Kini, pertanyaan yang tak lekang oleh waktu kembali mengemuka: Apakah Syiah benar-benar bagian dari Islam?
Pertanyaan ini bukan sekadar gugatan sektarian. Ini adalah soal prinsip akidah. Islam sebagai agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW telah memiliki pokok keimanan yang jelas dan baku, sebagaimana termaktub dalam rukun iman dan rukun Islam. Ketika sebuah kelompok menyimpang secara fundamental dari dua hal itu, maka wajar bila status keislamannya dipertanyakan, bukan karena kebencian, melainkan karena keharusan menjaga kemurnian agama.
Syiah, khususnya aliran Imamiyah Itsna ‘Asyariyah yang menjadi mazhab resmi Republik Islam Iran, memiliki keyakinan bahwa para imam keturunan Ali bin Abi Thalib adalah ma’shum (tidak berdosa) dan memiliki otoritas spiritual serta politik melebihi Nabi Muhammad SAW setelah wafatnya.
Ini jelas bertentangan dengan prinsip Islam yang menutup kenabian pada Muhammad SAW dan tidak mengenal konsep imamah ma’shum dalam kepemimpinan umat.
Lebih dari itu, sebagian literatur Syiah secara terbuka mengkafirkan para sahabat Nabi. Termasuk Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Aisyah RA. Mereka dituduh merampas kekuasaan yang seharusnya menjadi hak Ali. Padahal, para sahabat itu justru dijunjung tinggi dalam tradisi Sunni sebagai murid langsung Rasulullah dan penjaga ajaran Islam setelah wafatnya beliau. Pengingkaran terhadap keutamaan sahabat merupakan bentuk distorsi sejarah dan serangan terhadap fondasi penyebaran Islam itu sendiri.
Dalam praktik ibadah, perbedaan makin kentara. Syiah mengenal taqiyah, yakni menyembunyikan keyakinan ketika menghadapi tekanan, yang dalam praktik ekstremnya bisa mengarah pada pembohongan demi maslahat kelompok.
Mereka juga merayakan Asyura dengan ritual melukai diri, mencaci sahabat, serta ziarah kubur yang melampaui batas, bahkan dalam beberapa kasus cenderung menyerupai penyembahan terhadap makam imam. Semua ini jauh dari ajaran Islam yang hanif dan mengedepankan tauhid.
Di balik teologi, Syiah juga tampil sebagai kekuatan politik tersendiri. Kelahiran Republik Islam Iran pada 1979 di bawah Ayatollah Khomeini menandai kebangkitan politik Syiah dalam skala negara. Sejak itu, identitas Syiah tak hanya menjadi soal akidah, melainkan alat ideologi yang menyebar melalui jejaring kekuasaan di Lebanon (Hizbullah), Suriah (pro-Assad), Irak, hingga Yaman (Houthi). Mereka kerap bersinggungan dengan kepentingan negara-negara Sunni dan menjadi ancaman geopolitik di Timur Tengah.
Meski demikian, penyikapan terhadap Syiah harus tetap berlandaskan prinsip keadilan dan kedewasaan intelektual. Kritik terhadap Syiah bukanlah pembenaran untuk kekerasan atau penganiayaan terhadap individu. Tidak semua penganut Syiah memahami kompleksitas ideologi yang mereka warisi. Banyak dari mereka lahir dan besar dalam lingkungan tersebut tanpa pernah belajar Islam dari sumber utama yang benar. Maka dakwah dan dialog tetap harus dikedepankan.
Namun negara dan umat Islam tak boleh abai. Di tengah kaburnya batas-batas antara toleransi dan kompromi akidah, kita dituntut untuk berani mengatakan yang benar. Syiah, dengan segala penyimpangannya, bukanlah sekadar mazhab dalam Islam. Ia adalah bentuk lain dari agama tersendiri yang menjiplak Islam namun dengan akidah berbeda, sejarah yang ditulis ulang, dan agenda politik yang terselubung.
Dalam perspektif ini, menyebut Syiah sebagai bagian dari Islam bukan hanya tidak tepat, tapi juga bisa menyesatkan. Kita harus belajar membedakan antara ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan) dan ukhuwah diniyah (persaudaraan dalam agama). Menghormati keberadaan mereka sebagai sesama manusia tak lantas menjadikan kita harus mengakui keyakinannya sebagai bagian dari Islam.
Seperti kata pepatah Arab:
Al-haqqu la yu’rafu bir-rijal, walakinir-rijal yu’rafuuna bil-haqq, kebenaran bukan diukur dari siapa yang membawanya, tapi siapa yang mengikuti kebenaranlah yang layak diikuti.
Maka, dalam perkara Syiah, kebenaran akidah Islam harus dijaga dari segala bentuk penyimpangan, walau dengan harga ketegasan dan ketidakpopuleran. Sebab pada akhirnya, mempertahankan kemurnian agama adalah bentuk cinta sejati terhadap Islam dan umatnya.
Penulis adalah pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, dan esais
BERITA TERKAIT: