Kemudian persoalannya adalah dalam UU Pemilu 7/2017 Pasal 283 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
Larangan tersebut meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Untuk kepentingan golongan, sekaligus senantiasa berharap terjadinya asas netralitas presiden pada momentum pemilu, maka norma dari kedua undang-undang tadi dihubungkan sangat erat dan dijadikan menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yaitu presiden dilarang untuk berpihak atau bertindak tidak netral dalam pemilu.
Akan tetapi UU Pemilu 7/2017 Pasal 299 ayat (1), (2), dan (3) menyatakan bahwa Presiden dan Wapres, pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota parpol; maupun pejabat negara lainnya yang bukan berstatus sebagai anggota parpol, dapat melaksanakan kampanye, apabila sudah didaftarkan ke KPU.
Oleh karena mempunyai hak berkampanye, maka asas netralitas kemudian direlaksasi dengan melakukan cuti dan dilarang menggunakan fasilitas negara. Disebabkan berbeda kepentingan, maka tafsir dari cuti adalah jabatan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan secara sepihak mesti diserahkan kepada wapres sampai selesainya periode kampanye.
Maksudnya adalah presiden menyerahkan kekuasaannya kepada wapres, yang tidak berkampanye. Demikian perbedaan tafsir atas perbedaan kepentingan, ketika sungguh sangat tidak mudah persaingan masuk ke ranking pertama dan kedua dalam pilpres, maupun lolos ambang batas minimal 4 persen dalam pileg.
Tidak siap kalah, ketika terjadi relaksasi dalam penataan netralitas dan berkampanye terkesan menjadi sumber konflik dalam bentuk kritikan yang semakin hari semakin keras dan tajam. Persaingan dalam kampanye pemilu tahun 2024 semakin panas.
Inflasi Desember 2023 y-on-y sebesar 6,18 persen pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau, dimana sumbangan inflasi beras sebesar 0,53 persen.
Pemerintah kemudian melakukan pembagian beras 10 kilogram dan Bantuan Langsung Tunai Rp 600 ribu per Februari 2024 kepada penduduk miskin ekstrem dan miskin umum, maka simbolisasi serah terima bansos oleh presiden dipolitisasi sebagai manuver menaikkan elektabilitas paslon.
Mengentaskan batas miskin pun dicemburui dan dicurigai sebagai manuver
politicking.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), pengajar Universitas Mercu Buana
BERITA TERKAIT: