Tak ayal, Prof. Sarbini dianggap subversif melawan Orde Baru, dan mengakibatkan harus diperiksa Bakorstanas (Badan Koordinasi Stabilitas dan Pemantapan Stabilitas Nasional).
Masa itu puncak keemasan rezim Soeharto dengan mantra trilogi pembangunan. Dekade akhir tahun 1970-an berhasil konsolidasi kekuatan politik pasca peristiwa Malari, dan awal tahun 1980 mendapat durian runtuh
Booming Oil. Momentum yang mengukuhkan ideologi developmentalisme pemerintahan Orde Baru.
Bagi Prof. Sarbini, kendati turut merumuskan arsitektur perekonomian nasional bersama Prof. Soemitro Djojohadikusumo dan Prof. Widjojo Nitisastro ketika awal Orde Baru, namun ia melihat ada kekeliruan mendasar. Presiden Soeharto lebih memanjakan elite ketimbang membangun mayoritas rakyat kelas bawah.
Sandaran teori
trickle down effect hanya indah dalam ranah konsep, tetapi di level implementasi rakyat kelas bawah kerap kali menjadi objek eksploitasi.
Karena itu, menurut Prof. Sarbini, penting revolusi kerakyatan, yakni mengubah total orientasi pembangunan untuk memberdayakan rakyat kebanyakan dan membatasi kerakusan para konglomerat.
Retorika Presiden Prabowo Subianto selalu menegaskan keberpihakan kepada kepentingan rakyat kecil. Mengingatkan kita kepada pikiran Prof. Sarbini.
Prabowo Subianto memang anak biologis begawan ekonomi Prof. Soemitro Djojohadikusumo yang semua orang tahu berpandangan sosialistik.
Namun, apakah Presiden Prabowo yang sekian lama ditempa tradisi militeristik juga mewarisi keyakinan ideologis bapaknya?
Pada saat menyusun Kabinet Merah Putih, demi menyenangkan partai koalisi, Presiden Prabowo membentuk kabinet gemuk melampaui kelaziman. Tentu akomodasi berlebihan ini konsekuensinya anggaran membengkak dan tumpang-tindih fungsi kementerian.
Padahal, seharusnya memahami beban fiskal yang ditinggalkan Presiden Jokowi sangat berat.
Presiden Jokowi ambisius membangun proyek mercusuar di tengah kondisi defisit anggaran menyebabkan pemerintah dan BI (Bank Indonesia) dengan alasan
burden sharing menerbitkan SUN (Surat Utang Negara). Jangan aneh, utang jatuh tempo tahun 2025 sebesar Rp800,33 triliun.
Sementara Presiden Prabowo sendiri memprioritaskan program MBG (Makan Bergizi Gratis) untuk anak sekolah dan ibu hamil.
Program yang pasti membutuhkan anggaran jumbo. Tentu program MBG memiliki urgensitas mengatasi persoalan mutu sumber daya manusia dampak didera kemiskinan, di samping mendorong perputaran ekonomi di akar rumput.
Program konkret lain dicanangkan Presiden Prabowo adalah menghapus utang UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) dan layanan internet murah sebagai bagian optimalisasi digitalisasi.
Tidak bisa dipungkiri kontribusi UMKM terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) lebih dari 60 persen. Angka yang menunjukan masuk akal pemerintah memberikan afirmasi penghapusan utang UMKM mendukung pertumbuhan ekonomi.
Hanya saja pemerintah wajib melakukan formalisasi UMKM yang masuk kategori sektor informal melalui badan usaha koperasi.
Layanan internet murah juga penting dalam era digitalisasi. Pengguna saluran tetap atau
fixed broadband koneksi internet rumah di Indonesia cuma 15 persen. Bandingkan dengan negara jiran, Malaysia 45 persen, Thailand dan Filipina di atas 50 persen, bahkan Singapura mencapai 92 persen.
Jadi, saya kira secara keseluruhan dalam kurun waktu 100 hari kerja belum bisa menilai kebijakan Presiden Prabowo.
Eksplisit ada itikad kuat kembali mengutamakan orientasi kerakyatan, tetapi tampak juga terlilit beban politik masa lalu yang sulit dihindari.
Realitas itu menuntut publik tetap kritis menguji arah ideologis Presiden Prabowo.
*Penulis adalah pemerhati kebijakan publik
BERITA TERKAIT: