Tengok saja kasus pembantaian orangutan di areal kebun sawit PT Khaleda Agroprima Malindo (KAM), Kalimantan Timur. Anak usaha Metro Kajang Holdings Bhd asal Malaysia ini membabat hutan dan membahayakan nyawa orangutan dan satwa liar lain di Muara Kaman, Kalimantan Timur.
Syukurlah, aparat polisi langsung bergerak cepat. Dua orang eksekutor yang tega membantai orang utan sudah ditahan dan bakal dikenakan pasal berlapis, yakni KUHP, UU Lingkungan hidup, dan UU Perlindungan Satwa langka.
Namun persoalan tidak selesai sampai di situ. Karena lokasi pembantaian berada di wilayah Indonesia, dunia internasional akan menganggap Indonesia tidak mampu melindungi satwa langka. Industri sawit Indonesia juga akan dicap kerap bertindak brutal dan merusak alam. Pada akhirnya, pasar internasional akan membeli sawit Malaysia. Sawit Indonesia harus dijual dulu dan dilabeli ramah lingkungan di Malaysia agar bisa laku di pasar dunia.
Lantas, bagaimana sikap LSM asal asing Greenpeace? Hingga kini LSM yang mengaku pejuang lingkungan, diam seribu bahasa. Padahal 2010 lalu, Greenpeace berkoar-koar mendesak pemerintah untuk menghentikan pengrusakan hutan Indonesia. Alasan utama Greenpeace saat itu adalah untuk melindungi orang utan.
Menyaksikan kebisuan Greenpeace, saya semakin percaya LSM ini memang hanya berkoar-koar jika ada perintah dan kepentingan pendonornya. Cobalah simak artikel berjudul My Jakarta: Sari, Ex-Activist, di
www.jakartaglobe.com, edisi 06 Oktober 2011.
Disebutkan, Sari yang sebelumnya aktif di sebuah LSM lingkungan bertaraf internasional akhirnya merasakan ada yang aneh di LSM tersebut. Dia bersaksi betapa LSM tersebut sudah berubah layaknya sebuah perusahaan. Sari juga menyebutkan, jika tidak ada perintah dan kepentingan pendonornya, LSM tersebut tidak akan sibuk berkampanye.
Saya menangkap yang dimaksud Sari adalah LSM Greenpeace. Pasalnya, pola kerja Greenpeace persis seperti penuturan Sari. Bisa disimpulkan, Greenpeace hanya akan bergerak apabila isu kampanye mereka bisa mendatangkan pundi-pundi uang.
Kalau Greenpeace organisasi independen, kenapa takut menghadapi pengusaha Malaysia?
Atau jangan-jangan, Greenpeace melihat tidak ada peluang ‘uang’ di sana. Lebih parah lagi, jangan-jangan Greenpeace cabang Indonesia merupakan kaki tangan pengusaha Malaysia?
Djainab S
Jalan Rawa Bebek, Jakarta Utara
BERITA TERKAIT: