Dunia luar sering hanya melihat wajah militer dan politik Israel, tetapi di dalam, banyak suara kritis dan reflektif. Salah satunya datang dari para pemikir Yahudi sendiri, yang lantang memperingatkan bahwa identitas dan masa depan bangsa mereka bergantung pada keberanian berkomunikasi dan berkompromi.
Di garis depan, suara-suara itu terdapat empat sosok berpengaruh: Thomas L. Friedman, Yuval Noah Harari, Amos Oz, dan David Grossman. Mereka bukan sekadar komentator, melainkan figur global yang pemikirannya sudah lama mengarungi perdebatan publik dan membentuk cara dunia memandang konflik Israel–Palestina.
Thomas L. Friedman adalah salah satu di antaranya. Ia lahir di Minneapolis, Minnesota, pada 1953, dan sejak muda sudah menunjukkan ketertarikan mendalam terhadap politik Timur Tengah. Ia belajar bahasa Arab dan memulai karier sebagai koresponden Timur Tengah untuk
The New York Times, di mana reportase-reportase tajamnya membawanya meraih Pulitzer Prize hingga tiga kali.
Sebagai jurnalis dan penulis, Friedman dikenal sebagai penganjur solusi pragmatis untuk konflik Israel–Palestina. Ia tak lelah mengingatkan bahwa masa depan Yahudi di tanah perjanjian hanya bisa bertahan bila didasarkan pada nilai keadilan dan pengakuan akan hak orang lain.
Selain sebagai kolumnis tetap
The New York Times, Friedman juga penulis banyak buku yang memengaruhi pemikiran publik global, seperti "From Beirut to Jerusalem" (1989), sebuah memoir perjalanannya meliput perang dan politik Timur Tengah, hingga "The Lexus and the Olive Tree" (1999), "Longitudes and Attitudes" (2002), "The World is Flat" (2005), "Hot, Flat, and Crowded" (2008), "That Used to Be Us" (2011), dan "Thank You for Being Late" (2016).
Semua karyanya membawa pembaca ke dalam perbincangan tentang globalisasi, perubahan iklim, dan politik dunia, tetapi selalu berakar pada kepekaan sejarah dan kemanusiaan. Bagi Friedman, solusi dua negara bukan sekadar pilihan politik, melainkan harga moral agar demokrasi Yahudi tetap bisa hidup berdampingan dengan sejarah dan geografinya sendiri.
Di sisi lain, Yuval Noah Harari menawarkan perspektif yang lebih luas dan historis. Lahir di Kiryat Ata, Haifa, pada 1976, Harari belajar sejarah di Universitas Hebrew dan kemudian menulis buku-buku yang menjadikannya salah satu pemikir publik paling berpengaruh di dunia.
"Sapiens: A Brief History of Humankind" (2014), "Homo Deus: A Brief History of Tomorrow" (2015), dan "21 Lessons for the 21st Century" (2018) adalah trilogi karyanya yang memikat pembaca di seluruh dunia, termasuk di Aceh dan Indonesia. Semua karyanya telah diterjemahkan paling kurang ke dalam 60 bahasa.
Sebagai sejarawan dan filsuf, Harari melihat konflik Israel–Palestina bukan hanya sebagai perebutan tanah, melainkan sebagai cermin psikologi kolektif dan trauma sejarah bangsa Yahudi. Ia berkali-kali memperingatkan bahwa ketakutan eksistensial dan ingatan tentang penderitaan di Eropa selama Holocaust-pemusnahan Yahudi oleh Nazi Hitler, harus disembuhkan agar mereka berani berkompromi.
Dalam berbagai wawancara dan esainya, Harari menekankan bahwa dua negara berdampingan adalah jalan menuju kedewasaan politik dan moral Yahudi. Baginya, tanpa pengakuan bahwa bangsa Palestina pun punya sejarah dan luka sendiri, Israel akan terus terkunci dalam lingkaran rasa tidak aman dan ketidakmampuan keluar dari perang.
Harari bahkan berkata dalam salah satu wawancaranya, “Solusi dua negara bukan hanya soal perjanjian di atas kertas. Ini soal keberanian untuk meruntuhkan dinding ketakutan dan belajar melihat orang lain sebagai manusia.” Ia yakin, hanya lewat kejujuran dan pengakuan semacam itu, Yahudi bisa benar-benar merawat makna negaranya di dunia modern.
Amos Oz dan David Grossman melengkapi dua suara di atas dari ranah sastra dan moral. Amos Oz, lahir di Jerusalem, adalah penulis dan pembela gigih ide dua negara hingga akhir hayatnya. Dalam novel dan esainya, Oz memperingatkan bahwa menolak kompromi sama saja menjerumuskan bangsa Yahudi menuju bentuk baru pengasingan moral.
David Grossman, penulis peraih "Man Booker International Prize", bahkan lebih tegas. Pada berbagai kesempatan, sebagai seorang ayah Yahudi, ia berkata bahwa keberanian untuk berbagi tanah adalah bentuk cinta sejati terhadap anak-anaknya dan masa depan mereka.
Empat tokoh ini, Friedman, Harari, Oz, dan Grossman, bersepakat bahwa dua negara bukanlah impian kosong, melainkan keniscayaan sejarah. Bagi mereka, negeri Yahudi harus hidup berdampingan secara damai dan bermartabat di tanahnya, agar nilai dan identitasnya tak tergilas paranoia dan kekerasan. Jika mereka bicara soal kompromi, itu bukan kelemahan. Itu adalah bentuk kekuatan terbesar sebuah bangsa.
Jalan pikiran empat tokoh ini berangkat dari kegelisahan mendasar bahwa keberlanjutan Israel sebagai negara dan sebagai masyarakat hanya bisa dicapai bila berani menempuh jalan damai dan kompromi, betapapun sulit dan berliku. Yuval Noah Harari, sebagai sejarawan global, memandang konflik bukan sekadar soal politik dan perbatasan, tetapi soal narasi identitas dan ketakutan yang terus diwariskan antargenerasi.
Harari menekankan bahwa trauma sejarah Yahudi — mulai dari penganiayaan di Eropa hingga holocaust oleh Nazi— melahirkan mentalitas benteng dalam masyarakat Israel. Namun, ia juga memperingatkan bahwa dinding ketakutan itu justru membuat bangsa Yahudi makin terjebak dalam spiral kekerasan dan kehancuran moral.
Bagi Harari, solusi dua negara bukan hanya soal pembagian tanah, melainkan terapi kolektif untuk membebaskan generasi mendatang dari penjara sejarah.
Di sisi lain, Friedman menguraikan konflik ini dalam kerangka geopolitik dan kepentingan strategis. Ia melihat Israel dan Palestina seperti dua entitas yang terjebak dalam “rumah berasap” dan hanya bisa keluar bila mau bekerja sama memadamkan api.
Friedman berulang kali menekankan bahwa status quo hanya memperpanjang derita dan membuat kawasan makin rawan di mata dunia. Baginya, solusi dua negara bukanlah gagasan utopis, melainkan prasyarat agar Israel tetap demokratis dan Yahudi sekaligus, agar Israel tidak tenggelam dalam dilema demografis dan politik yang bisa membuatnya menjadi negara apartheid.
Sementara Amos Oz membawa pembaca lebih jauh ke dalam relung batin masyarakatnya. Dalam esai dan wawancara, Oz kerap menggunakan metafora perceraian untuk menggambarkan kebutuhan memisahkan dua bangsa demi kebaikan keduanya. Ia yakin bahwa cinta kepada tanah dan cinta kepada sesama harus bisa berjalan seiring, dan kompromi harus dilihat sebagai bentuk keberanian, bukan kelemahan.
Dalam pandangan Oz, dua negara adalah pengakuan bahwa sejarah dan penderitaan adalah milik kedua pihak, dan bahwa keadilan hanya bisa ditegakkan bila kita bersedia memberi ruang untuk narasi liyan.
David Grossman menambah kedalaman personal dan emosi. Sebagai ayah yang kehilangan putranya di medan perang, ia menulis dan berbicara dengan intensitas moral bahwa keberlanjutan konflik hanya melahirkan lebih banyak luka.
Grossman percaya bahwa bangsa Israel harus menghadapi kenyataan bahwa keamanan sejati hanya bisa dicapai bila diiringi pengakuan dan empati terhadap Palestina. Ia berargumen bahwa kesediaan untuk menempuh jalan damai adalah bentuk penghormatan tertinggi kepada mereka yang gugur — agar pengorbanan mereka tidak sia-sia dan agar anak-anak mereka kelak bisa tumbuh tanpa harus memegang senjata.
Keempatnya sepakat bahwa solusi dua negara bukanlah sekadar dokumen politik, melainkan langkah bersejarah untuk memutus mata rantai dendam. Bagi mereka, hanya lewat pengakuan, pembagian, dan keberanian untuk berempati, dua bangsa ini bisa melampaui ketakutan masa lalu dan membangun narasi baru untuk generasi mendatang.
Dan di sini, pembaca Aceh bisa belajar banyak. Aceh sendiri pernah menempuh jalan panjang menuju perdamaian dan pengakuan, merawat luka sejarah hingga mau berbicara dan membuka diri dan membangun masa depan. Semangat ini, dalam bentuknya sendiri, mirip pesan Friedman dan Harari.
Menurut mereka, keteguhan dan kelembutan bisa tumbuh berdampingan, dan bahwa hanya dalam kedewasaan politik dan pengakuan akan yang lain, identitas bisa terjaga dan bercahaya di tanah sendiri.
Penulis adalah Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh
BERITA TERKAIT: