Politik Ekstraktivisme dan Bencana Alam Struktural di Indonesia

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-mulyadi-opu-andi-tadampali-5'>DR. MULYADI OPU ANDI TADAMPALI*</a>
OLEH: DR. MULYADI OPU ANDI TADAMPALI*
  • Kamis, 18 Desember 2025, 17:28 WIB
Politik Ekstraktivisme dan Bencana Alam Struktural di Indonesia
Warga berjalan kaki di jalanan desa berlumpur di Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Aceh Tamiang, Aceh, usai dilanda banjir bandang. (Foto: kiriman warga)
SEBAGAI negara yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia telah lama menjadi target eksploitasi oleh berbagai pihak, baik domestik maupun internasional. Dalam konteks ekstraktivisme, eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan telah menjadi isu penting di banyak negara berkembang (Veltmeyer & Petras, 2014). Di Amerika Latin, ekstraktivisme baru telah menimbulkan situasi yang kompleks dan bertentangan (ambivalensi) dalam dua aspek, yaitu: peran negara dan dampak sosial-lingkungan.

Terkait peran negara, ekstraktivisme baru telah menimbulkan pertanyaan tentang peran negara dalam mengelola sumber daya alam dan mengatur aktivitas ekstraktivisme. Apakah negara harus memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan, ataukah harus melindungi hak-hak masyarakat dan lingkungan? Terkait dampak sosial-lingkungan, ekstraktivisme baru telah menimbulkan dampak negatif pada masyarakat dan lingkungan, seperti kerusakan lingkungan, penggantian paksa masyarakat, dan kehilangan hak-hak masyarakat. 

Meskipun ekstraktivisme baru juga dapat membawa manfaat ekonomi dan pembangunan, Gudynas (2012) tetap berargumen bahwa ekstraktivisme baru telah menimbulkan ambivalensi dalam peran negara dan dampak sosial-lingkungan, dan bahwa perlu ada pendekatan yang lebih kritis dan berimbang dalam mengelola sumber daya alam dan mengatur aktivitas ekstraktivisme.

Di Indonesia, bencana alam yang semakin sering dan parah telah menjadi ancaman nyata dan potensial bagi kehidupan masyarakat. Perubahan iklim telah meningkatkan risiko bencana alam di Indonesia (BAPPENAS, 2010: Laporan Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Bencana Alam di Indonesia). Namun, politik ekstraktivisme yang memprioritaskan eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi juga telah menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan bencana alam struktural, yaitu bencana alam yang disebabkan oleh aktivitas ekstraktivisme yang tidak berkelanjutan. 

Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada tahun 2024 saja, Indonesia mengalami 2.107 kejadian bencana alam, dengan banjir menjadi jenis bencana paling dominan dengan 1.088 kejadian, diikuti cuaca ekstrem (455 kejadian), kebakaran hutan dan lahan (337 kejadian), dan tanah longsor (135 kejadian). Secara tren, jumlah bencana alam di Indonesia meningkat tajam sejak 2016 hingga mencapai puncaknya pada 2021 dengan 5.402 kejadian, kemudian menurun pada 2022 dengan 3.544 kejadian, dan kembali melonjak pada 2023 dengan 5.400 kejadian, sebelum akhirnya mengalami penurunan signifikan pada 2024 dengan 2.107 kejadian.

Artikel ini mengkaji hubungan antara politik ekstraktivisme dan bencana alam struktural di Indonesia, serta implikasinya terhadap masyarakat dan lingkungan. Dalam konteks relasional, penting untuk menganalisis bagaimana politik ekstraktivisme mempengaruhi kebijakan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam, serta dampaknya terhadap peningkatan risiko bencana alam struktural.

Politik Ekstraktivisme

Politik ekstraktivisme merupakan suatu pendekatan politik yang berfokus pada eksploitasi sumber daya alam dan ekonomi untuk kepentingan politik dan ekonomi. Pendekatan ini seringkali terkait dengan kekuasaan yang tidak seimbang dan ketimpangan sosial. Di Amerika Latin, seperti Brasil, Chili, dan Peru, model ekstraktivisme baru diterapkan, berupa pembangunan ekonomi yang berfokus pada eksploitasi sumber daya alam untuk meningkatkan pendapatan negara dan mengurangi kemiskinan. Model ini muncul sebagai respons terhadap krisis ekonomi dan kebutuhan akan pendapatan negara yang lebih besar.

Ekstraktivisme baru memiliki beberapa karakteristik, seperti: (1) Fokus pada eksploitasi sumber daya alam sebagai sumber utama pendapatan negara; (2) Melibatkan investasi asing dalam proyek-proyek ekstraktivisme, seperti pertambangan; (3) Peran negara baik sebagai regulator maupun sebagai pelaku ekonomi; (4) Prioritas pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara daripada perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat.

Namun, implementasi model ekstraktivisme baru tetap memiliki beberapa konsekuensi negatif, seperti: (1) Kerusakan lingkungan, seperti polusi air dan udara, serta kehilangan biodiversitas; (2) Penggantian paksa masyarakat yang tinggal di daerah yang akan dieksploitasi; (3) Ketergantungan pada sumber daya alam yang membuat rentan terhadap fluktuasi harga komoditas.

Di Indonesia, politik ekstraktivisme telah menyebabkan eksploitasi sumber daya alam, yang berakibat pada kerusakan lingkungan dan peningkatan risiko bencana alam struktural. Implementasi ekstraktivisme baru telah menyebabkan deforestasi, degradasi lahan, dan perubahan iklim, yang berakibat pada peningkatan risiko banjir, longsor, dan kekeringan (Annisa Rahmawati, 2023; JATAM, 2024). Selain itu, ekstraktivisme baru juga menjadi penyebab ketimpangan ekonomi dan konflik (Destaria Verani Soe'oed, 2024; Jasmine Rafifah Fathia Putri dan Adhi Cahya Fahadayna, 2024; JATAM, 2025).

Aktor-Aktor Politik Ekstraktivisme

Politik ekstraktivisme melibatkan berbagai aktor yang memiliki kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda. Menurut A. Bebbington (2012), aktor-aktor politik ekstraktivisme dapat dibagi menjadi tiga kategori utama, yaitu: (1) aktor negara,   (2) aktor swasta, dan (3) aktor masyarakat sipil.

Aktor negara, seperti pemerintah pusat dan daerah, memiliki peran penting dalam mengatur dan mengelola sumber daya alam. Namun, seringkali kepentingan ekonomi dan politik elit lebih diprioritaskan daripada kepentingan masyarakat dan lingkungan (E. Gudynas, 2011). Aktor swasta, seperti perusahaan ekstraktif, memiliki kepentingan ekonomi yang kuat dan seringkali mempengaruhi kebijakan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam (A. Acosta, 2013). 

Di Indonesia, aktor politik ekstraktivisme didominasi oleh oligark politik, yaitu pejabat pemerintah pusat, selaku aktor negara bersama oligark ekonomi, yaitu konglomerat taipan, selaku aktor swasta. Pejabat pemerintah pusat merupakan aktor negara yang dominan, dibandingkan dengan pejabat pemerintah daerah. Sementara itu, perusahaan pertambangan, kehutanan, dan perkebunan merupakan aktor swasta yang dominan. Kedua aktor politik ekstraktivisme dominan ini memiliki kepentingan politik dan ekonomi yang relatif sama, sehingga memiliki pengaruh signifikan dalam menentukan kebijakan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam.

Dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat dan lingkungan, aktor masyarakat sipil, seperti organisasi non-pemerintah (LSM) dan komunitas lokal, berhadapan dengan kepentingan pejabat pemerintah pusat dan perusahaan konglomerat. Namun, mereka seringkali menghadapi tantangan dan hambatan dalam memperjuangkan kepentingan tersebut. Dalam konteks Indonesia, dinamika kekuasaan yang kompleks dan tidak seimbang antara aktor-aktor politik ekstraktivisme telah menyebabkan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan (Hadiz, 2010).

Ciri-ciri Politik Ekstraktivisme

Koalisi oligark politik dan oligark ekonomi telah memungkinkan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan dan peningkatan risiko bencana alam struktural. Mereka menentukan kebijakan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam, sehingga kebijakan  yang dibuat lebih menguntungkan kepentingan mereka daripada kepentingan masyarakat dan lingkungan.

Berikut beberapa ciri-ciri politik ekstraktivisme, empat di antaranya yang paling menonjol, yaitu
(1) Eksploitasi sumber daya alam secara terus menerus: Politik ekstraktivisme berfokus pada eksploitasi sumber daya alam tanpa henti, seperti hutan, tambang, dan perkebunan, untuk kepentingan ekonomi dan politik.
(2) Kekuasaan yang tidak seimbang: Politik ekstraktivisme terkait dengan kekuasaan yang tidak seimbang, di mana segelintir orang memiliki kekuasaan yang besar atas sumber daya alam dan ekonomi.
(3) Ketimpangan sosial: Politik ekstraktivisme menyebabkan ketimpangan sosial, di mana segelintir orang memiliki akses yang lebih besar ke sumber daya alam dan ekonomi.
(4) Korupsi: Politik ekstraktivisme terkait dengan korupsi, di mana penguasa dan pengusaha menggunakan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri sendiri.

Dampak Politik Ekstraktivisme

Politik ekstraktivisme memiliki korelasi positif dengan peningkatan risiko bencana alam struktural, yang disebabkan oleh degradasi lingkungan dan ketidakseimbangan ekosistem sebagai akibat dari aktivitas ekstraktivisme. Bencana alam struktural merujuk pada bencana alam yang disebabkan oleh faktor-faktor struktural, seperti perubahan lingkungan, degradasi lingkungan, dan ketidakseimbangan ekosistem, yang dipengaruhi oleh kebijakan dan sistem ekonomi-politik yang tidak berkelanjutan. 

Bencana alam struktural dapat berupa banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran,  yang memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat dan lingkungan. Bencana alam telah menyebabkan kerugian ekonomi, kerusakan infrastruktur, dan kehilangan nyawa. Selain itu, bencana alam juga telah memiliki dampak pada kesehatan, pendidikan, dan keamanan masyarakat. Berikut dampak dari politik ekstraktivisme:

(1) Degradasi lingkungan: Eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, termasuk kehilangan biodiversitas, kerusakan habitat, dan gangguan keseimbangan ekosistem.

(2) Ketimpangan ekonomi: Politik ekstraktivisme menyebabkan ketimpangan ekonomi, di mana distribusi kekayaan dan pendapatan tidak merata, sehingga memperlebar kesenjangan antara minoritas kaya dan mayoritas miskin.

(3) Konflik sosial-politik: Politik ekstraktivisme memicu ketegangan antara masyarakat lokal dan pihak yang melakukan aktivitas ekstraktivisme, karena perbedaan kepentingan dan dampak negatif yang ditimbulkan.

Dalam kasus bencana alam Sumatera dan Aceh yang menelan korban jiwa cukup banyak, kerugian harta benda yang tak terhitung, dan berbagai kerusakan serius lainnya,  tidak ada keraguan untuk mengatakan bahwa politik ekstraktivisme telah menjadi faktor utama penyebab bencana alam struktural, di mana sebelumnya politik ekstraktivisme telah meningkatkan risiko banjir dan lonsor. 

Argumen empirisnya sangat sederhana, yaitu terdapat kaitan erat antara politik ekstraktivisme dengan degradasi lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam, seperti hutan, tambang, dan perkebunan telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan kehilangan biodiversitas, yang selanjutnya berakibat pada meningkatkan kerentanan terhadap bencana alam. Selain itu, keengganan pemerintah pusat menetapkan bencana alam Sumatera dan Aceh sebagai bencana nasional memperkuat argumen adanya relasi antara politik ekstraktivisme dengan degradasi lingkungan.    

Menutup artikel ini saya perlu tegaskan bahwa dalam konteks Indonesia, dinamika kekuasaan yang kompleks dan tidak seimbang antara aktor-aktor politik ekstraktivisme telah menyebabkan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan. Koalisi oligark yang memainkan peran penting dalam memperkuat politik ekstraktivisme, memperlihatkan kepentingan ekonomi dan politik elit oligakris lebih diprioritaskan daripada kepentingan masyarakat dan lingkungan. Politik ekstraktivisme yang memprioritaskan kepentingan ekonomi dan politik telah menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan bencana alam struktural. Dalam konteks ini, bencana alam struktural di Sumatera dan Aceh dapat dilihat sebagai konsekuensi langsung dari kebijakan dan aktivitas ekstraktivisme yang tidak berkelanjutan.

*Penulis adalah Dosen Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan (SPPB) Universitas Indonesia.


EDITOR: ADE MULYANA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA