Selain aspek historis, dua negara memiliki modal penting -- kalau bukan insentif -- untuk maju ke meja perundingan dan bernegosiasi karena memasukkan urgensi reunifikasi dalam konstitusi masing-masing. Walau begitu, menurut Teguh, perspektif, orientasi dan tujuan reunifikasi kedua negara itu berbeda. Konstitusi Korsel menyebutkan wilayah Republik Korea terdiri atas Semenanjung Korea dan pulau-pulau yang berdekatan dengannya.
Konstitusi Korea Utara menyatakan negara revolusioner itu mewakili tradisi unggul yang terbentuk sepanjang perjuangan melawan imperialis untuk mencapai kemerdekaan tanah air dan kesejahteraan rakyat. Bagi Korut, reunifikasi tak hanya terkait penyatuan kedua Korea, namun juga bagian dari perjuangan melepaskan diri dari pihak-pihak yang menjajah serta turut campur dalam hubungan antar-Korea (hal. 189).
Aspek teritorial menonjol bagi reunifikasi impian Korsel, sementara Korut menandaskan reunifikasi bagian dari tekad mereka untuk lepas dari penjajahan. Pendiri Korut Kim Il Sung, yang memberi landasan ideologi sosialisme pada negaranya dalam "
Juche", lalu diteruskan putranya, Kim Jong Il (S
ongun Chongchi) dan sang cucu, Kim Jong Un (
Byungjin) taat menjalankan "tugas konstitusi" mereka dalam mengupayakan penyatuan dua Korea (hal 65-95).
Korut, Korsel dan Amerika Serikat berikhtiar membawa dua Korea untuk berdamai, dan bahkan bersatu kembali. Namun, dinamika internal di Korsel serta Amerika Serikat, ternyata lebih cair dan dinamis sehingga berpengaruh terhadap proses perdamaian serta reunifikasi Korea.
Di bawah Presiden Kim Daejung (1997), yang notabene progresif, Korsel menerbitkan "
Sunshine Policy" yang mengedepankan pendekatan damai untuk rekonsiliasi dan mengurangi ketegangan di Semenanjung Korea. Itu berlanjut di bawah Presiden Roh Moohyun (2003-2007).
Di masa itu, sepuluh ribu anggota keluarga Korea yang terpisah setelah Perang Korea dapat bertemu kembali. Bantuan ekonomi dan kemanusiaan dari Korsel ke Korut pun menggelembung dari 1,88 juta won (2003) menjadi 2,13 juta ton (2005). Di periode Daejung dan Moohyun, KTT Antar-Korea yang pertama dan kedua berlangsung tahun 2000 & 2007. Pemimpin Korut Kim Jong Il dan dua presiden Korsel dari kubu progresif itu tekun menyisir perdamaian. Setelah itu situasi berubah kubu ketika kubu konservatif berkuasa di Korsel. Lee Myungbak dan Park Geunhye membawa ikhtiar perdamaian surut ke belakang (hal. 109-124).
Moon Jaein, lalu memberi asa baru setelah terpilih menjadi Presiden Korsel tahun 2017. "
Moonshine Policy" sukses merangkul Korut yang telah dinakhodai Kim Jong Un. Serangkaian pertemuan tingkat tinggi antara Korsel dan Korut pada April dan Mei 2018 di Panmunjom serta September 2018 di Pyongyang terlaksana. Kita masih ingat foto bersejarah bidikan wartawan
Reuters ketika Moon Jaein mengulurkan tangannya dan dibalas salaman oleh Kim Jong Un di Panmunjom, 27 April 2018.
Korut dan AS juga menggelar pertemuan tingkat tinggi, yaitu di Singapura pada Juni 2018 dan di Hanoi, Vietnam pada Februari 2019. Dengan muram, Teguh melukiskan pertemuan Donald Trump dengan Kim Jong Un di Hanoi itu dalam kalimat berikut. "Di hari kedua pertemuan, Kim Jong Un menolak menandatangani draf Komunike yang telah disiapkan di atas meja. Dia berdiri, mengulurkan tangannya pada Trump, lalu balik kanan meninggalkan ruang pertemuan. Reunifikasi yang tadinya seakan sudah berada persis di depan mata kembali menjauh dan menghilang dari pandangan" (hal. 6).
Padahal, Korut telah bersedia menghancurkan sejumlah fasilitas nuklir mereka setelah pertemuan di Panmunjom, April 2018. Artinya denuklirisasi milik Korut bukan omong kosong. Kim Jong Un diduga tak meneken dokumen sebagai sinyal protes atas keterlambatan AS mengurangi sanksi, baik bilateral maupun multilateral, terhadap Korut. Kim Jong Un merasa pengorbanan Korut tidak dibalas langkah setimpal dari AS & Korsel.
Setelah itu perdamaian dan reunifikasi Korea bak menerjang angin. Korut mengeras: Kembali mengisolasi diri serta mengedepankan program persenjataan nuklir. Itu dinilainya sebagai cara mempertahankan dan melindungi diri serta menghalau invasi negara lain. Kata Teguh, Korut menggenggam "
Si vis pacem para bellum". Bila ingin perdamaian, bersiap-siaplah untuk perang (hal. 238).
Dan, ketika pada Januari 2024, Kim Jong Un menghapus reunifikasi Semenanjung dari tujuan nasional kemerdekaan Korut, agenda "Satu Korea" kian mustahil diwujudkan. Kesabaran Kim Jong Il serta Kim Daejung yang meniti buih reunifikasi Korea sejak 1997, membentur tembok tebal. Saat ini, mungkin perlu keajaiban besar dari pemimpin Korsel, Korut serta empat negara penting dan berpengaruh dalam hubungan dua negara, yaitu AS, Jepang, China dan Rusia untuk membawa "dua negara satu bangsa" itu kembali ke meja perundingan.
Andai harus ada satu catatan kritis, itu adalah tidak tampilnya suara warga (
people) di kedua belah pihak tentang perdamaian dan urgensi reunifikasi Korea. Apa penting dan manfaatnya "Satu Korea" buat warga Korsel dan Korut. Betulkah itu memang diinginkan oleh mayoritas publik dua Korea? Buku ini memang memeriksa dan menyelidiki langkah dan tindakan aktor negara di dua belah pihak, plus faktor internasional yang juga merupakan aktor negara. Jadi, dapat dimaklumi, jika suara warga nyaris absen.
Penulis adalah mantan Produser Eksekutif Beritasatu TV.
BERITA TERKAIT: