Namun, kepuasan awal bukan jaminan stabilitas. Seiring waktu, muncul berbagai kontroversi di tubuh kabinet, yang justru mengikis optimisme publik. Gegap gempita kemenangan mulai redup, berganti dengan sorotan tajam terhadap kinerja para menteri.
Kisruh di dalam pemerintahan ini menjadi ujian besar bagi Prabowo-Gibran. Apakah mereka mampu menjaga kepercayaan rakyat dan menjawab tantangan yang ada? Ataukah ini akan menjadi awal dari krisis politik yang lebih besar? Jawabannya akan ditentukan oleh langkah-langkah strategis yang diambil dalam waktu dekat.
Salah satu kasus yang paling disorot adalah dugaan abuse of power oleh Menteri Desa PDT Yandri Susanto. Ia diduga memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan politik dinasti dengan meloloskan istrinya dalam Pilkada Serang 2024. Jika benar, ini bukan hanya bentuk penyalahgunaan kewenangan, tetapi juga mencederai prinsip demokrasi yang bersih.
Tak hanya itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia juga menuai kritik. Ia dianggap gagal mengatasi kelangkaan gas, yang berimbas pada keresahan rakyat. Tak berhenti di situ, ia juga terjerat dalam kontroversi gelar akademiknya, yang memunculkan tanda tanya besar soal integritasnya sebagai pejabat negara.
Selain masalah individu di kabinet, polemik di sektor hukum juga makin memanas. Wacana revisi UU ITE dan KUHP dinilai semakin represif, mengarah pada pembungkaman kebebasan berpendapat. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi ancaman serius bagi demokrasi Indonesia.
Dengan berbagai persoalan ini, Prabowo tak bisa tinggal diam. Pemerintahannya menghadapi tantangan besar, bukan hanya di sektor ekonomi dan energi, tetapi juga dalam menjaga kredibilitas demokrasi di mata rakyat.
Melihat kinerja buruk beberapa menteri, wacana reshuffle kabinet semakin mencuat. Jika benar terjadi, Prabowo harus berani menyingkirkan figur-figur bermasalah dan menggantinya dengan pemimpin yang berintegritas dan berpihak pada rakyat.
Indonesia masih memiliki banyak anak bangsa yang kompeten. Salah satu nama yang bisa dipertimbangkan adalah Harvick Hasnul Qolbi, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Menteri Pertanian di era Jokowi-Ma’ruf Amin. Pengalamannya bisa menjadi aset berharga bagi pemerintahan saat ini.
Ke depan, Prabowo-Gibran harus segera bertindak. Jika reshuffle hanya menjadi wacana tanpa realisasi, kepercayaan rakyat akan semakin menurun. Apakah Prabowo akan mengambil langkah tegas dan membuktikan komitmennya untuk perubahan? Atau justru membiarkan kabinetnya terus dirundung kontroversi?
Kasus MinyaKita dan merosotnya APBN bikin kepercayaan publik goyah. Sorotan lainnya mengarah kepada kinerja Menteri Perdagangan Budi Santoso, yang gagal menjaga stabilitas harga minyak subsidi "MinyaKita". Produk yang sejatinya menjadi tumpuan masyarakat miskin, justru mengalami kelangkaan dan kenaikan harga. Ironisnya, penyimpangan ini ditemukan bukan oleh Kementerian Perdagangan, melainkan oleh lembaga lain.
Ketidakmampuan mengendalikan harga kebutuhan pokok adalah alarm bahaya bagi ekonomi rakyat. Jika tidak ada langkah konkret, kepercayaan publik terhadap pemerintah bisa semakin menurun. Evaluasi mendalam, bahkan pencopotan pejabat yang gagal, menjadi langkah yang harus dipertimbangkan.
Kabar buruk lainnya yaitu defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa hingga 28 Februari 2025, defisit APBN telah mencapai Rp31,2 triliun atau 0,13 persen dari PDB. Angka ini masih dalam proyeksi, tetapi tren penurunan penerimaan pajak menunjukkan sinyal waspada.
Fakta bahwa penerimaan pajak per 31 Januari 2025 hanya Rp115,18 triliun, turun 34,48 persen dibandingkan Januari 2024. Dan setoran pajak (tanpa bea dan cukai) hanya Rp88,89 triliun, turun drastis 41,86 persen dibandingkan tahun sebelumnya, berdampak langsung pada daya beli masyarakat, investasi, dan stabilitas ekonomi nasional. Jika tidak ada langkah cepat, Indonesia bisa terjebak dalam krisis ekonomi yang lebih dalam.
Sebagai pemimpin tertinggi negara, Presiden Prabowo tak bisa tinggal diam. Hak prerogatif yang dimilikinya harus digunakan untuk mengevaluasi kinerja para pembantunya. Beberapa langkah yang mendesak untuk dilakukan, antara lain, melakukan sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter.
Pemerintah harus memastikan harmonisasi kebijakan ekonomi agar sentimen pasar tetap positif dan stabil. Kemudian fokus pada investasi di sektor strategis yang dapat menopang pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Dan melakukan langkah konkret untuk
soft landing dan
exit strategy dalam pembiayaan pemulihan ekonomi nasional harus segera dirancang dan diterapkan.
Sebab bagi penulis, krisis ekonomi dan kegagalan menteri dalam menjalankan tugasnya bukan sekadar polemik, tetapi ancaman nyata bagi stabilitas nasional. Prabowo harus segera mengambil tindakan tegas sebelum kepercayaan publik benar-benar runtuh.
Jika langkah-langkah strategis tidak segera diterapkan, maka pemerintahan ini bisa kehilangan momentum untuk membawa Indonesia menuju arah yang lebih baik. Saatnya bertindak sebelum terlambat!
*Penulis adalah Co-Founder Forum Intelektual Muda
BERITA TERKAIT: