Dukungan terhadap putra sulung Presiden Jokowi ini ramai diberikan oleh partai politik dan sejumlah relawan pendukungnya. Dukungan Gibran sebagai calon wakil presiden paling deras mengalir dari Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah hingga organisasi sayap Partai Gerindra. Bahkan dibarengi dengan deklarasi dukungan Gibran menjadi cawapres oleh sejumlah relawan Jokowi.
Bisa dikatakan Partai Gerindra dan Prabowo Subianto adalah pihak yang paling getol menjadikan Gibran, putra sulung Jokowi sebagai bakal calon wakil presiden. Hal ini terlihat di mana inisiator gugatan batas minimal usia calon wakil presiden dalam UU Pemilu, ingin diubah dari 40 tahun menjadi 35 tahun, merupakan sejumlah kader Partai Gerindra.
Ada dua kepala daerah kader Partai Gerindra yang menggugat ketentuan batas minimal usia cawapres, yakni Walikota Bukittinggi, Erman Safar, dan Wakil Bupati Lampung Selatan, Pandu Kesuma Dewangsa.
Gugatan tersebut juga diperkuat oleh gugatan Partai Garuda, yang meminta Mahkamah Konstitusi mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara. Partai Garuda berpendapat, mereka berpotensi dirugikan dengan adanya aturan pada pasal 169 huruf q UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Sebab, menurut Partai Garuda. mereka tidak dapat mencalonkan kepala daerah yang sedang menjabat atau yang pernah menjabat yang usianya di bawah 40 tahun. Padahal yang bersangkutan memiliki potensi dan sudah berpengalaman di dalam pemerintahan sehingga layak dicalonkan sebagai cawapres.
Ketua Umum Partai Garuda sendiri adalah Ahmad Ridha Sabana, yang tak lain adalah adik Ahmad Riza Patria, Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta. Tak berlebihan jika eksistensi Partai Garuda dapat disebut sebagai proxy Gerindra dan Prabowo Subianto.
Adanya upaya meloloskan putra sulung Jokowi ke panggung politik nasional sebagai cawapres Prabowo Subianto pun tak bisa dibantah. Publik ramai menduga ada upaya melegalkan “dinasti politik Jokowi”.
Asumsi ini bukan tak berdasar. Bukan hanya merujuk pada upaya getol dari Partai Gerindra. Namun dari gelagat Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, yang tak lain adalah adik ipar Jokowi, atau paman Gibran Rakabuming Raka.
Anwar Usman pernah mengeluarkan pernyataan kontroversial di mana ia menyinggung negara butuh pemimpin muda saat memberikan kuliah umum di Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Pernyataan ini menjadi kontroversi karena posisinya sebagai Ketua MK di tengah proses uji materiil soal batas minimum usia capres dan cawapres.
Ditambah dengan adanya Kaesang, putra bungsu Jokowi yang menjadi Ketua Umum PSI. Di mana PSI juga menjadi partai inisiator penggugat batas minimal usia cawapres di MK. Dua nama penggugat lainnya yaitu Arkaan Wahyu Re A dan Almas Tsaqibbirru Re A yang juga menambahkan frasa memiliki pengalaman sebagai kepala daerah dalam petitum gugatannya adalah anak dari Boyamin Saiman, seorang advokat asal Solo, kota kelahiran Jokowi.
Tentu semua ini bukanlah sebuah kebetulan. Dan asumsi publik tak datang tiba-tiba. Maka opini publik tentang adanya politik dinasti keluarga Jokowi mengemuka dan menyebar luas, tak bisa dibendung.
Dalam riset Continuum Big Data periode 24-30 Januari 2023, ditemukan ada 1.381 perbincangan terkait isu politik dinasti, dan mayoritasnya mengaitkan hal tersebut dengan keluarga Presiden Jokowi.
Bukan tak mungkin opini publik tentang politik dinasti keluarga Jokowi akan semakin menguat dan menjadi puncak gunung es apabila manuver politik dari partai pengusung Prabowo Subianto dan sejumlah relawan Jokowi terus mengorkestrasi Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden di tengah adanya gugatan batas minimal usia cawapres di MK.
Sejumlah media asing juga menyoroti tentang isu politik dinasti Jokowi.
Reuters, media terbesar asal Inggris, mengunggah artikel dengan judul "Indonesian president's son named youth party chair", di mana diangkatnya Kaesang sebagai Ketua Umum PSI dianggap sebagai manuver politik Jokowi yang berupaya memastikan warisan pengaruh politiknya yang berkelanjutan melalui anak-anaknya.
Time sebuah majalah berita mingguan terbesar di Amerika Serikat juga mengunggah artikel berjudul "What It Means for Indonesia’s Democracy That the President’s Son Now Leads Another Party", mengomentari soal langkah politik Kaesang menjadi Ketua Umum PSI yang dikaitkan dengan politik dinasti Jokowi, yang menurut analisis majalah tersebut dapat menjadi tren penurunan kualitas demokrasi Indonesia.
The Straits Times, koran dengan penjualan terbesar asal Singapura, juga ikut mengomentari dengan mengunggah artikel berjudul "Jokowi’s son Kaesang becomes youth party chief, laying groundwork for Indonesian political dynasty", yang mengungkapkan bahwa diangkatnya Kaesang sebagai Ketua Umum PSI sebagai bagian upaya Jokowi meletakan dasar politik dinasti dalam lanskap politik Indonesia pasca-Soeharto.
The Diplomat, sebuah media berita online internasional di kawasan Indo-Pasifik yang berbasis di Washington DC, dalam artikelnya yang berjudul "Son of Indonesian President Takes Helm of Youth-Oriented Political Party" juga mengulas diangkatnya Kaesang sebagai Ketua Umum PSI. Karena Kaesang adalah putra dari Presiden Jokowi, seakan mengonfirmasi adanya praktik dinasti politik yang berakar pada jaringan kekerabatan dan patronase yang mendominasi lanskap politik Indonesia belakangan ini.
Semua ini sangat merugikan nama baik Presiden Jokowi. Di mana kehadiran Jokowi dalam panggung politik Indonesia adalah harapan baru bagi demokrasi politik Indonesia yang selama ini didominasi oleh wajah tokoh-tokoh yang berangkat dari keluarga politik atau elite mapan dan oligarkis. Sedangkan Jokowi bukanlah datang dari darah biru politik, bukan pula lahir dari orbit politik elite dominan. Ia datang dari keluarga sederhana, representasi dari masyarakat kebanyakan.
Ia adalah oase bagi mimpi mayoritas masyarakat Indonesia bahwa seorang yang lahir dari rahim masyarakat biasa dapat memimpin Indonesia dengan gemilang di tengah politik Indonesia didominasi oleh jejaring patronase dan kuasa oligarki. Kehadiran Jokowi pun sangat fenomenal, mendapat sambutan yang optimistis akan masa depan Indonesia oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Maka tak heran, dengan kinerjanya yang membanggakan, merujuk pada data yang dikumpulkan oleh
Morning Consult Political Intelligence pada 23-29 Agustus 2023, approval rating Presiden Jokowi mengungguli rekor yang dipegang Perdana Menteri India Narendra Modi sebesar 76 persen. Maka pertanyaannya: suara pendukung Jokowi akan diarahkan ke mana atau kepada siapa? Disinilah “berebut pulung Jokowi”, dimulai.
Prabowo Subianto, mantan rival Jokowi yang berasal dari orbit keluarga dinasti politik Orde Baru-Soeharto yang berulangkali kalah kini sangat menyadari bahwa basis suara pemilihnya bergerak stagnan bahkan cenderung terpecah akibat kehadiran Anies Baswedan yang berhasil menarik sebagian besar basis suara pendukung lamanya.
Maka satu-satunya jalan selain meraih dukungan Presiden Jokowi yang saat pemilu diselenggarakan masih memiliki pengaruh terhadap instrumen kekuasaan negara, juga diharapkan mampu menjaring dukungan dari pemilih Jokowi yang berdasarkan survei Litbang Kompas terdapat 18,1 persen responden yang memastikan bakal memilih sosok ataupun calon presiden yang direkomendasikan oleh Presiden Jokowi.
Sebagai sebuah strategi politik tentu bukan hal yang tabu. Namun apabila strategi tersebut dijalankan dengan memaksakan putra sulung Jokowi yang sejatinya tak sesuai ketentuan perundang-undangan untuk maju sebagai cawapres dengan dipaksakan melalui kekuasaan fungsi yudikatif (MK) bukan hanya merugikan nama baik Presiden Jokowi dan keluarganya.
Namun juga merusak ketatanegaraan kita dengan menelanjangi wibawa, kredibilitas, dan legitimasi MK. Nafsu berkuasa Prabowo Subianto dengan menghalalkan segala cara juga ikut mengorbankan demokrasi Indonesia yang selama ini sudah dibangun dan merugikan rakyat Indonesia. Lantas, secara struktural adakah dampak buruk dari politik dinasti?
Politik dinasti seringkali dimaknai bias oleh sejumlah pengamat dan politisi Indonesia. Sehingga praktik dinasti politik seringkali disikapi secara permisif, dianggap bukan masalah karena dipilih melalui prosedur demokrasi.
Namun sejumlah pakar mengungkapkan hal yang berbeda. Jemma Purdey, pakar dari Australia-Indonesia Centre mendefinisikan politik dinasti mengacu pada kemampuan sebuah keluarga untuk mewarisi dan mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan seringkali berfungsi di berbagai sistem politik dan lintas waktu.
Park Seung Woo, seorang profesor sosiologi dari Yeungnam University Korea Selatan, mendefinisikan politik dinasti sebagai praktik keluarga politik yang memonopoli kekuasaan politik dan jabatan publik dari generasi ke generasi dan memperlakukan petugas pemilihan umum hampir sebagai milik pribadi mereka.
Lebih spesifik, William R. Adan, seorang profesor asal Filipina, mendefinisikan politik dinasti tentang kepemilikan dan kontrol dalam distribusi kekuasaan dan manfaat ekonomi dari suatu wilayah yang ditentukan secara politik.
Dari ketiga pendapat pakar tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa eksistensi politik dinasti tak terbatas dan tak tergantung pada sistem politik apapun, baik demokrasi maupun otoritarianisme. Ia tak bergantung pada satu bentuk prosesi kekuasaan, baik pemilihan atau dipilih langsung oleh rakyat maupun penujukan atau penetapan.
Artinya kita bisa mendapatkan kata kunci dari politik dinasti yaitu monopoli dan akumulasi kekuasaan. Tentu hal ini sangat berbeda dengan sistem politik demokrasi yang berprinsip pada distribusi kekuasaan. Bahkan William R. Adan mengaitkan kontrol kekuasaan dalam politik dinasti berkaitan dengan memperoleh manfaat ekonomi.
Dapat disimpulkan bahwa monopoli dan akumulasi kekuasaan dari politik dinasti berujung pada monopoli dan penguasaan maksimal sumber-sumber ekonomi. Dengan kata lain, konsentrasi kekuasaan politik dinasti dimaksudkan untuk menciptakan konsenstrasi kekayaan di tangan segelintir orang.
Artinya politik dinasti melahirkan oligarki. Dan adanya konsentrasi kekuasaan dan kekayaan dari segelintir dinasti politik bukan tak berdampak buruk bagi perekonomian sebuah negara.
Studi dari Centre for Economic Policy Research menunjukan bahwa dinasti politik memperarah ketimpangan ekonomi. Di Filipina misalnya, 80 persen pejabat politik yang berasal dari dinasti mengalami peningkatan kekayaan sejak mereka menjabat. Di lain sisi, dinasti politik di Filipina cenderung mendominasi perpolitikan di daerah yang tingkat kemiskinannya tinggi.
Relasi antara politik dinasti dengan ketimpangan ekonomi dapat dijelaskan bahwa masalah ketimpangan ekonomi bukan sekedar masalah orang kaya dan miskin. Melainkan juga masalah ketimpangan akses terhadap kekuasaan politik.
Anggota keluarga pejabat yang berkuasa memiliki privelege untuk meraih kursi kekuasaan atau jabatan tertentu di pemerintahan. Hal ini tentu berbeda dengan mereka yang bukan berasal dari keluarga penguasa dari segi modal sosial, politik dan ekonomi.
Inilah faktor yang membuat pertarungan politik dalam prosedur demokrasi tak bisa dikatakan fair atau setara begitu saja apabila anggota keluarga penguasa ikut dalam kontestasi. Apalagi tak menutup kemungkinan anggota keluarga penguasa mendapatkan manfaat dari instrumen kekuasaan negara untuk mendongkrak suara mereka dalam mekanisme demokrasi.
Politik dinasti juga saudara kembar dari korupsi. Berdasarkan riset London School of Economics and Political Science terhadap data di 100 negara menyimpulkan, dinasti politik memiliki korelasi dengan tingkat korupsi lebih tinggi. Artinya, negara/daerah yang kekuasaannya dipegang dinasti politik cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih parah.
Namun orang seringkali menganggap wajar adanya dinasti politik. Mereka berargumen bahwa di Amerika Serikat, negara yang dikenal dengan sistem demokrasi yang mapan, juga marak dinasti politik.
Berbeda dengan Indonesia di mana dinasti politik eksis tanpa pengawasan yang objektif dan independen. Di AS Presiden Clinton dan Presiden Bush, sebagai keluarga politik terkemuka memercayakan aset bisnis yang dimiliki kepada blind trust management independent agar keduanya tidak terlibat dalam putusan politik yang bisa memengaruhi naik turunnya portofolio saham atau aset yang dimilikinya.
Namun tetap saja dinasti politik juga berdampak buruk bagi sistem politik di Amerika Serikat. Studi Ernesto Dal Bo, Pedro Dal Bo dan Jason Snyder (2007) tentang dinasti politik di Kongres Amerika Serikat menunjukkan ada korelasi antara dinasti politik dengan kompetisi politik. Semakin marak praktik politik dinasti akan berbanding lurus dengan kompetisi politik yang tidak sehat.
Hal ini menunjukan bahwa dinasti politik hanya baik untuk sang pemegang kendali dinasti. Bukan untuk rakyat kebanyakan. Namun tampaknya Prabowo Subianto telah menyandang penyakit inferiority complex yang meragukan kemampuan dirinya bisa memenangkan pertarungan Pilpres 2024. Sehingga harus berstrategi dengan menyeret keluarga Jokowi ke arena pertarungan. Mungkin Pilpres 2024 inilah pertaruhan terakhir Prabowo: now or never.
Akan tetapi kita menunggu kebijaksanaan Presiden Jokowi. Tentu kita berharap Jokowi masih menjadi sosok yang membuka pintu harapan baru bagi rakyat Indonesia kebanyakan. Jokowi yang menjadi simbol kerakyatan.
Tentu kita menunggu Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa ia dan keluarganya tak bisa dimanfaatkan atau dijadikan instrumen politik untuk orang yang sangat bernafsu meraih kekuasaan.
Penulis adalah Ketua Umum DPP GMNI
BERITA TERKAIT: