Pilkada dan Bilik Suara yang Hilang

Rabu, 24 Desember 2025, 05:18 WIB
Pilkada dan Bilik Suara yang Hilang
Ilustrasi. (Foto: AI)
SAYA tertegun melihat kalender. Hari ini sudah 23 Desember 2025. Di Jakarta, udara politik sedang panas, tapi gerakannya sangat halus. Seperti gerilya. Tidak ada teriakan di jalanan, yang ada hanya bisik-bisik di ruang VIP hotel berbintang dan lobi gedung parlemen yang megah.

Agendanya satu: menarik kembali mandat rakyat. Pemilihan Gubernur tidak lagi di tangan Anda, tidak lagi di bilik suara, tapi dikembalikan ke meja DPRD.

Dalam pembacaan yang saya lakukan ini menunjukkan pola yang sistematis juga rapi. Ini bukan sekadar wacana pinggiran. Ini adalah operasi besar yang sudah disusun sejak transisi kepemimpinan nasional kemarin. Alasannya selalu terdengar mulia: efisiensi anggaran.

Menariknya bahwa Presiden Prabowo pun sudah memberi sinyal. Beliau bicara soal biaya politik yang gila-gilaan. Beliau bicara soal demokrasi kita yang seolah meniru mentah-mentah sistem Barat. Saya memahami kegelisahan itu. Tapi sebagai orang yang lama belajar politik hukum, saya melihat ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar angka rupiah.

Bahkan kini ada alasan baru yang ikut dibawa: kecerdasan buatan atau AI.

Para elite mulai bicara bahwa Pilkada langsung sudah tidak aman. Mereka bilang ini karena serangan deepfake dan algoritma bisa memanipulasi suara rakyat dalam sekejap. Katanya, lebih baik dipilih oleh segelintir orang di DPRD yang bisa diawasi, daripada jutaan rakyat yang mudah diprovokasi mesin. Ini argumen yang cerdas, tapi sekaligus menakutkan.
 
Tafsir di Balik Kata "Demokratis"

Di sinilah kita perlu masuk ke dapur masaknya. Mari kita bedah teks suci negara kita: Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Bunyinya: "Gubernur, Bupati, dan Walikota... dipilih secara demokratis."

Dalam hermeneutika hukum, ada yang namanya intentionalisme. Kita mencari apa sebenarnya niat para pembuat undang-undang dulu? Dulu, kata "demokratis" itu adalah sebuah oase pasca-Orde Baru. Ia adalah janji bahwa rakyat tidak akan lagi jadi penonton.

Hanya saja, di akhir 2025 ini, kita melihat adanya konteks yang lebih dalam. Teks yang sama ternyata sudah ditafsirkan dengan kacamata yang berbeda. Kata "demokratis" kini diperluas maknanya. Bagi pemerintah, "demokratis" tidak harus berarti "langsung". Musyawarah di DPRD, menurut mereka, juga demokratis. Inilah yang oleh Paul Ricoeur disebut sebagai hermeneutics of suspicion, yaitu kecurigaan terhadap makna yang tampak.

Apakah tafsir ini murni untuk menyelamatkan anggaran? Ataukah ini adalah upaya untuk menundukkan makna teks demi kepentingan kekuasaan?

Secara kontekstual, kita sedang mengalami "peleburan cakrawala" (fusion of horizons) yang dipaksakan. Cakrawala elite yang menginginkan stabilitas dipaksakan menyatu dengan cakrawala rakyat yang sebenarnya masih mencintai hak pilihnya. Masalahnya, cakrawala mana yang lebih dominan? Jawabannya jelas: yang memegang palu sidang di Senayan.
 
Resentralisasi yang Terencana

Saya coba membuat simulasi dan membayangkan wajah seorang calon Gubernur di masa depan. Ia tidak perlu lagi masuk ke pasar-pasar becek. Ia tidak perlu lagi berkeringat menyalami petani di pelosok desa. Ia cukup duduk manis di depan beberapa pimpinan fraksi. Cukup meyakinkan mereka dengan angka-angka dan komitmen kebijakan. Ini yang disebut sebagai resentralisasi terencana.

Gubernur nanti akan lebih takut kepada Ketua Umum partai di Jakarta atau IKN daripada kepada rakyatnya sendiri. Hubungan emosional antara pemimpin dan yang dipimpin akan putus, digantikan oleh hubungan transaksional yang dingin. Akuntabilitas pun bergeser, bukan lagi ke publik, tapi ke elit.

Kalau boleh usul, akan lebih baik jika skenario yang paling mungkin adalah model asimetris. Jika Gubernur dipilih DPRD karena ia adalah wakil pusat di daerah, sementara Bupati tetap dipilih langsung. Ini strategi "jalan tengah" agar rakyat tidak terlalu marah.

Tapi, benarkah biaya politik akan turun?

Saya agaknya sedikit ragu. Biayanya hanya pindah tempat. Dari lapangan yang terbuka, masuk ke ruang-ruang tertutup yang kedap suara. Politik uang tidak akan hilang tiba-tiba, ia hanya naik kelas menjadi politik "grosir".

Kita sedang berada di penghujung tahun 2025 dengan sebuah tanda tanya besar. Apakah kita sedang memperbaiki demokrasi, atau kita sedang merasa lelah lalu memutuskan untuk kembali ke pelukan “mereka para pengendali” yang nyaman?

Demokrasi memang mahal, tapi kehilangan kedaulatan jauh lebih mahal harganya. Semua tetap bisa saja terjadi dan kita tunggu saja, apakah di 2026 nanti, bilik suara itu benar-benar akan menjadi barang antik di museum sejarah. rmol news logo article
 
Dr. Efatha Filomeno Borromeu Duarte, S.IP., M.Sos.
Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA