Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Meniti Buih Reunifikasi Korea

OLEH: MOH. SAMSUL ARIFIN*

Senin, 17 Februari 2025, 23:13 WIB
Meniti Buih Reunifikasi Korea
Para pendukung reunifikasi Semenanjung Korea berkumpul di perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan tahun 2013./RMOL
INI cerita tentang dua negara (state) yang diikat sejarah yang kental sebagai satu bangsa (nation), namun harus terpisah. Sebagai bangsa, Korea Utara dan Korea Selatan terhubung dalam ribuan tahun "kebersamaan" yang berpuncak pada Kerajaan Joseon atau Choson tahun 1393 dengan Kaisar pertama, Yi Seong-gye atau Jenderal Taejo. Kerajaan ini berpusat di Kaesong, yang kini masuk wilayah Korea Utara.

Dalam sejarah konflik dua Korea, Kaesong sempat menjadi harapan untuk memupuk penyatuan kembali atau reunifikasi tatkala daerah ini menjadi zona industri yang menampung 125 perusahaan dari Korea Selatan serta mempekerjakakan 55 ribu warga Korea Utara. Belakangan, zona industri Kaesong ditutup akibat ketegangan dua Korea yang berujung keputusan Korea Utara membatalkan perjanjian peningkatan kerja sama ekonomi dengan Korea Selatan. Ini seolah menjadi gambaran kecil tentang nasib reunifikasi Semenanjung Korea yang suram.

Deskripsi Buku

Judul: Reunifikasi Korea: Game Theory
Penulis: Teguh Santosa
Penerbit: Booknesia, Januari 2025
Tebal: xix + 314 halaman

Meski terikat sebagai satu bangsa, ikhtiar dua Korea untuk bersatu dalam payung satu negara mendaki rute terjal. Menjadi negara-bangsa (nation state) seperti yang diungkap Benedict Anderson dalam "Imagined Community" ternyata penuh kerikil tajam, bahkan menuju jalan buntu. Negara tetangga, yakni Jepang, telah menduduki Semenanjung Korea sejak awal abad 20. Jadi, warga Korea punya perasaan senasib sebagai bangsa terjajah, diinjak-injak oleh imperialis serta dilucuti identitas budayanya oleh Jepang. 

Sejarah Korea berubah setelah Jepang takluk pada Sekutu pada Agustus 1945. Perang Dunia Kedua pun berakhir. Tapi, alih-alih bersatu, bangsa yang menghuni Semenanjung Korea malah tercerai-berai. Satu bagian atau wilayah di Selatan mendirikan Republik Korea atau Korea Selatan. Sedangkan satu bagian atau wilayah di Utara mendeklarasikan Republik Rakyat Demokratik Korea (RRDK) atau Korea Utara.

Satu bangsa ini terbelah menjadi dua negara pada tahun 1948, cuma berbeda bulan, dan tampak sebagai aksi-reaksi antara Selatan dan Utara. Bahkan, kedua negara sempat berperang antara 1950 sampai 1953. Selepas itu dua Korea lalu dipisahkan oleh garis paralel di 38 derajat Lintang Utara yang terletak di Panmunjom. Sebuah garis pemisah yang lalu menjadi zona demiliterisasi (Demilitarized Zone). 

Korea Selatan di tangan pendirinya, Presiden Syngman Rhee, berkiblat pada Amerika Serikat dan memilih demokrasi sebagai sistem politik mereka. Rhee ini lahir di Pongchon, 26 Maret 1875, sebuah wilayah yang kini masuk Korut. Dia mengalami masa Dinasti Joseon, antikomunis, antiasing dan otoriter.

Adapun Korea Utara berhaluan politik yang tertutup dan kepemimpinan terpusat dengan Kim Il Sung sebagai "the founding fathers" satu kutub dengan Uni Soviet (setelah ambruk berganti nama menjadi Rusia) serta China.

***

Buku ini berasal dari disertasi "Reunifikasi Korea dengan Keterlibatan Multipihak: Suatu Studi Melalui Game Theory" di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung.

Dalam buku ini, penulisnya, Teguh Santosa, berupaya membaca prospek unifikasi di Semenanjung Korea dengan mendalami dinamika di lingkungan internal dan eksternal kedua Korea. Hal itu dianggap berpengaruh dalam pembuatan kebijakan luar negeri kedua Korea.

Teguh Santosa adalah seorang jurnalis, dosen dan sekaligus diplomat yang intim dengan isu Korea, terutama Korea Utara. Saya sebut diplomat, tanpa terkurung definisi kaku atas profesi diplomat, karena Teguh adalah utusan Rachmawati Soekarnoputri (putri ideologis Bung Karno) untuk mewakilinya ke Pyongyang, Korea Utara di tahun 2003 dan 2015. Kita tahu Bung Karno adalah seorang pemimpin Asia, bahkan juru bicara Dunia Ketiga, yang begitu tergoda mewujudkan perdamaian dunia dan menyadari bahwa perbedaan ideologi politik dan lain-lain adalah suatu keniscyaan di dunia beradab.

Pada Oktober 2015, Teguh bahkan mewakili Rachmawati untuk memberikan trofi dan sertifikat "Star of Soekarno" kepada pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un. Anugerah untuk Kim Jong Un itu diserahkan Teguh pada Presiden Presidium Majelis Tertinggi Rakyat Korea, Kim Yong Nam.

Satu lagi, Teguh getol mengampanyekan dan memperjuangkan reunifikasi damai Semenanjung Korea lewat "Asia Pasific Regional Committee for Peaceful Reunification of Korea". Ini menjelaskan betapa intim dan begitu dekatnya Teguh dengan isu atau topik yang dia teliti dan lalu dibukukan menjadi "Reunifikasi Korea: Game Theory" ini.

Buku ini memang berasal dari disertasi, tapi bukan sejenis karya ilmiah yang bikin dahi berkerut karena ruwetnya cerita dan cara menyampaikan (penulisan) yang membuat pembaca menggerutu. Sebaliknya buku ini ditulis dengan renyah, mengalir dan taat pada bahasa Indonesia yang baku, tapi tidak beku. Sebuah buku yang berbicara dengan tertib, runtut dan sistematis sehingga lengkap menyuguhkan dinamika lingkungan internal dua Korea serta dinamika lingkungan internasional, yang mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, berpengaruh dan menentukan arah angin perdamaian dan reunifikasi di negara penting di Asia Timur itu. 

***

Selain aspek historis, dua negara memiliki modal penting -- kalau bukan insentif -- untuk maju ke meja perundingan dan bernegosiasi karena memasukkan urgensi reunifikasi dalam konstitusi masing-masing. Walau begitu, menurut Teguh, perspektif, orientasi dan tujuan reunifikasi kedua negara itu berbeda. Konstitusi Korsel menyebutkan wilayah Republik Korea terdiri atas Semenanjung Korea dan pulau-pulau yang berdekatan dengannya. 

Konstitusi Korea Utara menyatakan negara revolusioner itu mewakili tradisi unggul yang terbentuk sepanjang perjuangan melawan imperialis untuk mencapai kemerdekaan tanah air dan kesejahteraan rakyat. Bagi Korut, reunifikasi tak hanya terkait penyatuan kedua Korea, namun juga bagian dari perjuangan melepaskan diri dari pihak-pihak yang menjajah serta turut campur dalam hubungan antar-Korea (hal. 189). 

Aspek teritorial menonjol bagi reunifikasi impian Korsel, sementara Korut menandaskan reunifikasi bagian dari tekad mereka untuk lepas dari penjajahan. Pendiri Korut Kim Il Sung, yang memberi landasan ideologi sosialisme pada negaranya dalam "Juche", lalu diteruskan putranya, Kim Jong Il (Songun Chongchi) dan sang cucu, Kim Jong Un (Byungjin) taat menjalankan "tugas konstitusi" mereka dalam mengupayakan penyatuan dua Korea (hal 65-95).

Korut, Korsel dan Amerika Serikat berikhtiar membawa dua Korea untuk berdamai, dan bahkan bersatu kembali. Namun, dinamika internal di Korsel serta Amerika Serikat, ternyata lebih cair dan dinamis sehingga berpengaruh terhadap proses perdamaian serta reunifikasi Korea.

Di bawah Presiden Kim Daejung (1997), yang notabene progresif, Korsel menerbitkan "Sunshine Policy" yang mengedepankan pendekatan damai untuk rekonsiliasi dan mengurangi ketegangan di Semenanjung Korea. Itu berlanjut di bawah Presiden Roh Moohyun (2003-2007). 

Di masa itu, sepuluh ribu anggota keluarga Korea yang terpisah setelah Perang Korea dapat bertemu kembali. Bantuan ekonomi dan kemanusiaan dari Korsel ke Korut pun menggelembung dari 1,88 juta won (2003) menjadi 2,13 juta ton (2005). Di periode Daejung dan Moohyun, KTT Antar-Korea yang pertama dan kedua berlangsung tahun 2000 & 2007. Pemimpin Korut Kim Jong Il dan dua presiden Korsel dari kubu progresif itu tekun menyisir perdamaian. Setelah itu situasi berubah kubu ketika kubu konservatif berkuasa di Korsel. Lee Myungbak dan Park Geunhye membawa ikhtiar perdamaian surut ke belakang (hal. 109-124).

Moon Jaein, lalu memberi asa baru setelah terpilih menjadi Presiden Korsel tahun 2017. "Moonshine Policy" sukses merangkul Korut yang telah dinakhodai Kim Jong Un. Serangkaian pertemuan tingkat tinggi antara Korsel dan Korut pada April dan Mei 2018 di Panmunjom serta September 2018 di Pyongyang terlaksana. Kita masih ingat foto bersejarah bidikan wartawan Reuters ketika Moon Jaein mengulurkan tangannya dan dibalas salaman oleh Kim Jong Un di Panmunjom, 27 April 2018.

Korut dan AS juga menggelar pertemuan tingkat tinggi, yaitu di Singapura pada Juni 2018 dan di Hanoi, Vietnam pada Februari 2019. Dengan muram, Teguh melukiskan pertemuan Donald Trump dengan Kim Jong Un di Hanoi itu dalam kalimat berikut. "Di hari kedua pertemuan, Kim Jong Un menolak menandatangani draf Komunike yang telah disiapkan di atas meja. Dia berdiri, mengulurkan tangannya pada Trump, lalu balik kanan meninggalkan ruang pertemuan. Reunifikasi yang tadinya seakan sudah berada persis di depan mata kembali menjauh dan menghilang dari pandangan" (hal. 6).

Padahal, Korut telah bersedia menghancurkan sejumlah fasilitas nuklir mereka setelah pertemuan di Panmunjom, April 2018. Artinya denuklirisasi milik Korut bukan omong kosong. Kim Jong Un diduga tak meneken dokumen sebagai sinyal protes atas keterlambatan AS mengurangi sanksi, baik bilateral maupun multilateral, terhadap Korut. Kim Jong Un merasa pengorbanan Korut tidak dibalas langkah setimpal dari AS & Korsel.

Setelah itu perdamaian dan reunifikasi Korea bak menerjang angin. Korut  mengeras: Kembali mengisolasi diri serta mengedepankan program persenjataan nuklir. Itu dinilainya sebagai cara mempertahankan dan melindungi diri serta menghalau invasi negara lain. Kata Teguh, Korut menggenggam "Si vis pacem para bellum". Bila ingin perdamaian, bersiap-siaplah untuk perang (hal. 238).

Dan, ketika pada Januari 2024, Kim Jong Un menghapus reunifikasi Semenanjung dari tujuan nasional kemerdekaan Korut, agenda "Satu Korea" kian mustahil diwujudkan. Kesabaran Kim Jong Il serta Kim Daejung yang meniti buih reunifikasi Korea sejak 1997, membentur tembok tebal. Saat ini, mungkin perlu keajaiban besar dari pemimpin Korsel, Korut serta empat negara penting dan berpengaruh dalam hubungan dua negara, yaitu AS, Jepang, China dan Rusia untuk membawa "dua negara satu bangsa" itu kembali ke meja perundingan.

Andai harus ada satu catatan kritis, itu adalah tidak tampilnya suara warga (people) di kedua belah pihak tentang perdamaian dan urgensi reunifikasi Korea. Apa penting dan manfaatnya "Satu Korea" buat warga Korsel dan Korut. Betulkah itu memang diinginkan oleh mayoritas publik dua Korea? Buku ini memang memeriksa dan menyelidiki langkah dan tindakan aktor negara di dua belah pihak, plus faktor internasional yang juga merupakan aktor negara. Jadi, dapat dimaklumi, jika suara warga nyaris absen. rmol news logo article 

Penulis adalah mantan Produser Eksekutif Beritasatu TV.
EDITOR: JONRIS PURBA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.