Namun, militer Myanmar (Tatmadaw) menolak hasil pemilihan dan menyatakan bahwa terdapat kecurangan dalam pemilihan tersebut, klaim yang dibantah oleh Komisi Pemilihan Nasional Myanmar.
Akibat Junta Militer yang berkuasa, Rohingya menjadi korban pengusiran seperti kasus pada tahun 2017 di mana etnis Rohingya diusir atas dasar ketegangan etnis beragama, politik diskriminatif, dan perebutan sumber daya dan tanah. Sebagai negara yang cukup dekat dengan Myanmar, Indonesia juga didatangi oleh pengungsi-pengungsi dari Rohingya.
Hal ini membuat
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) di Indonesia melakukan tindakan atas hal tersebut. UNHCR Indonesia menyiapkan sekitar 5,3 juta Dolar AS dalam menangani masalah ini.
Secara formal, Indonesia bukanlah pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Oleh karena itu, Indonesia tidak secara resmi diakui sebagai negara yang mengadopsi kerangka kerja hukum ini.
Namun, dalam praktiknya, Indonesia berfungsi sebagai negara transit untuk banyak pengungsi yang melarikan diri dari konflik, penganiayaan, atau bencana di negara asal mereka. Sebagai negara yang terletak di antara beberapa negara Asia Tenggara seperti Myanmar, Indonesia sering menjadi tempat singgah bagi orang-orang yang mencari perlindungan sebelum meneruskan perjalanan mereka ke negara tujuan akhir atau untuk sementara waktu.
Sebagai negara transit, Indonesia menjamin perlindungan atas pengungsi, Indonesia menerima pengungsi tersebut. Sebagai rangkaian proses bahwa UNHCR akan melakukan pendataan para pengungsi sehingga nantinya akan diberikan akses sebagai pencari suaka untuk negara tujuan.
Sebagai catatan bahwa, Indonesia telah menjadi negara transit bagi para pengungsi, tetapi juga telah menjadi negara asal bagi para pengungsi.
Definisi pengungsi menurut Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 adalah seseorang atau sekelompok orang yang berada di luar negara asalnya, memiliki ketakutan yang beralasan akan penganiayaan karena perbedaan ras, agama, kelas, kewarganegaraan atau kelompok sosial, dan pandangan politik tertentu.
Mereka tidak lagi mendapatkan perlindungan nasional dari negara asalnya (Negara Asal), sehingga mereka perlu mendapatkan perlindungan internasional. Oleh karena itu, masalah pengungsi merupakan bagian dari isu hak asasi manusia dan melibatkan negara-negara karena melibatkan Negara Asal dan Negara Tuan Rumah.
Berdasarkan data pada bulan Juni 2023, Rohingya menempati urutan ketiga dengan total 882 orang, sebelum pada akhirnya 1.543 pengungsi tercatat pada bulan Desember 2023 (UNHCR Indonesia).
Berdasarkan data hal ini tidak signifikan atas pengungsi dari Afghanistan yang berjumlah 6.630 yang tersebar di Indonesia.
Meskipun demikian UNHCR Indonesia bekerja dengan cukup keras dalam menangani masalah pengungsi seperti pencatatan para pengungsi untuk menjadi asylum seeker sehingga mereka dikirim ke negara tujuan secara legal. Tetapi permasalah pengungsi ini juga dihadapi dengan pengungsi ilegal yang menjadi masalah utama.
Melansir berita
BBC Indonesia pada tanggal 11 Desember 2023, bahwa adanya praktik perdagangan manusia atau
illegal refugees terjadi dalam konteks permasalahan penanganan Rohingya di Aceh, Desember silam.
Hidup di era disrupsi informasi sekarang juga mempunyai tantangan, salah satunya adalah disinformasi atau persebaran informasi yang tidak benar (Hoax). Dalam tantangannya, juga dalam menyikapi masalah-masalah non-konvensional seperti masalah pengungsi dan pencari suaka.
Melansir Kementerian Informasi (Kominfo) Indonesia terdapat misinformasi yang tersebar luas atas nama UNHCR Indonesia melalui platform Twitter 10 Desember 2023 bahwa UNHCR Indonesia akan memberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan tempat tinggal bagi pengungsi Rohingya di Aceh.
Akibat dari hal tersebut tidak sedikit Masyarakat Indonesia yang tersulut oleh hoax. Sehingga membuat kegaduhan di ruang jagat maya. Sebagai puncak tindakan yang terjadi, aksi mahasiswa mengusir para pengungsi Rohingya di Kamp Pengungsian, hal tersebut terjadi pada tanggal 28 Desember 2023.
Melansir
CNBC Indonesia, menurut Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Aviliani menyebut tingkat literasi digital di Indonesia hanya sebesar 62 persen.
Jumlah tersebut paling rendah jika dibandingkan negara di ASEAN lainnya yang rata-rata mencapai 70 persen. Hal tersebut mengakibatkan eskalasi konflik sosial yang terjadi di Indonesia. Hal ini juga di tengah momentum perpolitikan di Indonesia, dimana Indonesia sedang melaksanakan Pemilu. Sehingga banyak oknum-oknum politik yang melakukan politisasi untuk kepentingan kelompoknya.
Perlu dipahami bahwa konteks eskalasi masalah ini bermuara pada metode disinformasi yang dilakukan oleh oknum-oknum dalam memahami konteks masalah yang terjadi terkait datangnya pengungsi Rohingya di Aceh, termasuk politisasi atau narasi negatif terkait penanganan masalah tersebut.
Pemerintah membuka dialog moderat sebagai rangkaian solusi atas sekelompok pengungsi dan juga warga lokal sehingga disinformasi tidak akan terjadi sehingga konflik tidak akan tereskalasi menjadi luas.
*
Penulis adalah peneliti Westphalian Institute
BERITA TERKAIT: