Uyghur Sekarat, Akankah Kita Ikut?

Kamis, 20 Desember 2018, 16:36 WIB
"AKU terlahir sebagai Uyghur, yang katanya juga Bangsa Cina tapi kalian memperlakukan kami tidak sebagai manusia. Aku mengubah namaku, jati diriku, penampilanku bahkan tingkah lakuku supaya kalian bisa menerimaku sebagai bagian dari kalian. Aku telah berkhianat pada diriku sendiri, pada orang tuaku, sukuku dan pada agamaku" -Alazhi.

Apa yang terjadi terhadap suku Uyghur di XinJiang, bukan hanya sebuah penindasan karena kebiadaban yang mereka alami berbeda dari apa yang dialami oleh saudara-saudara kita di Palestina atau Syria, berbeda pula dengan saudara muslim Rohingya, meski mungkin kekejaman fisik yang dialami nyaris serupa.

Yang terjadi di Xinjiang adalah penelanjangan terhadap kemanusiaan. Muslimin Uyghur dituntut menanggalkan segala atribut yang melekat pada dirinya, dimulai dari nama, bahasa, pakaian, budaya, dan agama. Bila tidak mau melepaskan , maka hal itu akan direnggut paksa dengan cara yang paling tidak manusia.

Hal itu bermula ketika Pemerintah Cina bertahun-tahun lalu, mengirimkan suku Han ke kota-kota di XinJiang umpama memasukkan musang ke kandang ayam. Terkam, cabik-cabik induk dan jagonya lalu biarkan anak-anak ayam bertempiaran.

Uyghur tengah sekarat, urat-urat kehidupan bangsa ini tengah dikerat. Mereka digusur,dipaksa mundur, sebuah bangsa yang dulu berkiprah dalam sejarah tengah disiapkan untuk dikubur.

Desember 2009 saya berjumpa Alazhi seorang gadis muslim Uyghur di Restoran Muslim Xinyue tempat ia bekerja di kota GuangZhou, saat itu saya yang berminat menulis kehidupan muslimin di Cina dan ingin mengorek informasi tentang kerusuhan yang terjadi di XinJiang enam bulan sebelumnya sangat terkesima mendengar cerita gadis itu karena tidak menyangka begitu parah yang dilakukan Pemerintah Cina kepada “rakyat tiri”nya dan kita tidak mengetahuinya. Dunia hanya mendengar selintas tentang kerusuhan di Xinjiang pada 2009 lalu ,begitu rapatnya Pemerintah Cina menyumpal celah-celah tirai bambunya sehingga segala berita tak ada yang menelusup keluar.

Kini hampir sepuluh tahun sejak perjumpaan saya dengan Alazhi atau Lian Ting nama Mandarin yang harus dikenakan sang gadis sebagai identitas barunya. Berita penjarahan terhadap hak-hak azazi manusia Uyghur di Xinjiang kembali mengudara. Menggema dari dinding medsos ke dinding medsos lainnya, mengusik setiap hati untuk bersuara, mengetuk dinding langit lewat jutaan doa, “menodong” pihak berkuasa untuk melibatkan diri unjuk muka.

Alhamdulillah, perjuangan para aktivis Uyghur yang berhasil meloloskan diri dari benteng Pemerintah Cina yang dipelopori oleh Rebiya Kadeer bertahun silam hingga kini Dolkun Isa presiden aktivis Uyghur dan lainnya yang hidup di negara barat dan terus menjerit berhasil memaksa dunia melihat nasib kaumnya hingga media internasional seperti BBC dan lainnya membuat liputan eksklusif.

Saya tidak ingin membahas kembali tentang teror yang ditorehkan pada setiap sendi kehidupan Uyghur, bagaimana Pemerintah Cina membumikan rumah-rumah tradisional Uyghur dan menghalau tanpa kompensasi penghuninya, mengambil alih ladang-ladang kapas mereka, bagaimana mushola-mushola dan masjid rata, madrasah berubah rupa jadi sekolah cina, segala jenis ibadah termasuk puasa Ramadhan dilarang, atribut keagamaan yang dikenakan dilucuti di tengah jalan, penculikan, penangkapan, pemerkosaan, penyekapan dalam kamp konsentrasi dan serentetan kezaliman lainnya bagi siapapun yang melawan. Tapi ada hal lain yang menggeliat dalam ingatan saya, waktu itu, ketika Alazhi atau Lian Ting nan cantik bertutur dengan begitu ringan tentang kisah hidupnya.

Naluri keibuan saya tergerus, saya merasa tengah bersemuka dengan anak gadis saya yang terpaksa minggat dari rumah, membuka auratnya dan melayani tamu-tamu restoran hanya untuk mengutip mimpi. Alazhi adalah salah satu anak ayam yang kabur ketika kandangnya diserbu musang . Alazhi melarikan diri dari rumah mengikuti jejak saudara-saudara perempuannya untuk menggapai impian ke kota karena kehidupan di kota mereka Kashgar,Xinjiang sudah demikian peritnya. Alazhi dan saudara-saudaranya hanya sebagian kecil dari begitu banyak pemuda dan pemudi Uyghur yang nekat membuang keuyghuran mereka agar dapat diaku sebagai Cina.

Selain meneror warga dengan kekerasan, Pemerintah Cina juga menguapi udara Xinjiang dengan propaganda-propaganda melalui layar-layar lebar di setiap sudut jalan menampilkan binar kota besar, gaya hidup modern, dan romansa metropolitan. Pun suku Han yang leluasa merajai tanah Xinjiang memamerkan gaya hidup “merdeka” dengan busana suka-suka. Ketika kehidupan nyata menyudutkan muda-mudi Uyghur untuk hidup susah, terhina, dan tanpa harapan, godaan yang ditayangkan di layar-layar kaca maupun pengaruh suku Han merasuk kalbu mereka, meracuni pikiran dan menjerat mereka untuk menggadai iman demi impian.

Alazhi seorang anak Damullah, pemuka agama di Kashgar sebagai contoh dari generasi penerus muslimin Uyghur yang terperangkap pesona. Ini peringatan keras. Bahwa kekejaman yang sebenarnya adalah melucutkan rasa ghirah agama pada seorang manusia. Ketika ghirah sudah terlepas dengan berbagai alasan dan cara, maka apapun boleh dilakukan oleh manusia itu.

Bagi Muslimin Uyghur berdepan dengan segala kemungkinan di tanah mereka adalah perjuangan. Segala bentuk penyiksaan akan mereka songsong karena matipun akan mereka hadapi dengan senyuman syahid in syaa Allah dalam genggaman. Tapi kengerian yang merajam adalah terlepasnya anak-anak mereka dari pandangan hingga pencucian akidah mudah dilaksanakan.

Ketika tahun 2015 saya kembali ke GuangZhou, mencoba menemui Alazhi di restorannya bekerja dulu, saya mendapat informasi bahwa ia sudah tidak lagi bekerja di sana tapi sudah menikah dengan pemuda suku Han yang berbeda agama (atau mungkin tak beragama). Hati saya remuk , air mata tak dapat saya larang untuk hadir. Terbayang bagaimana orangtua Alazhi bila mengetahui hal ini, mungkin mereka tetap meratap jika ternyata mereka sudahpun dalam kubur. April 2018 Saya kembali mengunjungi restoran yang sama, betapa saya semakin terkejut. Semua dekorasi ala tradisional Xinjiang sudah berubah modern dan para pelayannya semua tidak lagi berpakaian etnik melainkan rok-rok pendek.

Ketika kita melawan suatu kemungkaran itu adalah jihad, ketika kita terpaksa melakukan hal yang dimurka Allah dibawah ancaman, selagi hati kita menentang maka Allah beri ampunan. Tapi jika dengan sukarela sepenuh sadar menyongsong perkara terlarang ? Ini adalah bayangan paling kelam bagi setiap orang-tua. Dan sadarkah kita, bahwa hal serupa tengah mengintip dari jendela dan mengetuk-ngetuk pintu rumah kita sekarang? Berbagai propaganda gaya hidup yang menyesatkan kini merebak di mana-mana. Akankah yang memukau generasi muda Uyghur, akan merangkul anak-anak kita? Ini adalah perang akhir zaman ketika bara dalam genggaman.

Ingatlah, yang paling akhir mengetuk pintu hati, adalah sesal.[***]

Nuthayla Anwar

Tinggal di Jakarta.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA