Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Urgensi Pelembagaan Partai Politik?

OLEH: BUDIANA IRMAWAN*

Sabtu, 01 Juli 2023, 09:39 WIB
Urgensi Pelembagaan Partai Politik?
Bendera partai politik di halaman Kantor KPU RI/RMOL
MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) menolak permohonan uji materi Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait pasal mengenai sistem proporsional daftar terbuka.

Hakim MK menilai partai politik memiliki otoritas dalam seleksi dan menentukan nomor urut calon legislatif. Putusan MK membantah Pemohon yang mendalilkan sistem proporsional daftar terbuka mendistorsi fungsi partai politik.

Menanggapi polemik sistem proporsional daftar terbuka dan proporsional daftar tertutup, bagi penulis ada hal lebih fundamental yang luput dari perhatian, yaitu isu pelembagaan partai politik.

Demokrasi mensyaratkan kebebasan semua warga negara menentukan arah kebijakan publik. Partisipasi aktif warga negara ini disalurkan melalui partai politik yang dinilai sejalan mampu mengartikulasikan kepentingannya.

Karena itu, partai politik didirikan memiliki platform politik atau garis perjuangan membedakan partai politik satu dengan yang lain.

Garis perjuangan partai politik sesungguhnya yang dikontestasikan pada Pemilu setiap periode. Di beberapa negara misalnya, ada partai Hijau mengusung masalah ekologis, Partai Buruh mengedepankan hak-hak kaum pekerja, Partai Progresif berhaluan marxisme atau Partai Konservatif yang dilandasi keyakinan teologis.

Jadi, pelembagaan partai politik dimaksud memosisikan partai politik berorientasi program sesuai garis perjuangannya.

Di titik ini, kontekstualisasi memutuskan sistem proporsional daftar terbuka atau proporsional daftar tertutup. Apakah mendukung pelembagaan partai politik?

Dalil pemohon sistem proporsional daftar terbuka mendistorsi fungsi partai politik, keliru jika dipahami oleh hakim MK sebatas otoritas partai politik urusan teknis seleksi dan menentukan nomor urut calon legislatif.

Justru bantahan tersebut, menunjukkan kekhawatiran terhadap sistem proporsional daftar tertutup menguatkan elite partai politik sama dengan sistem proporsional daftar terbuka.

Kendati calon legislatif terpilih berdasarkan raihan suara terbanyak pada sistem proporsional daftar terbuka, namun nomor urut masih dianggap penting. Fenomena kasus Ketua DPD Partai Nasdem Kabupaten Indramayu mengundurkan diri karena mendapat nomor urut 3 membuktikan anggapan itu.

Sejak revisi Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang memberlakukan sistem proporsional daftar terbuka mengubah kontestasi partai politik menjadi persaingan figur, termasuk dengan sesama calon legislatif dari internal partai politik sendiri. Kondisi yang melemahkan pelembagaan partai politik, dan sebaliknya menguatkan personalisasi partai politik.

Tidak aneh kemudian kini partai politik terlihat cair sulit melakukan koalisi permanen mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bukan karena hambatan presidential threshold 20%, tetapi sikap oportunistik dampak tidak ada pelembagaan partai politik.

Revisi UU Partai Politik

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) satu-satunya partai politik pendukung sistem proporsional daftar tertutup menerima putusan MK. Pada saat bersamaan PDIP juga mengusulkan revisi UU Partai Politik. Usulan menarik, revisi UU Partai Politik memang mendesak agar eksistensi partai politik relevan dengan sistem pemerintahan presidensial yang kita anut.

Diktum Scott Mainwaring, bahwa multipartai tidak kompatibel dengan sistem pemerintahan presidensial. Seorang presiden terpilih memperoleh suara mayoritas langsung dari rakyat tetap harus menghadapi partai politik di forum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Mengingat, tidak akan ada satu partai politik pun bisa meraih kursi dominan di DPR dalam sistem multipartai. Demi stabilitas pemerintahan memaksa partai politik pengusung mutlak membangun koalisi.

Hanya saja presidential threshold 20% yang kita terapkan problematik. Pemilu dilakukan serentak antara pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg), konsekuensinya menghapus presidential threshold. Sangat janggal, syarat pencapresan Pemilu sekarang didasari hasil raihan suara partai politik pada Pemilu 5 tahun sebelumnya.

Sementara selaras diktum Scott parliamentary threshold dinaikkan supaya terjadi penyederhanaan partai politik secara alamiah. Penyederhanaan ini bukan berarti membatasi kebebasan mendirikan partai politik.

Persyaratannya malah dipermudah tidak perlu verifikasi faktual yang memberatkan, namun ketika tidak memenuhi parliamentary threshold harus konsekuen. Partai politik itu membubarkan diri atau bergabung dengan partai politik yang lolos parliamentary threshold.

Poin krusial lain menjawab kekhawatiran kuasa elite partai politik berkohabitasi dengan kekuatan modal atau oligarki, maka sumber pendanaan partai politik diatur transparan, jabatan pimpinan partai politik dibatasi, dan tidak boleh rangkap jabatan yang menimbulkan konflik kepentingan.

Dengan demikian revisi UU Partai Politik merupakan transformasi paradigmatik menuju partai politik modern. Tidak sekadar perubahan yang bersifat tambal-sulam.rmol news logo article

*Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA