Kutipan ini berulang-ulang disampaikan Donald Trump di masa kampanye, terutama jika ia sedang ingin menarik dukungan dari segmen pemilih yang kental dengan rasa keagamaan.
Memang dua kali Donald Trump menjadi target penembakan selama masa kampanye. Satu kali bahkan peluru mengenai telinganya, pada tanggal 13 Juli 2024.
Saat itu ia berkampanye di Pennsylvania. Jika saja peluru itu beberapa cm lebih ke tengah, mengenai kepala Donald Trump, akibatnya akan fatal.
Bagi pendukung fanatik Trump, yang konservatif dan meyakini intervensi Tuhan, kutipan Donald Trump itu meyakinkan mereka.
Bagaimana mungkin calon presiden yang sudah dua kali dikenakan proses impeachment, sekali dijatuhi hukuman bersalah untuk kasus kriminal, ribuan kali dicatat media berbohong, bisa menang pilpres 2024?
“Ini pasti intervensi Tuhan. Ini ada keajaiban di balik fenomena Trump.”
Tapi bagi saya sebagai konsultan politik, yang ikut serta memenangkan pilpres di Indonesia lima kali berturut-turut (2004, 2009, 2014, 2019, 2024), kemenangan Trump dapat dijelaskan dengan indikator yang sederhana saja: Approval Rating presiden petahana Joe Biden.
Mengukur Suhu Politik Melalui Approval Rating
Langkah pertama untuk memahami kemenangan Trump adalah dengan melihat tingkat kepuasan publik terhadap presiden petahana, Joe Biden.
Di bulan November 2024, tingkat approval rating Biden berada di angka sekitar 38,6 persen dengan tingkat ketidakpuasan mencapai 56,3 persen (1).
Sumber dari FiveThirtyEight menunjukkan bahwa Biden kehilangan dukungan signifikan, bahkan dari basis pendukungnya.
Dalam konteks politik, ketika persetujuan terhadap presiden rendah, kandidat yang menjanjikan perubahan biasanya akan meraih simpati besar dan menang.
Sebagai perbandingan, pada Pilpres 2024 di Indonesia, approval rating Jokowi selaku presiden petahana mencapai kisaran 75-82 persen.
Maka, waktu itu saya sebagai konsultan politik capres Prabowo, agar ia menang dalam pilpres 2024, strategi utamanya adalah mengaitkan Prabowo sekental mungkin dengan Jokowi.
LSI Denny JA pada Agustus 2024, jauh hari sebelum Mahkamah Konstitusi membolehkan Gibran maju sebagai cawapres, sudah mengumumkan bahwa Prabowo-Gibran memiliki peluang kuat mengalahkan pasangan lain.
Gibran selaku anak Jokowi, jika digandeng Prabowo, akan membuat asosiasi Prabowo dengan Jokowi sangat kuat.
Joe Biden adalah kasus yang terbalik. Asosiasi Kamala Harris dengan Joe Biden justru menjadi penyebab kekalahannya. Lebih banyak pemilih yang tak puas kepada Joe Biden selaku presiden dibandingkan yang puas.
Trump memang dicitrakan negatif oleh media arus utama, yang menyebutnya berbohong hingga 30.573 kali selama menjadi presiden (The New York Times). Itu citra yang sebenarnya bisa menghancurkan Trump.
Masalahnya, lawan Trump, Kamala Harris, punya kelemahan yang lebih besar lagi. Bukan masalah moral, tapi karena ia terasosiasi dengan Joe Biden, yang approval rating-nya sangat rendah.
Namun ada beberapa alasan lebih detail untuk menjelaskan kemenangan Donald Trump.
Pada pemilu Amerika, kunci untuk menang terletak pada mengamankan “swing states”. Itu negara bagian yang hasil pemilihannya sering kali berubah-ubah setiap pemilu.
Di wilayah Swing States, kadang capres Demokrat yang menang, kadang capres Republik yang unggul.
Itu berbeda dengan negara bagian yang pemenangnya selalu capres Republik seperti Texas, atau negara bagian yang pemenangnya selalu capres Demokrat seperti New York.
Negara-negara bagian Swing States meliputi Pennsylvania, Michigan, dan Wisconsin.
Apa yang Trump lakukan untuk menang di Swing States? Trump memanfaatkan ketakutan sebagian penduduk terhadap imigran ilegal yang dianggap merusak peluang kerja dan keamanan mereka.
Trump menggambarkan imigran ilegal sebagai “ancaman” terhadap integritas dan ekonomi nasional. Ini menarik simpati kelas pekerja dan mereka yang merasa hidupnya semakin terdesak.
Dengan retorika “America First,” Trump memperkuat pandangan bahwa hanya seorang pemimpin yang berkomitmen pada prioritas nasional yang mampu menjaga Amerika dari pengaruh luar.
Trump menyatakan ini tak bisa dilakukan oleh Joe Biden ataupun penerusnya, Kamala Harris.
Sentimen ini berhasil memengaruhi pemilih di swing states yang merasa terpinggirkan secara ekonomi dan ingin melihat kebijakan yang mendukung pekerja dalam negeri.
Melalui janji untuk memulihkan “kebanggaan Amerika” dan melindungi pekerjaan lokal, Trump juga mendapat dukungan kuat dari kalangan konservatif, nasionalis, dan pekerja kulit putih.
Mereka melihat Donald Trump sebagai pemimpin yang dapat menjaga nilai-nilai tradisional Amerika.
Trump juga mengusahakan agar kekalahannya di kalangan pemilih kulit berwarna?"Afrika-Amerika, Hispanik, dan Asia?"bisa diminimalisasi.
Trump memilih banyak tokoh Hispanik, kulit hitam, Muslim, dan Asia untuk menjadi juru kampanyenya. Itu untuk mengesankan kepada segmen pemilih minoritas bahwa Trump pun memperjuangkan nasib mereka.
Di segmen pemilih berpendidikan rendah, Trump menjanjikan kemudahan akses ekonomi dan pekerjaan yang berdaya saing tinggi, serta jaminan untuk memerangi inflasi.
Trump juga menggandeng Elon Musk untuk memberi keyakinan kepada para pengusaha bahwa ia adalah calon presiden yang pro-bisnis.
Dampak Kemenangan Trump untuk Indonesia
Kemenangan Trump tidak hanya menjadi isu dalam negeri Amerika Serikat. Ia juga membawa dampak signifikan bagi Indonesia.
Kebijakan Trump yang cenderung proteksionis dapat menghambat ekspor Indonesia. Sementara retorika anti-imigrasi dan kebijakan luar negeri yang agresif mungkin akan mempengaruhi diaspora Indonesia di Amerika Serikat.
Dari sisi geopolitik, pendekatan Trump yang condong kepada Israel bisa memperumit hubungan Indonesia di kawasan Timur Tengah, terutama dalam mendukung Palestina.
Di sisi lain, hubungan bilateral dalam bidang ekonomi bisa menjadi peluang baru bagi Indonesia jika mampu merangkul kebijakan bisnis Trump yang mendukung investasi langsung asing.
Trump yang pro-bisnis juga bisa membuka peluang kerja sama di sektor energi, terutama dalam proyek eksplorasi energi alternatif.
Dalam sejarah Amerika Serikat, Donald Trump akan menjadi catatan khusus. Karena ia tak hanya presiden pertama yang terpilih dengan catatan bersalah untuk kasus kriminal, yang pernah terkena impeachment dua kali, juga yang paling tua ketika terpilih (78 tahun).
Dan juga ia presiden yang pernah dikalahkan, dan kemudian menjadi presiden kedua kalinya, tidak berturut-turut.
“Trump memang contoh ‘The Mission Impossible.’ Ia simbol bahwa yang mustahil pun dapat diraih.”
BERITA TERKAIT: