OIC Youth Indonesia:

Tragedi Kemanusiaan Uighur Berdampak pada Stabilitas Global

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/bonfilio-mahendra-1'>BONFILIO MAHENDRA</a>
LAPORAN: BONFILIO MAHENDRA
  • Senin, 22 September 2025, 20:55 WIB
Tragedi Kemanusiaan Uighur Berdampak pada Stabilitas Global
Board Meeting and Policy Roundtable Discussion on Humanitarian Issues dengan tema “Understanding Beyond Borders: Building Solidarity Across the Ummah and the World” di Jakarta pada Minggu, 21 September 2025. (Foto: Dokumentasi OIC Youth Indonesia)
rmol news logo Tragedi kemanusiaan yang menimpa penduduk muslim Uighur di Xinjiang, China turut membuka mata dunia. 

Hal itu diulas dalam Board Meeting and Policy Roundtable Discussion on Humanitarian Issues dengan tema ‘Understanding Beyond Borders: Building Solidarity Across the Ummah and the World’ yang diselenggarakan OIC Youth Indonesia di Jakarta pada Minggu, 21 September 2025.

Presiden OIC Youth Indonesia Astrid Nadya Rizqita menyatakan fenomena di Xinjiang perlu langkah-langkah rekonsiliasi dan pemulihan sebagai resolusi konflik.

"Permasalahan Uighur bukan hanya berdampak pada negara atau wilayah tertentu, tetapi juga pada stabilitas global dan masa depan generasi muda. Karena itu, solidaritas lintas bangsa adalah kunci untuk memperjuangkan keadilan dan perdamaian yang sejati,” ucap Astrid dalam keterangan resmi yang diterima redaksi di Jakarta pada Senin, 22 September 2025.

Kegiatan ini dihadiri oleh jajaran pengurus OIC Youth Indonesia bersama para aktivis Muslim lainnya yang memiliki kepedulian terhadap isu-isu kemanusiaan global, diantaranya Presiden Astrid Nadya Rizqita, Sekretaris Jenderal Adlan Athori, Wakil Presiden Yanju Sahara, dan Wakil Sekretaris Jenderal Indre Wanof.

“Saat ini, permasalahan yang dihadapi dunia Islam sangat kompleks dan berlapis. Dari Palestina yang masih menghadapi pendudukan dan blokade, Kashmir yang terus terjebak dalam konflik status politik dan militerisasi, hingga tragedi kemanusiaan di Xinjiang, semuanya menunjukkan bahwa isu keadilan belum terselesaikan,” lanjut Astrid. 

Ia pun menjelaskan pentingnya masyarakat memahami dan mencari solusi, untuk merujuk pada sejarah, budaya, serta kesepakatan dan perjanjian yang telah ada, baik melalui PBB, OKI, peran contact groups, maupun forum multilateral lain, sebagai acuan upaya penyelesaian.

“Kita memiliki amanat dari UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri untuk aktif berkontribusi. Artinya, diplomasi pemuda tidak hanya sah, tetapi juga strategis dalam memperkuat solidaritas lintas bangsa demi keadilan dan perdamaian sejati,” pungkasnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Adlan Athori, menyoroti situasi di Xinjiang saat Xi Jinping menjabat menjadi presiden pada 2013, dinilai sangat represif kepada etnis Uighur. 

"Untuk membuktikan kepada dunia bahwa China adalah negara yang kuat, tidak lemah, dan mampu mengontrol setiap potensi perlawanan di dalam negeri. Langkah represif ini sejalan dengan ambisi Xi Jinping untuk merangkul dan mengonsolidasikan daerah-daerah otonomi khusus yang ada di China, termasuk Xinjiang, Tibet, hingga Hong Kong,” beber Adlan. 

“Dengan cara ini, Xi ingin menegaskan bahwa kedaulatan dan persatuan nasional tidak bisa diganggu gugat, meskipun hal tersebut seringkali dibayar mahal dengan pengabaian hak-hak asasi masyarakat minoritas,” tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA