Saya tidak membantah, menyangkal atau menolak angka Stimulus itu; hanya mengulasnya saja. Tapi anehnya ada yang sewot kebakaran jenggot.
Selisih kedua angka tersebut (angka kenaikan net belanja negara dengan angka Stimulus) adalah hasil dari pergeseran atau realokasi anggaran dan dari hitungan imajinasi atau pengandaian semata yaitu pos insentif perpajakan yang Rp70T itu.
Tulisan yang berjudul “Stimulus atau Stimules†itupun merinci besarnya perubahan defisit, keraguan saya terhadap prediksi Menkeu Sri Mulyani atas pendapatan negara, dll.
Kabarnya tulisan atau analisa saya itu dikatakan Menkeu SMI di DPR sebagai kebingungan Fuad Bawazier membaca anggaran tsb. Tapi SMI tidak mengelak atau mengakui kebenaran angka angka yang saya uraikan dalam tulisan atau analisa tsb khususnya kenaikan net belanja negara.
Padahal kenaikan net belanja negara Rp73,4T itu adalah kesimpulan dari perhitungan akhir perubahan APBN 2020.
Dengan demikian, jika angka Rp73,4T itu diakui kebenarannya oleh SMI maka logikanya semua perhitungan itu benar. Thus tidak ada kebingungan penulisnya. Apalagi saya uraikan perhitungannya secara detil sehingga membuka banyak mata publik tentang wajah perubahan anggaran tsb.
Dalam tulisan itu saya ungkap bahwa meski kenaikan belanja negara hanya Rp73,4T tetapi defisit anggarannya naik dari Rp307,2T menjadi Rp852,9T alias melonjak Rp545,7T. Tentu saja saya harus mencari selisih antara Rp545,7T dengan Rp73,4T yaitu Rp472,3T itu dari mana?
Ternyata itu karena Menkeu SMI memperkirakan penerimaan negara akan turun Rp472,3T yaitu dari semula Rp2,233.2T menjadi Rp1760,9T atau hanya 78,8% dari targetnya.
Masih dalam tulisan itu, saya menyatakan bahwa prediksi Menkeu SMI atas pendapatan negara itu akan meleset sebab angka penerimaan negara khususnya pajak yang merupakan komponen utamanya dalam 3 bulan pertama hanya 14,7% atau rata rata 4,9% per bulan.
Bila angka angka ini di rerata setahun berarti hanya akan tercapai 58,8%. Jadi saya katakan bahwa prediksi SMI atas pendapatan negara itu tidak realistis, dan kembali akan salah lagi. Dengan sendirinya angka defisit (baru) yang diajukan SMI sebesar Rp852,9T itu juga tidak realistis dan akan diralat lagi. Karena seharusnya defisit APBN akan lebih besar lagi.
Kecuali bila dilakukan pemotongan anggaran besar besaran untuk pos pos belanja yang layak diduga bodong atau objek korupsi. Tapi nyatanya kan tidak. Uraian tsb juga saya tegaskan ulang di ILC TV One 24 Maret 2020.
Terus terang saya tidak bisa memahami mengapa seorang Menkeu yang katanya terbaik itu sampai tidak mampu membuat prediksi yang relatip simpel. Dan terbukti sampai dengan akhir April (4 bulan) penerimaan perpajakan hanya Rp434,3T. Sementara penerimaan khusus Ditjen Pajak sampai dengan April hanya Rp376,7T atau minus 3% dari periode sama tahun 2019.
Indikasi ini tentu mengkhawatirkan para kreditur pemerintah. Dan akan menjadi objek revisi anggaran (APBN ) lagi.
Terbukti kini pemerintah akan merevisi lagi APBN 2020, yaitu dengan melebarkan defisitnya dari 5,07% (angka defisit ex Perpu No.1/2020) menjadi 6,27%. Artinya defisit APBN yang baru saja diubah dari Rp307,2T menjadi Rp852,9T, akan diubah lagi menjadi Rp1.028,5T atau 6,27%.
Jadi dari APBN induk (awal), APBN Perubahan, APBN Perpu dan sekarang akan secepatnya diubah lagi untuk menetapkan defisit 6,27%.
Memang kini menjadi hak pemerintah untuk mengubah ubah anggaran tapi sebaiknya bervisi dan realistis agar tidak terlalu sering diubah yang mencerminkan kebingungan pemerintah membaca kondisi perekonomian karena Covid-19, apa yang akan dan seharusnya dilakukan, dan bagaimana seharusnya menyusun APBN-nya.
Apakah APBN tiap satu- dua bulan akan diubah?
Masalahnya memang ada gangguan external yang berada diluar kontrol dan jangkauan pemerintah tetapi anomali internal seharusnya segera dibenahi agar pemerintah tidak nampak serabutan dan bingung.
Jika Menkeu bingung, pelaku ekonomi atau pasar akan lebih bingung lagi. Alhamdullilah saya tidak bingung.
Penulis mantan Menteri Keuangan RI
BERITA TERKAIT: