawatiran strategis. Pemerintah Indonesia, melalui pernyataan Kementerian Luar Negeri pada September 2021, menyampaikan keprihatinannya yang mendalam mengenai potensi percepatan perlombaan senjata dan ketidakstabilan di kawasan sebagai dampak dari perjanjian ini. 

Respons ini merefleksikan prinsip dasar politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, yang senantiasa mengedepankan pendekatan kolektif melalui ASEAN sebagai central platform untuk mengelola keamanan regional, dan bukannya mengikuti logika aliansi eksklusif yang dapat memicu polarisasi.

Kekhawatiran Indonesia bersifat multidimensi. Pertama, terdapat apprehensi yang nyata bahwa deployment kapal selam bertenaga nuklir Australia di perairan sekitar dapat meningkatkan tensi militer dan memicu security dilemma, dimana tindakan suatu negara untuk meningkatkan keamanannya justru diinterpretasikan sebagai ancaman oleh negara lain, sehingga pada akhirnya mendorong siklus peningkatan kekuatan militer yang tidak terkendali. Kedua, meskipun Australia dengan tegas menyatakan bahwa kapal selamnya akan dipersenjatai dengan konvensional dan bukan senjata nuklir, serta berkomitmen pada standar non-proliferasi yang ketat, isu proliferasi teknologi nuklir sensitif tetap menjadi perhatian utama bagi Indonesia dan banyak negara di kawasan.

Ketiga, AUKUS dipersepsikan oleh banyak pengamat di Jakarta sebagai bukti dari semakin menguatnya dinamika keamanan yang dipimpin oleh kekuatan besar (AS dan sekutunya) di luar struktur ASEAN, yang berpotensi mengikis relevansi dan sentralitas ASEAN dalam arsitektur keamanan kawasan. Persepsi ini pada gilirannya menciptakan tantangan tersendiri bagi Australia, yang harus menjembatani kesenjangan antara komitmennya pada aliansi dengan AS dan Inggris di satu sisi, dengan kepentingannya untuk memelihara hubungan yang stabil dan konstruktif dengan tetangga terdekatnya, Indonesia, di sisi lain.
Titik Tekan dalam Hubungan Indonesia-Australia

Hubungan bilateral Indonesia dan Australia memiliki sejarah yang ditandai oleh fluktuasi dan dinamika yang kompleks, dan kehadiran AUKUS berpotensi menjadi sumber tekanan baru jika tidak dikelola dengan hati-hati oleh kedua pihak. Titik tekan utama terletak pada persepsi yang berbeda mengenai ancaman dan prioritas keamanan. Bagi Australia, AUKUS dan kemampuan SSN merupakan respons terhadap meningkatnya kapabilitas militer China dan ketidakpastian strategis di kawasan, yang dilihatnya sebagai ancaman eksistensial terhadap kepentingan keamanan dan ekonominya. 

Sebaliknya, bagi Indonesia, eskalasi ketegangan antara blok kekuatan besar justru merupakan ancaman yang lebih besar dan langsung, karena berpotensi memicu konflik yang dapat melibatkan kawasan dan mengganggu stabilitas yang menjadi prasyarat bagi pembangunan ekonomi nasional.

Perbedaan persepsi ini dapat memengaruhi kepercayaan strategis (strategic trust) antara Jakarta dan Canberra. Indonesia mungkin mempertanyakan komitmen Australia terhadap stabilitas kawasan dan prinsip-prinsip non-proliferasi, serta mengkhawatirkan bahwa Australia akan semakin sulit untuk bertindak secara independen dan lebih condong mengikuti kebijakan Washington dalam situasi krisis, misalnya di Laut China Selatan atau Selat Taiwan. Kekhawatiran lainnya adalah bahwa peningkatan signifikan kemampuan militer Australia, yang didukung oleh teknologi AS dan Inggris, dapat mengganggu keseimbangan kekuatan maritim di kawasan Asia Tenggara, khususnya di perairan yang berbatasan langsung dengan Indonesia seperti Laut Timor dan Laut Arafuru. 

Meskipun Australia telah melakukan diplomasi untuk meyakinkan kawasan, termasuk terhadap Indonesia, tentang niat damainya dan komitmennya terhadap non-proliferasi, efektivitas upaya ini masih harus dibuktikan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, dapat dinilai bahwa AUKUS, khususnya Pilar-I, telah memperkenalkan variabel ketidakpastian baru yang berpotensi memicu friksi dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia jika tidak disertai dengan dialog keamanan yang lebih intensif, transparan, dan substantif antara kedua negara.

Pendekatan Strategis Indonesia melalui Diplomasi dan Deterrence

Menghadapi realitas strategis baru pasca-AUKUS, Indonesia tidak dapat bersikap pasif atau sekadar reaktif. Pendekatan strategis yang komprehensif dan multidimensi diperlukan untuk melindungi kepentingan nasionalnya, menjaga stabilitas kawasan, dan mengelola hubungan dengan Australia. Solusi utama terletak pada penguatan diplomasi yang gigih dan persuasif. 

Indonesia harus memanfaatkan posisinya sebagai kekuatan utama di ASEAN untuk memimpin upaya kolektif dalam merumuskan respons kawasan yang kohesif terhadap AUKUS. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong adopsi posisi bersama ASEAN atau setidaknya memperkuat dialog tentang AUKUS dalam forum-forum seperti KTT ASEAN dan ASEAN Regional Forum (ARF). Tujuannya adalah untuk menekan Australia dan anggota AUKUS lainnya agar lebih transparan mengenai rencana implementasi perjanjian, khususnya yang berkaitan dengan operasi kapal selam nuklir di perairan kawasan, dan untuk menegaskan kembali komitmen mereka terhadap perdamaian, stabilitas, dan non-proliferasi di kawasan.

Secara paralel, Indonesia harus secara bilateral mengintensifkan dialog keamanan dengan Australia melalui mekanisme yang sudah ada, seperti Pertemuan Tingkat Menlu dan Menhan Indonesia-Australia (2+2 Meeting). Dialog ini harus bersifat jujur dan langsung, membahas kekhawatiran strategis Indonesia secara terbuka, dan mencari jaminan konkret dari Australia mengenai tata cara operasi kapal selam nuklirnya di sekitar perairan Indonesia. Lebih dari sekadar diplomasi, Indonesia juga harus mempercepat modernisasi dan peningkatan kemampuan pertahanannya sendiri, khususnya di domain maritim. 

Penguatan armada kapal selam konvensional, pengembangan kemampuan anti-kapal selam (ASW), serta peningkatan kemampuan pengawasan maritim (maritime domain awareness/MDA) melalui radar, satelit, dan pesawat patroli maritim bukan lagi sebuah opsi melainkan suatu keharusan. Peningkatan kemampuan deterrence ini tidak ditujukan untuk terlibat dalam perlombaan senjata dengan Australia, melainkan untuk membangun credible defense posture yang dapat menjamin kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia, sekaligus memberikan pondasi yang kuat bagi diplomasi yang dilakukan. Dengan kata lain, Indonesia perlu membangun ketahanan nasional (national resilience) yang tangguh untuk menghadapi ketidakpastian strategis yang dibawa oleh AUKUS.

Rekomendasi Kebijakan Konkret untuk Indonesia

Berdasarkan analisis dan solusi yang diuraikan, berikut adalah rekomendasi aksi konkret yang dapat diimplementasikan oleh Pemerintah Indonesia dalam merespons AUKUS. Pertama, di tingkat multilateral, Indonesia harus mengambil inisiatif untuk mengusulkan dibentuknya sebuah ASEAN Study Group on AUKUS. 

Kelompok kerja ini, yang melibatkan pakar militer, diplomat, dan ahli non-proliferasi dari negara-negara anggota ASEAN, akan bertugas untuk secara komprehensif menganalisis implikasi AUKUS terhadap keamanan kawasan, mengidentifikasi potensi risiko, dan merumuskan rekomendasi kebijakan kolektif untuk diajukan kepada para pemimpin ASEAN. Langkah ini akan memposisikan ASEAN sebagai pemain proaktif yang tidak hanya sekadar bereaksi terhadap kebijakan kekuatan besar, melainkan mampu mengelola dampaknya secara kolektif.

Kedua, pada tingkat bilateral dengan Australia, Indonesia perlu mengajukan proposal untuk membentuk AUKUS-specific working group di bawah payung dialog 2+2. Kelompok kerja teknis ini akan fokus membahas tiga agenda utama: transparansi dan confidence-building measures (CBMs) terkait pergerakan kapal selam nuklir Australia, kerja sama teknis dalam bidang maritime domain awareness untuk mencegah insiden di laut, serta komitmen bersama untuk memperkuat rezim non-proliferasi nuklir.

Ketiga, secara domestik, Pemerintah Indonesia harus segera mereview dan mempercepat implementasi Rencana Strategis (Renstra) Pertahanan jangka menengah dan panjang, dengan fokus khusus pada penguatan Komando Armada RI dan peningkatan kemampuan anti-access/area denial (A2/AD) di laut. Alokasi anggaran pertahanan harus dioptimalkan untuk procurement yang tepat sasaran, seperti pengadaan kapal selam baru, pesawat patroli maritim Boeing P-8 Poseidon, serta investasi dalam sistem sonar dan underwater surveillance yang canggih. Tindakan ini bukanlah untuk memicu arms race, melainkan sebuah langkah prudent untuk memastikan bahwa keseimbangan kekuatan maritim tetap terjaga dan kedaulatan nasional tetap terlindungi dalam lanskap keamanan yang berubah dengan cepat.

Penutup

Kehadiran AUKUS telah menjadi katalis yang memaksa negara-negara di kawasan Indo-Pasifik, termasuk Indonesia, untuk melakukan reevaluasi mendalam terhadap postur pertahanan dan strategi diplomasinya. Tiga pilar AUKUS, dengan Pilar-I nya yang paling menonjol, bukan sekadar perjanjian teknis militer, melainkan sebuah pernyataan strategis yang mengonfirmasi semakin tajamnya persaingan antara kekuatan besar di kawasan ini. Bagi Indonesia, perkembangan ini membawa serta tantangan yang signifikan terhadap stabilitas kawasan yang menjadi pilar politik luar negerinya, sekaligus terhadap hubungan bilateralnya dengan Australia yang sudah penuh dengan dinamika.

Namun, dalam setiap tantangan selalu terdapat peluang. AUKUS dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat leadership-nya di ASEAN, mendorong diplomasi yang lebih assertive, dan mempercepat modernisasi pertahanan yang selama ini berjalan lambat. Kunci untuk mengelola dampak AUKUS terhadap hubungan Indonesia-Australia terletak pada komunikasi yang intensif, transparansi, dan kemauan kedua pihak untuk secara jujur mengakui dan mengatasi perbedaan persepsi ancaman. 

Masa depan hubungan bilateral ini akan sangat ditentukan oleh kemampuan Australia untuk memberikan jaminan yang dapat dipercaya mengenai operasi kapal selam nuklirnya dan komitmennya terhadap stabilitas kawasan, serta kemampuan Indonesia untuk menerima realitas geopolitik baru sambil terus memperkuat ketahanan nasionalnya. Pada akhirnya, navigasi yang hati-hati dan bijaksana melalui kompleksitas ini sangat penting untuk memastikan bahwa AUKUS tidak menjadi sumber perpecahan, melainkan sebuah faktor yang, meskipun menantang, dapat dikelola untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Indo-Pasifik. rmol news logo article
 

*Penulis adalah Laksamana Muda TNI (Purn), sehari-hari sebagai Kadep Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Executive Director, Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS), Dosen Pasca Sarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan, Penasehat Indopacific Strategic Intelligence (ISI), dan Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia. Kegiatan lain sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator Firma Hukum Legal Jangkar Indonesia. 


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA