Meskipun alasan Jokowi karena dirinya adalah Presiden dan Presiden itu pejabat publik, sekaligus pejabat politik, maka ia boleh kampanye dan memihak dalam kampanye Pilpres nanti.
Namun pernyataan demikian, bisa dikategorikan sebagai ujaran kebencian karena Jokowi menantang arus perlawanan rakyat yang menolak dinasti politik dan nepotisme Jokowi yang menghalalkan segala cara.
Presiden Jokowi seakan pura-pura tidak tahu bahwa hukum positif kita memang membolehkan Presiden berkampanye, disertai sejumlah syarat yang secara limitatif membatasinya. Presiden Jokowi juga pura-pura tidak tahu kapan harus netral dan kapan harus memihak.
Selain daripada itu, dalam Pasal 283 ayat (1) dan ayat (2) UU 7/2017 tentang Pemilu, secara tegas melarang, "pejabat negara (presiden), pejabat struktural, pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan pada peserta pemilu sebelum, selama dan sesudah masa kampanye", dan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada ASN dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarganya dan masyarakat (bertemu juga tidak boleh).
Daya Rusak bagi DemokrasiPasal 26 ayat (1) UU 20/2023 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), tegas menyatakan, Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi dan manajemen ASN.
Oleh karena itu ketika Presiden Jokowi menyatakan boleh berkampanye dan bisa memihak atas alasan sebagai pejabat publik, sekaligus pejabat politik, maka pernyataan Presiden itu jelas merupakan penyalahgunaan kekuasaan Presiden dalam struktur ASN yang merusak demokrasi dan mengabaikan kedaulatan rakyat.
Pernyataan Presiden Jokowi ini, menunjukkan sikap politik Jokowi ala machiavelli yang kita kenal sebagai "menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politiknya". Jokowi sedang merusak sistem sekaligus mencari pembenaran atas perilakunya dan perilaku aparaturnya yang akhir-akhir ini tidak netral dan memihak Capres-Cawapres 02.
Ada kecenderungan kuat Presiden Jokowi hendak
mendeclare bahwa dirinya akan berkampanye sekaligus bersikap memihak untuk memenangkan Capres-Cawapres 02.
Padahal, ketentuan Pasal 283 UU 7/2017 jelas membatasi ruang gerak dan melarang Presiden mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan pada peserta pemilu sebelum, selama dan sesudah masa kampanye demi mewujudkan asas pemilu yang jujur dan adil menurut UUD 1945 dan rasa keadilan publik.
Jika demikian, maka inilah watak arogansi Jokowi, yang tanpa malu-malu mempertontonkan sikapnya melecehkan prinsip pemilu, yaitu sikap jujur dan adil sebagaimana digariskan di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 45 dan dalam UU 7/2017, Tentang Pemilihan Umum.
Rakyat Tidak Boleh DiamSikap Presiden Jokowi berdaya rusak sangat tinggi terhadap demokrasi dan konstitusi pada Pemilu 2024, karena pada saat yang sama Jokowi juga sedang menghidupkan budaya politik Orde Baru, yaitu budaya "mono loyalitas" Aparatur Negara pada satu kekuatan politik tertentu guna melanggengkan dinasti politik dan nepotisme yang sudah dibangunnya selama ini.
Inilah yang berbahaya, karena ketika seluruh ASN bersikap mono loyalitas kepada kekuatan dinasti politik dan nepotisme Jokowi, maka pada saat yang sama netralitas ASN akan bergeser, di mana seluruh ASN hanya loyal mengikuti arah pilihan politik Jokowi.
Maka pada titik ini, rakyat tidak boleh berdiam diri tetapi mari lakukan perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan ini.
Pergeseran perilaku ASN ini sangat mungkin terjadi karena bagaimanapun Presiden itu adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi dan manajemen Aparatur Sipil Negara. (Pasal 26 ayat (1) UU 20/2023 Tentang ASN).
Oleh karena itu munculnya perilaku sebagian aparatur negara yang tidak netral dalam pemilu dan ada kecenderungan mendukung Capres-Cawapres 2, hal itu merupakan dampak dari sikap dan perilaku Presiden Jokowi yang tanpa tedeng aling-aling berkampanye dan memihak karena di sana ada Gibran, putranya.
Kita tidak tahu siapa penasihat/konsultan hukum Istana yang memoles cara berpikir Presiden Jokowi dalam soal-soal hukum, terutama terkait pemilu, karena kalaupun Presiden Jokowi mau ikut kampanye pemilu, maka ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi antara lain cuti di luar tanggungan negara, tidak menggunakan fasilitas negara dan lain-lain.
Inilah penggunaan logika yang dangkal dari ketidakteraturan cara berpikir seorang Presiden RI, tanpa melihat rambu-rambu pemilu di dalam UUD 1945 dan di dalam UU 7/2017 tentang Pemilu, termasuk yang Presiden Jokowi gunakan pintu Mahkamah Konstitusi lewat iparnya mengoyak-ngoyak Pasal 169 huruf q UU 7/2017 demi Gibran Rakabuming Raka jadi Cawapres 2024.
*Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia dan Perekat Nusantara
BERITA TERKAIT: