Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bagaimana jika hanya Ada Satu Pasangan Capres-Cawapres di Pilpres 2024?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yusril-ihza-mahendra-5'>YUSRIL IHZA MAHENDRA</a>
OLEH: YUSRIL IHZA MAHENDRA
  • Rabu, 30 Agustus 2023, 15:01 WIB
Bagaimana jika hanya Ada Satu Pasangan Capres-Cawapres di Pilpres 2024?
Gurubesar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra/Net
ADA pertanyaan menarik yang diajukan kepada saya menjelang pendaftaran pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada awal Oktober 2024 yang akan datang.

Pertanyaannya, bagaimana kita mengatasi keadaan jika yang mendaftar dan memenuhi syarat ternyata hanya 1 pasangan saja. Bagaimana cara mengatasinya?

Keberadaan hanya 1 pasangan ini bisa terjadi karena memang hanya ada 1 pasang yang memenuhi syarat, atau juga karena diboikot oleh calon pasangan lain.

Pertanyaannya: Bisakah Pilpres dilaksanakan dengan melawan kotak kosong seperti dalam Pilkada?

Saya katakan, Pilpres itu jangan dibuat lelucon atau dagelan karena Pilpres itu sangat menentukan perjalanan bangsa dan negara kita ke depan. Putusan MK yang membenarkan Pilkada satu pasangan lawan kotak kosong itu, mutatis mutandis tidak bisa diberlakukan pada Pilpres.

Kotak kosong itu sendiri bukan subjek hukum yang bisa dipilih dalam pemilihan apa pun. Kotak kosong itu tidak pernah mendaftar sebagai calon dalam Pilpres. Kalau kotak kosong itu menang, apakah kotak itu bisa dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden?

Kerumitan pelaksanaan Pilpres yang seandainya hanya diikuti oleh satu pasangan itu, berawal dari ketidakjelasan pengaturan pemilihan Presiden di dalam UUD 45 pasca amandemen.

Entah bagaimana riwayatnya, Pasal 6A ayat (3) UUD 45 mensyaratkan pasangan calon Presiden sedikitnya 3 pasangan. Pasangan akan dinyatakan menang jika memperoleh suara lebih dari 50 persen dengan sedikitnya 20 persen yang tersebar di lebih dari 50 persen provinsi yang ada di negara kita.

Jika syarat di atas tidak tercapai, maka dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua masuk ke Pilpres putaran kedua.

Pasangan yang memperoleh suara terbanyak, tanpa harus memenuhi syarat memperoleh suara minimal 20 persen pada lebih dari 50 persen dari jumlah provinsi, dilantik menjadi pasangan Presiden dan Wakil Presiden RI.

Dalam hal sejak awal hanya ada 2 pasangan, maka dua pasangan tersebut dianggap langsung memasuki Pilpres putaran kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak tanpa memperhitungkan jumlah suara minimal 20 persen di lebih dari 50 persen dari jumlah provinsi, dilantik menjadi pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

Praktik tentang hal ini sudah terjadi dalam Pilpres 2019 yang lalu.

Bagaimana kalau sekiranya sejak awal, hanya ada 1 pasangan calon Presiden yang maju dan memenuhi syarat? UUD 45 tidak mengatur hal ini. Berarti di sini ada kevakuman pengaturan di dalam UUD 45.

Apakah kevakuman pengaturan tersebut dapat diatasi dengan undang-undang, dan jika terjadi "hal ikhwal kegentingan yang memaksa", misalnya akan mengganggu jadwal pelaksanaan Pilpres yang akan berpengaruh pada berakhirnya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang sedang menjabat karena akan melampaui waktu 5 (lima) tahun, dapatkah Presiden mengeluarkan Perpu, dengan alasan adanya "kegentingan yang memaksa"?

Saya berpendapat kevakuman pengaturan konstitusi seperti itu tidak dapat diisi dengan undang-undang atau Perpu, walaupun dengan alasan terjadinya kegentingan yang memaksa.

Sebab, pengaturan lebih lanjut mengenai pemilihan Presiden yang diserahkan oleh UUD 45 kepada undang-undang hanyalah mengenai "tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden" saja, bukan mengatur substansi bagaimana jika terjadi dalam kenyataan, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendaftar dan memenuhi syarat ternyata hanya satu pasangan saja.

Karena kevakuman pengaturan dalam hal hanya ada satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah materi pengaturan konstitusi, bukan pengaturan undang-undang, maka cara mengatasi kevakuman itu hanya ada tiga kemungkinan: pertama amandemen konstitusi.

Kedua, MPR mengeluarkan Ketetapan yang berisi pengaturan lebih lanjut terhadap substansi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Ketetapan MPR adalah "grundgesetz" yang berisi aturan dasar penyelenggaraan negara yang berada di bawah undang-undang dasar tetapi di atas undang-undang.

Jalan ketiga adalah menciptakan konvensi ketatanegaraan. Jalan ketiga ini agak sulit ditempuh karena jika ini dilakukan dalam Pilpres 2024, konvensi itu masih dalam bentuk coba-coba yang belum tentu akan diterima sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktek penyelenggaraan negara selanjutnya.

Masalah mendasar yang kita hadapi sekarang ini mengapa begitu sulit memunculkan pasangan calon Presiden, sehingga terpaku hanya pada adanya tiga pasangan yang potensial muncul menjadi capres dan cawapres (katakanlah pasangan Ganjar, Prabowo dan Anies Baswedan seperti sekarang ini), hal itu disebabkan oleh adanya "presidential threshold" atau "ambang batas" pencalonan Presiden oleh parpol yang harus mencapai minimal 20 persen kursi DPR itu.

Kalau sekiranya nanti sampai awal Oktober, ternyata hanya ada 1 (satu), pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan hal itu dianggap menimbulkan kegentingan yang memaksa, maka Presiden dapat mengatasinya dengan menerbitkan Perpu.

Tetapi bukan Perpu yang mengatur bagaimana melaksanakan Pilpres yang hanya ada 1 pasangan calon seperti yang tidak boleh dilakukan sebagaimana telah saya uraikan di atas, melainkan menerbitkan Perpu yang membatalkan presidential threshold 20 persen itu menjadi 0 persen.

Langkah Presiden menerbitkan Perpu menghapuskan presidential threshold itu akan merupakan langkah revolusioner untuk menegakkan supremasi konstitusi, karena UUD 45 tegas menyatakan bahwa yang berhak mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden itu adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu. Pencalonan itu dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan umum (Pasal 6A ayat 2 UUD 45).

UUD 45 tidak sepatah-katapun mengatur atau memerintahkan undang-undang membuat "presidential threshold". Keberadaan "presidential threshold" hanyalah permainan politik pat gulipat oligarki politik untuk mempertahankan kekuasaan dan memberangus demokrasi.

Mahkamah Konstitusi selama ini tidak pernah mau membatalkan keberadaan "presidential threshold" dengan alasan hal tersebut adalah "open legal policy" pembentuk undang-undang yang tidak dapat diintervensi oleh MK.

Dengan dihapuskannya presidential threshold, saya berkeyakinan, dalam waktu 1 minggu akan muncul beberapa pasangan calon Presiden yang dicalonkan baik oleh 1 partai maupun gabungan di antara 17 partai peserta Pemilu 2024 yang sudah disahkan oleh KPU.

KPU tentu dapat memperpanjang waktu pencalonan Presiden dan Wakil Presiden untuk memberi kesempatan kepada partai politik peserta Pemilu 2024 untuk mendaftarkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden mereka.

Dengan menerbitkan Perpu seperti di atas, saya yakin Presiden Jokowi akan menutup masa jabatan Presidennya pada bulan Oktober 2024 nanti dengan "khusnul khatimah".

Beliau berani mengambil tindakan revolusioner membatalkan presidential threshold yang selama ini menjadi hantu bagi demokrasi di tanah air. rmol news logo article

Gurubesar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia; Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA