Erdogan adalah presiden ke-12 Republik Turki. Ia pemimpin terlama semenjak menjadi perdana menteri (2003-2014) kemudian menjadi presiden (2014-2028). Praktis, ia menjadi orang nomor wahid di pemerintahan selama 20 tahun lebih.
Sementara 11 presiden yang lain, masih di bawah rekor Erdogan. Mustafa Kemal Attaturk (1923-1938) berkuasa selama 15 tahun, Mustafa Ismet Inonu (1938-1950) 12 tahun, Mahmut Celal Bayar (1950-1960) 10 tahun, Cemal Gursel (1961-1966) 5 tahun, Cevdet Sunay (1966-1973) 5 tahun, Fahri Koruturk (1973-1980) 7 tahun, Kenan Evren (1982-1989) 7 tahun, Turgut Ozal (1989-1993) 4 tahun, Sulaeman Demiral (1993-2000) 7 tahun, Ahmed Necdet Sezer (2000-2007) 7 tahun, dan Abdullah Gul (2007-2014) berkuasa selama 7 tahun.
Banyak pengamat menyebut bahwa Erdogan sebagai pemimpin karismatik Turki Modern. Ia tetap bisa bertahan di tampuk kekuasaan kendati negaranya menghadapi krisis ekonomi akut dengan inflasi di atas 43,68 persen dan devaluasi nilai tukar Lira 77 persen atas dolar Amerika Serikat.
Konstruksi kekuasaan Erdogan benar-benar bak beton, bukan seperti karton yang mudah terhempas oleh musim semi demokrasi di Arab Spring. Tak berlebihan, bila Syarif Taghian menjulukinya sebagai muadzin Istanbul dan penakluk sekularisme Turki.
Syarif Taghian adalah penulis buku biografi politik Erdogan yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Judul aslinya dalam Bahasa Arab, "Asy-Syaikh Ar-Rais Rajab Thayyib Erdogan - mu'addzin Istanbul wa Muhammad ash-shanam Al-Ataturki". Pada abstraksi buku terbitan ketujuh pada 2020, diuraikan:
"Recep Tayyip Erdogan adalah politisi yang dijuluki sebagai "Muadzin Istanbul Penumbang Sekularisme Turki". Erdogan mampu mengembalikan masa keemasan Turki, setelah sebelumnya terjerat dalam gurita sekularisme dan otoritarianisme yang memarginalkan Islam dan menjerumuskan negeri yang indah ini ke dalam kegelapan.
Dengan kepiawaiannya berpolitik, Erdogan mampu meyakinkan rakyatnya bahwa dengan identitas Islam, Turki bisa mengembalikan kejayaan Kekhilafahan Utsmani, kekhilafahan yang tidak hanya kuat dalam segi pertahanan, tapi juga dalam perekonomian.
Dengan keyakinan bahwa "Islam adalah Solusi" (Al-Islam huwa Al-Hall), Erdogan yang dibesarkan dalam lingkungan keislaman, mampu membangkitkan kembali Turki dari julukan "
the Sick Man in Europe" menjadi negara yang sehat dan tumbuh berkembang, bahkan diperhitungkan sebagai negara yang mampu memberikan kontribusi dalam menciptakan perdamaian".
Namun demikian, kondisi Turki pasca Pandemi Covid-19 dan gempa bumi yang menewaskan 50 ribu orang, taklah seindah yang dilukiskan oleh Taghian. Tetapi, kondisinya justru terbalik, negeri para sultan Ottoman Turki ini sedang menghadapi krisis ekonomi yang sangat berat.
Ironisnya, mayoritas rakyat masih percaya Erdogan dapat mengatasi berbagai masalah. Itu jelas tergambar dari suara hasil Pilpres putaran kedua yang mencapai 27 juta lebih atau setara dengan 52,16 persen dari 64 juta lebih pemilih yang terdaftar.
Kurang dari satu pekan sejak menang Pilpres, Erdogan diambil sumpah di hadapan Majlis Nasional Agung Turki yang beranggotakan 600 anggota parlemen dari 16 partai politik dan perseorangan.
"
I, as president, swear upon my honour and integrity before the great Turkish nation and history to safeguard the existence and independence of the state (Saya, sebagai presiden, bersumpah atas kehormatan dan integritas saya di hadapan bangsa dan sejarah Turki yang hebat untuk menjaga keberadaan dan kemerdekaan negara)".
Selain mengucapkan sumpah di atas, Erdagon juga menyampaikan
inauguration speech (pidato pelantikan). Pidato perdana ini sangat penting dan strategis dalam menentukan arah pemerintahan Turki 5 tahun mendatang.
Bahwasannya, Turki membutuhkan konstitusi baru yang lebih menguatkan demokrasi. Konstitusi yang ada adalah produk kudeta yang telah mengalami 17 amandemen sejak 1982.
Erdogan mengajak seluruh elemen anak bangsa untuk melupakan kemarahan dan kebencian pada masa kampanye yang telah membelah masyarakat. Ia mengajak melupakan apa yang terjadi, serta menyerukan persatuan dan kesatuan bangsa demi masa depan Turki yang lebih baik.
Erdogan berjanji untuk merangkul seluruh penduduk Turki yang berjumlah 84 juta lebih untuk bersama-bersama membangun, mengatasi krisis ekonomi dan meningkatkan peran Turki dalam perdamaian dunia.
Esensi pidato pelantikan Erdogan di atas sangatlah normatif. Sebagai seorang bapak bangsa, ia nampak sungguh-sungguh untuk membangun Turki lebih egaliter, sipilistik dan inklusif. Untuk mengarahkan pada obsesi tersebut, tiada jalan lain kecuali jalan demokrasi yang berkeadilan.
*
Penulis adalah Pendiri Eksan Institute
BERITA TERKAIT: