Seperti Ketua Umum DPP Partai Nasdem, Surya Paloh; Ketua Umum DPP Golkar, Airlangga Hartarto; Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono; Sekjen PKS, Habib Aboe Bakar Al-Habsy; dan Wakil Ketua Umum DPP PPP, Rusli Effendi.
Tidak ketinggalan, Wakil Presiden SBY dan Jokowi pada periode pertama, HM Jusuf Kalla, juga hadir bersama beberapa pimpinan MPR dan DPR RI. Acara Bukber ini menunjukkan Nasdem telah menjadi episentrum politik baru nasional.
Bahkan, dalam konteks kultural, Bukber Nasdem menjadi
counter culture (kontra budaya) dari pelarangan bukber pemerintahan Jokowi, sebagaimana Surat Edaran Sekkab Nomor: R-38/Sekkab/DKK/3/2023 Perihal Arahan Terkait Penyelenggaraan Buka Puasa Bersama tertanggal 21 Maret 2023.
Di tengah kontroversi SE tersebut, Nasdem justru memilih untuk tidak mengikuti arahan pemerintah. Sebab, larangan itu sebatas pada ASN dan pejabat di kementerian/lembaga, kejaksaan, TNI, dan Polri.
Seperti ditegaskan oleh Pramono Anung sendiri, larangan bukber ini tidak berlaku pada institusi di luar pemerintah. Pemerintah tidak membatasi kegiatan bukber masyarakat sebagai sarana untuk meningkatkan silaturahmi. Apalagi, bukber itu jelas-jelas untuk meningkatkan silaturahmi nasional setahun menjelang Pemilu 2024.
Nasdem tak ikut-ikutan memprotes larangan bukber di instansi pemerintah, juga tak turut serta mendesak Presiden Jokowi mencabut larangan bukber yang dinilai anti-Islam, tapi langsung menggelar bukber sebagai tradisi agung Ramadhan yang rutin dilaksanakan sebelum pandemi Covid-19.
Tesis bapak sosiologi dunia, Ibnu Khaldun ternyata kurang efektif dalam memotret kasus bukber di Indonesia. Ungkapan pengarang Kitab Muqaddimah ini
Al-Insan 'ala Dini Mulkihi (Manusia bergantung pada agama penguasanya), terbukti kurang relevan untuk mengurai kontra budaya penguasa yang menginginkan meniadakan bukber dengan alibi transisi dari pandemi ke endemi Covid-19.
Kebijakan rezim penguasa ini dipandang bertentangan dengan nilai kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan agama sesuai dengan keyakinan masing-masing yang dijamin oleh konstitusi. Pelarangan bukber mengurangi syiar Ramadhan yang menyunahkan memberi makan kepada orang yang berpuasa.
Apalagi, memberi makan kepada orang berpuasa merupakan nilai keutamaan yang mendapat pahala sangat besar. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, "Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga."
Memang, Nasdem bukan partai berasas agama atau berbasis agama tertentu. Namun, partai yang mengusung gerakan perubahan restorasi Indonesia ini, mengambil inisiatif kontra budaya ala David Platt. Suatu gerakan kontra budaya agama yang ditentang oleh para pemeluknya. Mereka melawan hegemoni moral dan kultural agama yang tak senafas dengan nilai keutamaan peradaban manusia modern.
Teori kontra budaya David Platt di atas merupakan wujud kekecewaan terhadap ambruknya nilai-nilai sosial Kristiani. Pandangan ini bisa menjadi perspektif dalam menganalisis kontra budaya dari rezim berkuasa.
Mereka lupa, bukber itu
trendsetter budaya universal. Siapapun pasti suka terhadap perjamuan makan agung. Apalagi jamuan buka puasa yang mengandung nilai spiritual dan sosial sekaligus.
Rezim berkuasa saat ini sedang linglung. Mereka tak menyangka larangan bukber telah melawan arus akal sehat. Publik sedang memiliki gairah beragama yang tinggi untuk melipatgandakan kebaikan. Sekonyong-konyong, kebijakan tersebut mengingatkan pada dampak buruk dari Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) bagi kesehatan sosial.
Selama lebih dua tahun Pandemi Covid-19, publik seperti menjadi "tahanan rumah". Kini, setelah pemerintah mencabut kebijakan PPKM, berhasil melakukan program vaksinasi massal, terbentuk herd immunity (kekebalan kelompok), serta kasus infeksi dan kematian akibat Covid-19 terkendali, malah ujug-ujug pemerintah mau melakukan pengetatan kembali. Bisa dipastikan, kebijakan ini sangat resisten.
Protes dari beberapa tokoh masyarakat seperti Yusril Ihza Mahendra, Din Syamsuddin, Said Aqil Siradj, dan lainnya, mewakili suara publik yang menangkap kepentingan tersembunyi pemerintah. Tudingan anti-Islam pun sulit dibantah. Apalagi rezim berkuasa justru telah menggelar resepsi pernikahan putranya dengan undangan lebih dari 3.000 orang.
Standar ganda pemerintah nyata-nyata dalam menyikapi dua potensi kerumunan sosial di atas. Bukber dilarang, sedangkan resepsi pernikahan justru digelar. Perlakuan yang tak sama merupakan pangkal ketidakadilan yang menyulut api perlawanan dan panjatan doa dari orang yang dizalimi.
Sesungguhnya, pelarangan bukber termasuk
structural injustice (ketidakadilan struktural) dalam istilah Madison Powers dan Ruth Faden. Suatu bentuk ketidakadilan yang bersumber dari kebijakan negara. Pengalaman di berbagai negara, muncul perlawanan rakyat sebentuk
civil disobedience (pembangkangan sipil).
Pelarangan bukber terbukti sangat menyakinkan tak berjalan efektif. Ketua DPR RI, Puan Maharani misalnya, yang merupakan rekan separtai Presiden Jokowi malah hadir acara bukber Krisdayanti yang merayakan Ultah ke-48.
Ini fakta bahwa kebijakan pelarangan bukber pemerintah tak bertuah sama sekali. Para pejabat banyak yang membangkang dan memilih kegiatan bukber yang sangat menyenangkan serta mendekatkan diri dengan Tuhan dan sesama manusia
Jadi, bukber Nasdem sebenarnya dapat dibaca sebagai
counter attack (serangan balik) terhadap "serangan" pemerintah terhadap perjamuan agung buka puasa. Nasdem berani mengawali dari semua institusi apapun yang ada "melawan" kebijakan pemerintah yang tak berdasar ini.
Sementara, pemerintah itu sendiri telah kehilangan legitimasi moral dan sosial mengatur kegiatan bukber. Ini sinyal kuat bahwa rezim yang berkuasa mau bubar barisan.
Penulis adalah Pendiri Eksan Institute.
BERITA TERKAIT: